JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tokoh umat Katolik Franz Magnis Suseno, menyatakan perlu ada perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Perkawinan merupakan ajaran yang terpuji bagi semua agama. Perkawinan menurut agama harus dijunjung tinggi.

Namun, kata Magnis, negara tidak boleh memaksa perkawinan harus dijalankan menurut ajaran agama tertentu. "Sebaliknya negara seharusnya mendukung dengan tidak mempersulit prosesi perkawinan baik sesama penganut maupun karena berbeda agama," kata Magnis dalam sidang uji materi UU Perkawinan terkait pernikahan beda agama di Mahkamah Konstitusi, Kamis (4/12).
 
Alasannya, negara tidak mengatur agama tapi memberi ruang perlindungan kepada warga untuk menjalankan kegiatan agamanya masing-masing, termasuk urusan perkawinan. Ia menilai perlu ada kemungkinan perkawinan sah di depan negara untuk memberikan legalitas, meskipun perkawinan tidak mengikuti aturan salah satu aturan agama.

Sementara agama, kata dia, harus menjunjung hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. "Menurut saya seharusnya ada kemungkinan untuk nikah tidak sesuai dengan agama yang diakui secara sah dari sudut negara," tuturnya.
 
Gugatan atas Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu", diajukan oleh  sejumlah mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI).

Mereka adalah Anbar Jayadi, Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Lutfi Sahputra. Menurut mereka pasal tersebut telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.

Karena itu, para pemohon meminta kepada MK agar ketentuan pasal tersebut diberikan pemaknaan baru (kondisional konstitusional), menjadi: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu sepanjang penafsiran mengenai hukum agama dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-masing mempelai".
 
Damian mengaku, tujuan uji materi itu untuk memosisikan negara sebagai pemberi fasilitas kepada warga negara yang akan melangsungkan perkawinan. Bukan menghakimi. Sebab, kata dia, dengan berlakunya ketentuan itu, negara melalui pegawai pencatatan perkawinan dapat menentukan perkawinan mana yang dapat dan tidak dapat dilakukan.

Hal itu, menurut dia, dapat dilihat ketika pegawai pencatatan sipil berhadapan dengan dua insan yang hendak melangsungkan perkawinan yang berbeda agama dan kepercayaan. "Pegawai pencatat perkawinan dapat menolak atau menerima perkawinan tersebut tergantung pada penafsirannya semata," jelas Damian.

BACA JUGA: