JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan dan Pakar hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menegaskan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga negara yang memiliki sifat independen dan tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu, keduanya juga berpendapat, keberadaan OJK tidak mereduksi kewenangan Bank Indonesia dan dibenarkan melakukan pungutan.

Dengan demikian menurut Maruarar, keberadaan OJK tidak harus dibubarkan. Maruarar mengatakan, lembaga negara independen adalah organ negara yang berada di luar cabang kekuasaan tradisonal, yakni eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Namun lembaga negara independen ini kerap mempunyai fungsi ketiganya, kekuasan quasi legislatif, executive power dan quasi judicial.
 
Namun, independensi tersebut tetap harus diimbangi dengan check and balance, bukan lembaga yang memiliki kebebasan yang tidak terbatas. "Independensi OJK bisa dilihat dari sudut ia tidak dibawah eksekutif, legislatif atau yudikatif. Kemudian teknik pemilihan pejabatnya, ada jaminan masa jabatan kecuali melakukan tindak pidana atau melanggar konstitusi," kata Maruarar saat menyampaikan keterangan dalam sidang pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK dengan agenda ´Mendengarkan Keterangan Ahli Pemerintah (VII)´, di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (28/10).
 
Alasannya, di dalam negara kesejahteraan, tugas negara sangat luas. Saking luasnya, lembaga-lembaga tradisional (eksekutif, yudikatif, dan legisllatif), tidak lagi cukup atau mampu untuk menjalankan suatu fungsi dan tugas tertentu. "Karena itu ada upaya membentuk lembaga baru dengan tugas-tugas yang baru pula," kata Maruarar menegaskan.
 
Dalam lembaga negara modern sekalipun, lanjutnya, termasuk negara yang menganut paham liberal yang meminimalkan peran negara, masih ada upaya negara membentuk lembaga negara baru bersifat independen, seperti halnya OJK. Menurut Maruarar, OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan harus memiliki independensi didalam melaksanakan tugasnya.

Sementara kondisi BI sudah tidak memadai untuk melakukan itu. Karena itu, ia tidak sepakat jika OJK dibubarkan dengan alasan bukan sebagai lembaga yang sah secara konstitusional sehingga tidak dapat disematkan sifat independen kepadanya.
 
"Jika MK mengabulkan permohonan pemohon untuk membubarkan OJK dan mengembalikan semua kegiatan pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia, akan menimbulkan keruwetan luar biasa," tegas Maruarar.
 
Zainal juga tidak sependapat OJK dikatakan sebagai lembaga negara yang yang tidak sah secara konstitusional sehingga tidak dapat disematkan sifat independen. Alasannya, ciri lembaga negara independen setidaknya ada tujuh. Diantaranya, OJK dapat digolongkan sebagai lembaga negara independen karena merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara, dalam rangka menjalankam tugas fungsi negara disektor pengawasan terhadap perbanakan dan tidak dicampuri pemerintah.

Dijelaskannya, lembaga independen bukan ekstra negara, tapi tetap pepanjangan negara. Ia menjadi ekstra dari tiga kekuasaan lama eksekutif, yudikatif, legaslatif. "Mutlak memang tidak, tapi tetap cenderung harus bebas dari campur tangan pemerintah dan DPR yang notabene merupakan cabang dari politik," kata Zainal juga saat menyampaikan keterangannya dalam sidang yang sama.


Ciri lembaga negara independen lainnya, kepemimpinanya bersifat kolektif kolegial, karena akan disematkan banyak kewenangan yang tidak diambil oleh single person, tapi secara multi member group. Ciri selanjutnya, sistem pergantian pemimpinnya berjenjang. Misalnya, dalam lembaga independen ada lima anggota komisioner, maka saat ada penggantian tidak dilakukan secara bersamaan, tapi bertahap.

Tujuannya agar ada kesinambungan kerja. Selanjutnya masa jabatannya jelas. "Mereka tidak boleh diberhentikan oleh alasan apapupun, kecuali yang diatur dalam undang-undang. Juga tidak bisa diberhentikan presiden," kata Zainal.
 
Sifat lembaga independen seringkali menggabungkan sifat-sifat yang ada di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. "Kadang-kadang dia akan membuat policy, kadang-kadang dia bersifat eksekusi terhadap policy, dan kadang-kadang bersifat penegakan," jelasnya.
 
Karena itulah OJK dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap perbankan secara independen. Dan karena ada kebutuhan independensi itulah makanya UU BI sendiri mengamanatkan dibentuknya lembaga OJK untuk melakukan pengwasan dalam sector jasa keuangan.
 
"Kalau pun tidak semua, mayoritas ciri-ciri dari sebuah lembaga negara independen sudah melekat pada OJK. Dan tidak satu pun lembaga independen yang ada di Indonesia memiliki ciri tersebut secara koletif," tegasnya.
 
Dalam kaitan itu, ia menyatakan, pungutan yang dilakukan OJK tidak bertentangan dengan undang-undang, karena konstitusi menyebutkan sepanjang punggutan itu diatur dalam undang-undang. "Pasal 23A UUD 1945 menyatakan Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang," terangnya.
 
Kata Zaenal pungutan yang dilakukan oleh OJK juga diatur dalam ketentuan Pasal 34 Ayat (2), Pasal 37 Ayat 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 serta pasal penjelasannya yang menyebutkan anggaran OJK bersumber dari APBN dan atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Hal ini, kata dia, sama halnya dengan Mahkamah Agung (MA) yang memungut biaya perkara.

Sementara ketika pungutan OJK tidak dimasukan dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) maka sejatinya bisa diatur melalui Peraturan Pemerintah. Bukan dengan cara membubarkan OJK. Ia juga membantah OJK telah mengambil kewenangan Bank Indonesia. "Sebaliknya kehadiran OJK justru untuk menguatkan fungsi dan stabilitas moneter yang dibangun oleh BI," kata Zainal.
 
UU OJK beberapa waktu lalu digugat oleh Ahmad Suryono dan kawan-kawan yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa yang mempersoalkan keberadaan OJK. Menurut mereka, OJK bukan sebagai lembaga yang sah secara konstitusional karena itu tidak dapat disematkan sifat independen kepadanya. OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, dan apa yang menjadi tugas fungsi OJK harusnya dipertahankan di BI.

Pembentukan OJK, menurut Suryono, banyak menimbulkan kerugian karena OJK melakukan pungutan terhdap perusahaan sektor jasa keuangan yang dijadikan sebagai sumber pendanaan OJK. Karena itu mereka meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menguji Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 67 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK ke MK.
 
Para pemohon menganggap frasa ´independen´ dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK bertentangan dengan ketentuan Pasal 23D dan Pasal 33 UUD 1945. Menurut mereka, kata ´independen´ dalam konstitusi hanya dimungkinkan dengan melalui bank sentral, bukan OJK.
 
Sebab, kata ´independen´ dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK diadopsi secara utuh dari Pasal 34 Ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI). Menurut mereka, wewenang OJK dalam mengawasi lembaga keuangan non-bank dan jasa keuangan lain adalah tidak sah karena Pasal 34 Ayat (1) UU Bank Indonesia tidak mengatur hal tersebut. "Sementara independensi hanya dikenal melalui turunan regulasi yang merujuk dan mengacu pada ketentuan Pasal 23D UUD 1945," ujar Suryono.
 
Untuk itu, pemohon meminta MK menyatakan UU OJK terutama Pasal 1 angka 1, Pasal 5, dan Pasal 37 bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, Suryono meminta MK untuk menyatakan frasa: "..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan...", sebagaimana terdapat pada Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

BACA JUGA: