JAKARTA - Para pegawai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendapatkan fasilitas kredit konsumtif khusus (Multiguna) dengan bunga pinjaman sangat rendah, 1,25% per tahun. Besarannya jauh di bawah suku bunga yang diberlakukan bagi masyarakat umum, lantaran OJK memberi subsidi bunga kepada pegawainya sebesar 5,54% per tahun.

Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi mengatakan bunga kredit konsumtif selisihnya memang disubsidi oleh internal OJK untuk kesejahteraan karyawan, sama dengan perusahaan lainnya. Namun yang perlu diingat bahwa dana OJK itu salah satunya bersumber dari pungutan para pelaku jasa keuangan sehingga rentan terjadi konflik kepentingan.

"Bagaimana tidak ada konflik kepentingan kalau dana (OJK) bersumber dari lembaga yang diawasi," kata Sularsi kepada Gresnews.com, Rabu (30/10).

Menurut dia, perlindungan nasabah atau masyarakat adalah yang utama, sehingga jangan sampai OJK ‘masuk angin’ dalam melakukan tugas dan kewenangannya. Selain itu, lanjutnya, penyaluran kredit konsumsi perlu ada pembatasan.

Gresnews.com telah memperoleh dokumen Salinan Surat Edaran Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/SEDK.02/2016 tentang Fasilitas Pinjaman Multiguna Bagi Pegawai Otoritas Jasa Keuangan (termasuk lampiran-lampiran) akhir pekan lalu. Surat Edaran tersebut ditandatangani di Jakarta pada 17 Mei 2016 oleh Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto. Bunga Kredit Konsumtif Kepegawaian OJK—demikian sebutannya—diperhitungkan sebagai berikut: 1) Suku Bunga Multiguna OJK sebesar 6,79%; Suku Bunga dibayar Pegawai OJK sebesar 1,25%. Pada Bagian III Pinjaman Multiguna poin 9 Surat Edaran tersebut di atas disebutkan: “Dalam hal terdapat selisih antara Bunga Pinjaman dengan Suku Bunga, maka selisihnya menjadi beban Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk Subsidi Bunga.”

Berdasarkan dokumen lelang bank penyalur kredit ke OJK itu, pada awalnya terdapat 99 bank yang ikut serta dalam proses penunjukkan penyedia kredit tersebut. Namun dua bank yang terpilih: PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), termasuk PT Bank Syariah Mandiri (BSM) yang merupakan entitas anak PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), berjenis usaha perbankan syariah dan berkedudukan di Jakarta. BMRI menguasai 99,99% saham BMS per 30 Juni 2019; dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI). Keduanya adalah emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Mengutip laman resmi Bank Mandiri, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) per 30 September 2019, untuk kredit korporasi sebesar 9,95%, kredit ritel sebesar 9,95%, kredit mikro 17,75%, kredit konsumsi KPR (Kepemilikan Rumah) 10,25%, dan non-KPR 12%. Sementara itu, laman resmi BNI mencantumkan SBDK per 30 September 2019, kredit korporasi sebesar 9,95%, kredit ritel 9,95%, kredit mikro N/A, kredit konsumsi KPR 10,5%, dan non-KPR 12,5%.

Jika dihitung, total bunga Kredit Konsumtif Kepegawaian OJK adalah 6,79% + 1,25% = 8,04%. Bunga tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga ritel Bank Mandiri dan BNI saat ini yaitu 9,95%. Terdapat selisih 1,91%.

Sementara itu, jumlah pegawai OJK per 31 Desember 2018 adalah sebanyak 3.850 orang.

Pada awal berdiri, sumber pembiayaan OJK berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, sejak 2016, anggaran OJK hanya bersumber dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan di Indonesia. Pagu anggaran Tahun 2018 sebesar Rp4,9 triliun dengan realisasi sebesar Rp4,9 triliun, seperti dikutip dari Laporan Keuangan OJK Tahun 2018 (Audited).

Klasifikasi pendapatan OJK adalah sebagai berikut:
Pendapatan Pungutan: Biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahan atas rencana aksi korporasi; Biaya tahunan dalam rangka pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian; Sanksi administratif berupa denda atas pelanggaran peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; Pengelolaan, penyimpanan atau penggunaan pungutan.

Pendapatan APBN: Pendapatan APBN untuk memenuhi kebutuhan anggaran OJK; dan pendapatan lain-lain yang berasal dari APBN. (G-2)

 

BACA JUGA: