JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar persidangan atas gugatan uji materi yang diajukan pengacara kondang yang kini sedang mendekam di jeruji besi atas dugaan kasus penyuapan hakim Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatera Utara, Otto Cornelis Kaligis. Dalam persidangan yang berlangsung, Senin (23/11), Mahkamah Konstitusi (MK) mendengarkan keterangan ahli dari pihak terkait dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi.

KPK menghadirkan mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjajanto sebagai ahli. Dalam keterangannya, pria yang akrab disapa BW itu mempertanyakan legal standing OC Kaligis dalam permohonan uji materi terhadap Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang KPK.

Diketahui sebelumnya, mantan Ketua Dewan Kehormatan Partai Nasdem itu mempersoalkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Pasal 45 Ayat (1) tentang kewenangan serta keabsahan penyidik KPK. Dalam permohonannya OC Kaligis menilai kedudukan para penyidik tidak sah lantaran penyidik KPK bukan berasal dari kepolisian dan kejaksaan.

Kaligis menilai, penyidik yang direkrut KPK dan bukan berasal dari kepolisian bukanlah penyidik yang diatur dalam Pasal 6 UU Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan demikian menurut Kaligis, tugas dan wewenang penyidik KPK dianggap tidak memenuhi kualifikasi sebagai penyidik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) KUHAP.

Selain itu, Kaligis juga mempersoalkan Pasal 46 Ayat (2) tentang kewenangan penyidik dalam mengabulkan permintaan penangguhan penahanan. Frase "Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka", ketentuan tersebut sepanjang tidak dimaknai dalam arti hak-hak tersangka sesuai dengan Pasal 31 Ayat (1) jo Pasal 59 UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP khususnya terkait dengan hak mengajukan penangguhan penahanan.

Menanggapi pokok permohonan pemohon, BW mengatakan, sepanjang sejarah KPK berdiri, KPK adalah lembaga yang konsen dalam hal isu korupsi dengan bekerja berdasarkan undang-undang lex specialis serta selalu memperhatikan hak-hak para tersangka ataupun para terpidana yang berada di bawah kewenangan lembaganya. Dengan alasan itu BW merasa rancu atas permohonan Kaligis yang mengaku merasa dirugikan atas penetapan status tersangka oleh penyidik KPK dengan dalih mempersoalkan status kewenangan serta keabsahan penyidik KPK.

Selain itu, lanjut BW, pemohon juga mengaku telah dirugikan secara konstitusional lantaran haknya sebagai  warga negara dirampas oleh penyidik KPK dalam hal penangguhan penahanan. Padahal, dalam persidangan sebelumnya, Kepala Biro Hukum KPK Setiadi sempat menegaskan di muka persidangan bahwa pemohon yaitu OC Kaligis ataupun kuasa hukumnya belum pernah meminta permohonan penangguhan penahanan selama menjalani proses pemeriksaan.

Hal itu pun kembali ditegaskan oleh BW di hadapan majelis hakim konstitusi yang dipimpin oleh Hakim Anwar Usman. Sepengetahuan dia, kata BW, OC Kaligis belum pernah meminta penangguhan penahanan sebagaimana dalih dalam permohonannya selama ini MK. Dengan demikian BW pun meminta agar hakim mahkamah mempertimbangkan legal standing pemohon dalam mengajukan permohonan uji materi pasal a quo.

"Ternyata pemohon tidak pernah mengajukan permohonan penangguhan penahanan, dan itu adalah fakta konkret bahwa tidak pernah mengajukan penangguhan penahanan. Maka legal standing sebagaimana yang diatur dalam UU MK tentang pemohon memiliki kerugian pemohon sudah gugur," kata Bambang Widjajanto ketika menyampaikan keterangan ahli di muka Persidangan Mahkamah Konstitusi, Senin (23/11).

Bambang juga membantah anggapan pemohon yang selama ini seolah-olah disudutkan dan telah mendapat perlakukan diskriminatif oleh para penyidik yang menangani perkara dugaan kasus penyuapan Hakim PTUN Medan yang melibatkan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujonugroho itu. Ia menambahkan, sepanjang 12 tahun KPK berdiri, lembaga antirasuah itu juga tercatat pernah memberikan izin kepada sejumlah tersangka ataupun narapidana yang ditahan oleh KPK.

Bambang mengisahkan, sejumlah narapidana yang pernah mendapatkan izin ketika ada keluarga atau sanak familinya meninggal dunia penyidik KPK telah memberikan izin bagi tersangka atau pun narapidana untuk pulang mengunjungi keluarga yang sedang tertimpa musibah. Salah satu narapidana yang diizinkan oleh KPK dalam melakukan ta’ziyah adalah mantan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Angelina Sondakh.

Hal serupa juga terjadi bagi tersangka atau narapidana yang mengalami sakit dan membutuhkan perawatan atau pemeriksaan dokter dengan intensif, seperti yang dialami oleh adik Gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah, yaitu Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Menurutnya, sejauh ini penyidik KPK telah menjalankan tugas dan kewenangannya dengan baik dan profesional.

Atas dasar itu, kata Bambang, sangkaan pemohon terhadap penyidik KPK dalam permohonan uji materi Pasal a quo tidak memiliki alasan hukum. "Pengalaman kami KPK pernah memberikan izin kepada tahanan untuk ta´ziah (melayat), KPK juga memberikan izin bagi tahanan untuk mendapatkan pengobatan selama ada keterangan atau rekomendasi dari dokter atau Ikatan Dokter Indonesia (IDI)," tegasnya.

Dia berharap Hakim Mahkamah dapat memperhatikan fakta-fakta dilapangan selama ini, khususnya terkait dengan pemohon yang notabene sebagai pemohon principal dalam persidangan uji materi ini. Dengan demikian, BW juga meminta agar Hakim Mahkamah dapat memutuskan perkara ini seadil-adilnya dengan tetap menjaga marwah lembaga antirasuah yang menurut BW belakangan ini tengah diterpa badai oleh lawan-lawannya yakni para koruptor yang hendak melemahkan KPK.

MINTA NAMA PENYIDIK KPK - Dalam persidangan tersebut, Hakim Kostitusi Suhartoyo meminta nama-nama penyidik yang melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa OC Kaligis dalam kasus dugaan penyuapan Hakim PTUN Medan. Menurut Suhartoyo, pihaknya perlu memeriksa unsur-unsur penyidik yang selama ini melakukan pemeriksaan terhadap OC Kaligis.

Hal itu dianggap penting lantaran dalam permohonannya pemohon mempersoalkan keabsahan serta profesionalitas penyidik yang melakukan penyidikan terhadap kasus yang dialami oleh pemohon. Ia menilai MK butuh melakukan pemeriksaan atas sejumlah nama atau daftar penyidik yang terlibat aktif dalam menangani kasus OC Kaligis tersebut, sebab dalam permohonannya pemohon mengaku telah dirugikan oleh status penyidik KPK yang dianggap tidak memiliki kewenangan dalam penyidikan karena prosesnya ditetapkan oleh KPK.

"Kalau penyidik yang memeriksa dari kepolisian berarti clear tidak ada kerugian pemohon, tapi kalau penyidiknya independen biarkan MK yang nanti memutuskan, apakah yang bersangkutan itu benar-benar memiliki kerugian bagi pemohon atau tidak," kata Suhartoyo di sela-sela persidangan.

Menanggapi permintaan tersebut, Kepala Biro Hukum KPK Setiadi mengatakan, pihaknya akan melakukan koordinasi dengan seluruh pimpinan KPK untuk menindaklanjuti permintaan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Menurut Setiadi, keputusan penyerahan nama-nama penyidik untuk Majelis Hakim Konstitusi harus sepengetahuan dan seizin pimpinan KPK.

Ia juga menjelaskan, penyidik OC Kaligis tidak hanya terdiri dari satu orang, mengingat kasus OC Kaligis terungkap mulai dari penyuapan terhadap Hakim PTUN Medan yang dilakukan oleh anak buah OC Kaligis, M Yagari Bhastara alias Fary di Medan, Sumatera Utara. Karena itu, menurut Setiadi, penyidik yang melakukan penyidikan atas kasus ini tidak hanya dilakukan oleh penyidik di Kantor KPK Jl. Rasuna Said, Kuningan Jakarta Selatan semata, melainkan juga ada penyidik di Medan, Sumatera Utara.

"Kami akan komunikasikan dengan pimpinan apakah bisa permintaan itu kita berikan, kita akan mintakan penyidik keseluruhan baik di Medan, ataupun di Jakarta. Karena ini menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan," kata Setiadi memaparkan.

Persidangan yang dipimpin oleh Hakim Anwar Usman itu ditutup dengan mengagendakan kembali persidangan berikutnya yang akan dilakukan pada Rabu (2/12) mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan dua orang ahli lagi, yaitu Pimpinan Ketua KPK Busyro Muqadas dan Pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra.

DITUNTUT 10 TAHUN PENJARA – Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) beberapa waktu lalu, OC Kaligis dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dengan pidana 10 tahun penjara. Dalam pertimbangannya, Jaksa menilai bahwa OC Kaligis terbukti melakukan pengkondisian dengan menyuap majelis hakim dan panitera PTUN di Medan sebesar US$27.000 dan Sin$5.000.

Penyuapan atau pengkondisian terhadap sejumlah hakim dan panitera PTUN Medan itu dilakukan bertujuan untuk mempengaruhi putusan atas gugatan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terhadap pengujian kewenangan Kejati Sumatera Utara terkait penyidikan kasus korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH), dan penyertaan modal sejumlah BUMD pada Pemerintah Provinsi Sumut.

Dalam kasus ini, OC Kaligis tidak bertindak sendiri, ia juga melibatkan anak buahnya yaitu, M Yagari Bhastara alias Gary sebagai kurir pemberi uang untuk Hakim PTUN. Ironisnya, belakangan kasus ini terbongkar dan dapat dikatakan sebagai kasus korupsi berjamaah di Provinsi Sumatera Utara.

Skandal ini ternyata melibatkan sejumlah nama orang-orang penting mulai dari pemangku kebijakan di Pusat hingga daerah. Diantaranya terungkap Mantan Sekjen DPP Partai NasDem Patrice Rio Capella juga terlibat dalam kasus upaya pengamanan perkara dugaan korupsi dana Bansos Sumut di Kejaksaan Agung.

Selain itu KPK juga telah menetapkan status tersangka kepada Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujonugroho dan istri kedua Gatot, Evy Susanti, serta sejumlah anggota DPRD Sumatera Utara yang diduga berkomplot dalam kasus korupsi berjamaah tersebut.

Belakangan, terungkap pula adanya upaya penyuapan yang dilakukan Kaligis kepada petinggi Kejaksaan Agung. Terkait hal itu, Senin (23/11) Kejagung sudah memeriksa Fransisca Insani Rahesti yang merupakan mantan anak buah pengacara OC Kaligis. Dia dipanggil terkait kesaksiannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

"Diperiksa sebelum zuhur sudah selesai, keterangannya dalam pemeriksaannya menyatakan tidak benar soal adanya aliran uang untuk petinggi Kejagung," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Amir Yanto dalam keterangannya, Senin (23/11).

Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan tersebut, Amir mengklaim bahwa tak ada aliran dana yang masuk ke Kejagung. Amir menyebut Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan (Jamwas) Widyo Pramono menegaskan tak ada bukti terkait aliran duit itu ke Kejagung. "Pak Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) menyampaikan tidak terbukti sama sekali," kata dia.

Sebelumnya Fransisca sempat mangkir dari panggilan Kejagung. Namun hari ini dirinya bersedia hadir untuk diperiksa terkait kesaksiannya tersebut. Dalam persidangan dengan terdakwa Patrice Rio Capella yang digelar Senin (16/11) Fransisca Insani Rahesti menyebut istri mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, Evy Susanti sudah menyiapkan uang untuk Jaksa Agung Muhammad Prasetyo.

Jumlahnya cukup besar yakni US$20.000. Namun Prasetyo sendiri sudah membantah hal tersebut. "Bu Evy bilang ada uang 20 ribu dollar untuk Jaksa Agung. Untuk Pak Rio ada lagi," kata Sisca dalam persidangan di Pengadilan Tipikor di Jl Bungur Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Sementara itu Evy juga menyebut ada sejumlah uang yang harus diberikan kepada salah seorang pegawai Kejagung. Uang yang diminta kepada dirinya sebesar Rp300 juta. "Namanya Maruli," ujar Evy.

Namun saat ditanya apakah ada uang untuk Jaksa Agung, Evy membantah. Hakim Artha Theresia lantas menanyai Evy mengapa harus memberi uang untuk bertemu dengan Rio Capella. "Kan saya disuruh oleh Sisca (untuk memberi uang Rp200 juta kepada Rio Capella) Yang Mulia," ujarnya. (Gresnews.com/Rifki Arsilan/dtc)

BACA JUGA: