JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasak-kusuk adanya jual-beli perkara dan "permainan" para jaksa dalam mengatur tuntutan buat terdakwa jangan-jangan bukan isapan jempol. Sampai-sampai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Yuddy Chrisnandi menyambangi Kejaksaan Agung Rabu pekan lalu.

Pertemuan tertutup Menpan dengan Jaksa Agung HM Prasetyo tersebut untuk mengingatkan agar lembaga kejaksaan lebih transparan menangani kasus-kasus hukum. Kemenpan RB memasukkan kejaksaan dalam kategori lembaga negara berkinerja buruk.

Tentu ini lecutan bagi Prasetyo untuk segera membenahi internal kejaksaan. Salah satu poin yang disorot Kemenpan RB adalah masih rendahnya persepsi masyarakat atas transparansi penanganan sejumlah kasus, khususnya perkara korupsi. Banyak anggapan penegakan hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Tentu poin tersebut penting untuk dibenahi oleh Prasetyo. Apalagi dalam sebulan terakhir Presiden Jokowi tengah mengevaluasi kerja para pembantunya, tak terkecuali di bidang penegakan hukum. Jika tak ada perubahan mendasar di Kejaksaan bisa saja dan tak menutup kemungkinan nama Prasetyo akan masuk daftar pembantu presiden yang bakal dievaluasi.

Menpan RB Yuddy Chrisnandi mengungkapkan kinerja Kejaksaan masih perlu ditingkatkan. Capaian kinerja keuangan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mendapat nilai Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) seharusnya sejalan dengan akuntabilitas kerjanya.

Salah satu saran Kemenpan yang masih perlu dibenahi transparansi perkara. Kejaksaan diharapkan menjelaskan terbuka kasus-kasus (ekspose) yang ditangani. Berapa uang negara yang diselamatkan dari perkara yang telah ditangani, apakah memenuhi sesuai harapan?

"Seharusnya kalau WTP nilai akuntabilitas kinerjanya itu paling kurang B minus tapi ini kan masih C artinya ada sesuatu yang mesti ditingkatkan dan diperbaiki oleh Kejaksaan," kata Yuddy di Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu.

Berdasarkan laporan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) 2014 yang dikeluarkan Kemenpan RB, Kejagung mendapat poin C yang berarti kategori buruk dengan nilai 30-50. Nilai tertinggi dari evaluasi LAKIP adalah AA (memuaskan), dengan skor 85-100, sedangkan A (sangat baik) skornya 75-85, CC (cukup baik) dengan skor 50-65, C (agak kurang) dengan skor 30-50, dan nilai D (kurang) dengan skor 0-30.

Dalam penilaian LAKIP ini materi yang dievaluasi meliputi lima komponen. Komponen pertama adalah perencanaan kinerja, terdiri dari renstra, rncana kinerja tahunan, dan penetapan kinerja dengan bobot 35. Komponen kedua, yakni pengukuran kinerja, yang meliputi pemenuhan pengukuran, kualitas pengukuran, dan implementasi pengukuran dengan bobot 20.

Pelaporan kinerja yang merupakan komponen ketiga, terdiri dari pemenuhan laporan, penyajian informasi knerja, serta pemanfaatan informasi kinerja, diberi bobot 15. Sedangkan evaluasi kinerja yang terdiri dari pemenuhan evaluasi, kualitas evaluasi, dan pemanfaatan hasil evaluasi, diberi bobot 10. Untuk pencapaian kinerja, bobotnya 20, terdiri dari kinerja yang dilaporkan (output dan outcome), dan kinerja lainnya.

Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dan Jaksa Agung pada Selasa 30 Juni 2015 , sejumlah anggota Komisi III menyoroti rapor merah Kejagung karena dianggap tidak melaksanakan tanggung jawab dengan baik, dalam hal mempromosikan jabatan jaksa dan penataan manajemen informasi.

Sejatinya bukan kali ini saja Kejaksaan Agung mendapatkan penilaian buruk atas kinerjanya. Pada LAKIP 2011 pun Kejaksaan mendapatkan penilaian C. Bila LAKIP 2014 pun masih mendapatkan penilaian buruk boleh dibilang Kejaksaan Agung bebal dan tak mau mengubah diri. 

SEDERET KASUS TAK TUNTAS - Memasukkan Kejaksaan dalam kelompok lembaga negara berkinerja buruk sangat tepat. Sebab dalam penanganan perkara Kejaksaan masih tebang pilih. Meskipun berhasil menjebloskan 59 tersangka ke penjara, ternyata tak semua tersangka dalam kasus yang sama ditahan.

Di antaranya tersangka perkara korupsi jaringan sampah di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, Erry Basworo. Ery merupakan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta yang hingga kini Ery tidak dilakukan penahanan.

Sementara dua tersangka lainnya yakni Rifiq Abdullah, mantan Kepala Bidang Pemeliharaan Sumber Daya Air Dinas PU dan Noto Hartono, mantan Dirut PT Asiana Technologies Lestari telah ditahan. Jelas, dalam kasus Kejaksaan tebang pilih.

Lalu kasus korupsi T Tower Bank Jawa Barat Banten (BJB). Satu tersangka Tri Wiyasa hingga saat ini belum ditahan. Kejagung menyatakan Tri Wiyasa dinyatakan buron. Sementara tersangka lainnya penyidikannya hampir rampung.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) R Widyopramono menegaskan tak ada diskriminasi dalam penanganan perkara termask kasus korupsi T Tower BJB. Widyo bilang, penyidik masih memburu adik Wakil Ketua DPR DKI Jakarta Tri Wicaksana tersebut.

"Penyidik saya masih mencari keberadaan tersangka, tidak ada diskriminasi, semua kasus sama," kata Widyo kepada gresnews.com, Minggu (5/7).

Tapi kenyataannya pernyataan Widyo tidak sesuai fakta. Karena dua tersangka kasus korupsi tersebut tidak ditahan. Penyidik Kejaksaan Agung seperti enggan menyentuh keduanya.

Belum lagi kasus-kasus korupsi yang dihentikan perkaranya. Seperti kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran di Angkasa Pura I, Kejaksaan Agung tidak menjelaskan penghentian penyidikannya. Bisa saja itu yang menjadi salah satu penilaian Kemenpan RB mengganjar Kejaksaan dengan nilai buruk.

UANG PENGGANTI TAK TERTAGIH - Salah satu poin yang juga dinilai Kemenpan RB adalah besaran jumlah uang pengganti korupri yang belum tertagih. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2014 lalu menyebutkan jumlah uang pengganti yang belum tertagih sebesar Rp13,146 triliun.

Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyatakan belum dieksekusinya uang pengganti kasus korupsi merupakan persoalan serius. Pemberantasan korupsi, menurut dia, tidak akan membawa efek jera jika eksekusi uang pengganti tak kunjung dilakukan.

Catatan ICW yang juga didasarkan atas audit BPK, uang pengganti tersebut berada di bidang pidana korupsi khusus Rp3,5 triliun dan bidang perdata Rp9,6 triliun. Uang pengganti itu merupakan hasil korupsi, seharusnya dibayarkan ke negara. "Kejagung tak bisa mengabaikan hal ini," kata Emerson.

Menurutnya, percuma pelaku korupsi dipidana, namun uangnya tak bisa dikembalikan kepada negara. ICW hanya bisa terus mendorong Jaksa Agung Prasetyo untuk mengingatkan jajarannya untuk menindaklanjuti hasil audit BPK tersebut.

Sejumlah perkara yang uang pengganti tak dieksekusi di antaranya perkara korupsi PT Indosat Mega Media (IM2) sebesar Rp1,3 triliun. Kasus lainnya perkara Bioremediasi yang dikerjakan PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) sebesar Rp100 miliar belum dilakukan.

Perkara lainnya perkara Asabri senilai Rp70 miliar, perkara Balongan senilai US$169 juta. Perkara Sudjiono Timan dan lainnya. Bahkan uang pengganti yang sudah diserahkan oleh PT Lativi Media Karya, PT Cipta Graha Nusantara, PT Great River International sekitar Rp2,4 triliun belum diterima oleh Bank Mandiri (rekening penampung uang pengganti kerugian negara).

KOMISI KEJAKSAAN INGATKAN JAKSA AGUNG - Komisi Kejaksaan mendorong Kejaksaan Agung berubah. Komisi Kejaksaan mengingatkan Jaksa Agung Prasetyo tidak mengabaikan ganjaran berkinerja buruk dari Kemenpan RB tersebut.

Ketua Komisi Kejaksaan Halius Hosen mengamini penanganan perkara di Kejaksaan belum transparan. Beberapa kali lembaganya menerima pengaduan dari masyarakat soal penanganan kasus yang buruk. Ada jaksa yang "bermain-main" dengan kasus.

"Kami berharap Kejaksaan lebih baik, lebih transparan menangani kasus," kata Halius kepada gresnews.com, Minggu (5/7).

Kejaksaan Agung menerima masukan banyak pihak soal akuntabilitas penanganan kasus. Kerja bidang penerangan hukum masih perlu dioptimalkan. Namun kejaksaan Agung menegaskan tidak semua proses penanganan perkara harus dibuka ke publik.

Menurut  Prasetyo, publikasi informasi terkait penanganan perkara akan diketahui publik mulai penyidikan hingga proses sidang. Sayangnya Prasetyo tidak tahu jika saat ini, akses media mengetahui proses penyidikan terbatas. Setahun terakhir informasi agenda pemeriksaan yang biasanya diketahui masyarakat tidak bisa didapat lagi. Informasi soal penyidikan kasus seolah tertutup. "Harusnya tidak seperti itu," kata Prasetyo.

Prasetyo menyatakan akan segera membenahinya.

BACA JUGA: