JAKARTA, GRESNEWS.COM – Upaya pengungkapan dan pencarian 13 aktivis yang hilang telah dilakukan melalui jalan panjang dan berliku hanya untuk menemui jalan buntu. Berbagai upaya keluarga korban untuk mendapatkan keadilan telah dilakukan melalui jalur yudisial maupun non-yudisial. Sayangnya, usaha itu selalu sia-sia lantaran berkas penyelidikan atas kasus ini selalu dianggap tak lengkap.

Hal ini sangat disayangkan oleh anggota Dewan Pengurus Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) Mugiyanto. Dia menilai, pengungkapan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) seperti kasus penculikan 1998 bisa berjalan mudah hanya dengan modal kemauan politik presiden dan aparat penegak hukum.

Presiden tidak bisa selalu mengandalkan dukungan politik untuk mengungkap kasus-kasus ini. Karena itu, yang diperlukan adalah keberanian untuk maju sendiri mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM ini. Pengungkapan kasus ini tentunya akan menjadi prestasi sendiri yang akan mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Mugiyanto menegaskan, kasus-kasus tersebut merupakan peristiwa lama dan tak mampu diselesaikan melalui proses hukum meskipun disediakan mekanisme hukumnya. Misalnya, tersedia UU tentang HAM dan UU tentang Pengadilan HAM. 

Upaya-upaya penuntasan via jalur peradilan yang sudah ditempuh keluarga korban toh selalu tak membawa hasil. "Tapi kita semua tahu mentok sampai sekarang," ujar Mugiyanto kepada gresnews.com, Jumat (31/7).

Dia mengaku tak mengerti kenapa berbagai upaya itu tak pernah berhasil. Padahal pihak keluarga korban saja, sudah berupaya menempuh semua cara termasuk secara fisik mendatangi instansi-instansi yang diduga mengetahui ataupun terlibat, misalnya, dengan mendatangi markas Komando Pasukan Khusus (Kopassus) hingga berdemonstrasi di depannya.

Selain itu, mereka juga sudah mendatangi instansi lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Puspom ABRI pada 1998, dan bahkan menghadap presiden, mulai dari Presiden Abdurrahman Wahid hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun hasilnya tetap tak ada penyelesaian. Saking ingin mendapatkan keadilan, bahkan ada diantara beberapa keluarga korban juga menggunakan cara supranatural lantaran mereka percaya dengan hal gaib seperti itu.

Mugiyanto menilai, untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM ini, presiden sebenarnya memiliki otoritas untuk menuntaskannya. Apalagi kasus ini juga sudah diselidiki Komnas HAM, Puskom TNI, dan sudah digelar pengadilan militer atas tim mawar yang divonis bersalah melakukan penculikan.

Sayangnya, kata dia, karena peristiwa ini melibatkan salah satu unit yang powerfull di Indonesia yaitu Kopassus, maka proses tersebut tidak ada yang bisa "menembus" dan informasinya masih "disembunyikan". Karena itu, kata Mugiyanto, Presiden sebagai panglima tertinggi TNI memiliki kekuatan untuk memaksa untuk membuka data-data yang dimiliki pihak-pihak terkait seperti TNI Angkatan Darat dan Kopassus.

Menurutnya, kasus penculikan ini sebenarnya progresnya paling maju dibandingkan kasus pelanggaran HAM masa lalu lainnya. Sebab berkasnya sudah ada di Kejaksaan Agung dan DPR juga sudah merekomendasikan kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM adhoc.

Pengadilan HAM adhoc memang menjadi otoritas presiden atas rekomendasi DPR. "Itu salah satu jalur saja melalui mekanisme hukum. Tapi semuanya mentok," lanjutnya.

Dalam masa pemerintahan ini, Mugiyanto berharap, Presiden Joko Widodo mampu menyelesaikan kasus tersebut. Harapan itu, kata dia, diapungkan sangat tinggi oleh para keluarga korban lantaran Jokowi adalah presiden yang didukung keluarga korban penculikan dalam Pilpres 2014. "Kami berharap agar pada masa Jokowi kasus ini bisa diselesaikan dengan nawacita dan RPJMN secara berkeadilan," ujarnya.

MEKANISME HUKUM TAK BERGUNA - Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma mengatakan, meski kasus penculikan yang menyisakan 13 aktivis yang masih hilang hingga kini dianggap lebih maju dibandingkan kasus pelanggaran HAM masa lalu lainnya, namun pada dasarnya kasus ini jalan di tempat. Pasalnya pihak-pihak berwenang tak juga mampu mengungkap dalang penculikan tersebut.

Dianggap lebih maju karena kasus ini sudah mendapatkan rekomendasi dari panitia khusus Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "Pansus merekomendasikan pada presiden agar membentuk pengadilan HAM adhoc. Kemudian pencarian terhadap 13 aktivis. Ketiga, rehabilitasi bagi keluarga korban. Tapi sampai hari ini rekomendasi DPR itu sejak 2009 tidak ada tindak lanjutnya. Tapi dari sisi prosesnya lebih maju dari yang lain, tapi praktiknya sama dengan kasus lain. Tidak ada tindak lanjut yang bagus," ujar Feri saat ditemui gresnews.com, di kantor Kontras, Jakarta, Jumat (31/7).

Ia menambahkan upaya pengungkapan kasus ini masih sama dengan sebelumnya. Diantaranya dengan memanfaatkan instrumen UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. UU ini menjadi landasan hukum untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan kasus pelanggaran HAM setelah UU ini diundangkan. Sayangnya mekanisme hukum ini jadi tak berguna lantaran tak ada keberanian menggelar pengadilan adhoc HAM.

Padahal pembentukan pengadilan adhoc HAM ini penting untuk menindaklanjuti kasus-kasus sebelum UU Pengadilan HAM disahkan, termasuk kasus penculikan aktivis 1998. Sementara pelanggaran HAM setelah UU tersebut diundangkan ditindaklanjuti melalui pengadilan HAM.

Selain itu, kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu itu juga sudah ditindaklanjuti Komnas HAM dengan menyerahkan berkas-berkasnya ke Kejaksaan Agung. Berkas ini harusnya ditindaklanjuti Kejagung dengan melakukan penyidikan dan penuntutan. "Tapi hingga kini sama sekali belum pernah dilakukan penyidikan oleh kejaksaan agung. Sehingga kasusnya menjadi stagnan," kata Feri.

Karena itu dia menilai, rekomendasi DPR sebenarnya tidak menjadi suatu kemajuan yang berarti karena penyidikan oleh Kejaksaan Agung belum dilakukan. Padahal DPR barus bisa merekomendasi putusan pengadilan HAM adhoc setelah ada penyidikan dan penuntutan. Usulan pengadilan HAM adhoc tersebut diberikan pada presiden dan presiden yang membentuk pengadilan HAM adhoc.

"Kuncinya di Presiden. Jadi hampir semua kasus ini hambatannya ada di Kejaksaan Agung," lanjutnya.

Permasalahan di Kejaksaan Agung, ketika Komnas HAM memberikan berkas seringkali dikembalikan lagi untuk dilengkapi. Sehingga Komnas HAM dan keluarga korban harus bolak-balik mengirimkan berkas ke Kejagung.

Sementara alasan kurang lengkap sudah dipenuhi Komnas HAM. Menurutnya fakta-fakta yang kurang lengkap menjadi kewenangan Jaksa Agung untuk melengkapi berkas tersebut. "Komnas HAM hanya merumuskan dugaan-dugaan atau bukti awal kasus bersangkutan," ujarnya.

Dalam kasus pelanggaran HAM berat, mekanisme yang melakukan penyelidikan adalah Komnas HAM. Sementara yang melakukan penyidikan adalah Kejaksaan Agung. Menurutnya, Komnas HAM periode lalu sudah melaksanakan tugasnya untuk mencari bukti-bukti awal.

Laporan Komnas HAM atas kasus ini bahkan sudah dirilis sehingga sebenarnya sudah terdapat bukti yang cukup untuk petunjuk awal. "Tapi Komnas HAM periode saat ini malah mengupayakan penyelesaian kasus ini melalui rekonsiliasi," ujar Feri.

KOMITE REKONSILIASI TAK PUNYA LANDASAN HUKUM - Feri menilai komite rekonsiliasi yang dibentuk Komnas HAM dan Kejaksaan Agung telah menabrak aturan yang berlaku dan tidak memiliki landasan hukum. Sebab seharusnya bukan Komnas HAM atau Kejaksaan Agung yang merekomendasikan komite tersebut tapi pemerintah.

Pembentukan komite ini belajar dari negara-negara yang memiliki sejarah pelanggaran HAM. Persoalannya UU 27/2004 tentang rekonsiliasi sudah dibatalkan. Sehingga landasan hukumnya sudah tidak ada. Sekarang yang tersedia mekanismenya melalui yudisial.

"Selesaikan dulu yang yudisial. Jaksa Agung lakukan dulu penyidikan, setelah proses itu baru ditentukan kasus ini tidak cukup bukti. Lalu baru direkomendasikan lewat non-yudisial," lanjutnya.

Ia menilai penyelesaian kasus ini melalui penegakan hukum menjadi sulit untuk diupayakan lantaran yang mengusulkan adanya komite rekonsiliasi justru para penegak hukum yaitu Komnas HAM dan Kejaksaan. Karena itu ia dorong agar Jaksa Agung menjalankan mandat untuk melakukan penyidikan.

Feri menjelaskan, idealnya dalam penyelesaian kasus menuju rekonsiliasi harus melewati beberapa tahap. Diantaranya pengungkapan kebenaran untuk mengungkap kenapa peristiwa itu terjadi, motivasi politiknya apa, siapa korban dan pelakunya.

Selanjutnya ada tahap reparasi terkait rehabilitasi dan ganti rugi. Lalu setelah selesai, baru diputuskan apakah akan melalui penegakan hukum atau rekonsiliasi. "Kalau kasus dan korban serta buktinya kuat maka bisa dibawa ke proses hukum," ujarnya.

Persoalannya, kata Feri, komite yang dibentuk saat ini langsung meloncat ke tahap rekonsiliasi. Sehingga tidak melalui proses pengungkapan kebenaran. Jadi proses rekonsiliasi presiden akan melakukan permintaan maaf. 
Menurutnya hal itu tidak cukup dilakukan sebagai penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sebab rekonsiliasi merupakan hak korban yang harus melalui proses lain sebelumnya. Sehingga tidak bisa ujug-ujug langsung rekonsiliasi karena justru tidak menyelesaikan masalah.

DPR DUKUNG REKONSLIASI - Penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu ini sejatinya masih bisa terus diupayakan lewat jalur hukum. Sayangnya, kemauan politik pemerintah dan DPR sendiri sepertinya tak ada sehingga penyelesaian lewat jalur rekonsiliasi justu menjadi yang utama.

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan, hingga saat ini DPR masih memberikan pada Komnas HAM dan Kejaksaan Agung kesempatan untuk menyelesaikan kasus ini melalui komite rekonsiliasi. DPR, kata dia, masih dalam posisi menunggu kinerja komite tersebut.

“Mungkin dalam masa sidang yang akan datang kami akan tanyakan pada Jaksa Agung follow-up nya seperti apa. Karena yang harus menindaklanjuti itu mereka sebagai bagian dari eksekutif," ujar Arsul saat dihubungi gresnews.com, Jumat (31/7).

Arsul menegaskan, penegakan hukum tidak harus selalu diselesaikan dengan jalur pengadilan. Sebab jika dipaksakan melalui jalur pengadilan akan mengandung dua kemungkinan. Pertama, yang memang bisa dibuktikan dengan alat-alat bukti yang cukup sehingga yang didakwa menjadi pelaku bisa dijatuhi hukuman.

Tapi peristiwa ini sudah cukup lama, sehingga bukti-buktinya sulit untuk direkonstruksikan. Kalau dipaksakan dalam konteks penegakan hukum maka yang terjadi bisa kemungkinan kedua yaitu bisa jadi kasusnya malah diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan. Menurutnya, solusinya dilakukan rekonsiliasi tapi juga harus dilakukan pengungkapan kebenaran.

Menanggapi ini, Ketua Komnas HAM Nurkholis mengatakan, seluruh masukan dari berbagai pihak termasuk korban dan keluarganya atas komite ini akan dipertimbangkan. Ia menekankan khususnya untuk kasus pelanggaran HAM berat masa lalu harus dicarikan penyelesaiannya.

"Apakah nanti semua harus ke pengadilan atau dari kasus-kasus itu ada yang displit untuk tidak ke pengadilan edang kita pelajari ulang. Kan selama ini ada masalah apakah semua dibawa ke pengadilan atau sebagian ke pengadilan dan sebagian lagi tidak atau semua tidak usah dibawa ke pengadilan," ujar Nurkholis saat ditemui wartawan usai penandatanganan MoU kota ramah HAM di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (31/7).

Nurkholis melanjutkan, saat ini memang ada masukan mungkin sebagian kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan ke pengadilan. Ia menyatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM memang tidak ditempuh melalui jalan tunggal. Sehingga seluruh masukan tetap akan mereka terima.

GUGATAN ATAS HILANGNYA DOKUMEN DKP - Komisi Informasi Pusat (KIP) baru saja mengeluarkan putusan soal tidak dikuasainya dokumen dewan kehormatan perwira oleh TNI. Padahal, dokumen tersebut dinilai akan menjadi kunci dokumen utama untuk mengungkap kasus penculikan 13 aktivis pada 1997-1998. Dalam hal ini, Kontras yang memohonkan agar dokumen tersebut dibuka karena berisi pemecatan Prabowo Subianto yang saat itu menjadi komandan Kopassus yang diduga menjadi pelaku penculikan tersebut.

Feri menjelaskan masih akan mempertimbangkan apakah akan mengajukan gugatan atas putusan Komisi Informasi Pusat yang menyatakan dokumen DKP tidak dikuasai TNI. Ia menjelaskan memang ada kemungkinan tidak akan mengajukan gugatan tersebut. Pertimbangannya, dalam proses pengungkapan dokumen DKP, KIP bisa dikatakan sangat membantu pihaknya.

"Banyak pertanyaan-pertanyaan mereka yang membuat kuasa hukum TNI kelabakan. Dalam proses sidang, komisioner bertanya apakah surat dokumen DKP kategorinya rahasia atau tidak? Dia tidak bisa jawab. Kalau mereka bilang rahasia kan ini prosesnya tidak berlanjut. Tapi sidang selanjutnya mereka bilang rahasia. Jadi tidak konsisten. Akhirnya mereka bilang setelah dicecar bahwa mereka tidak pernah melihat dan tidak pernah tahu," ujarnya.

Persoalan sengketa ini, inti masalahnya bukan pada KIP tapi pada dokumen DKP. Sebab ketika menggugat putusan ini ke PTUN, maka yang digugat bukan lagi terkait pencarian dokumen tersebut, tapi KIP.

Mugiyanto pun mempertanyakan kenapa dokumen DKP bisa hilang. Ia mempertanyakan siapa yang menguasai dokumen tersebut. Secara konstitusional, menurutnya, hal ini termasuk pembangkangan. Sebab dalam rezim yang demokratis mestinya militer patuh dan tunduk pada otoritas sipil.

"Karena ketika mereka mengatakan tidak menguasai dokumen, itu tidak benar. Menurut saya bukan mereka tidak menguasai dokumen tapi tidak mau menyerahkan dokumen. Mereka tidak mau berikan keterangan. Persoalannya juga beberapa perundang-undangan tidak punya kewenangan untuk memaksa. Misal di UU KIP. Sehingga ketika ada kerjasama dari pihak-pihak terkait misalnya dalam hal ini TNI, jadi tidak bisa ngapa-ngapain," ujar Mugiyanto.

PENEGAKAN KASUS HAM TAK BISA ANDALKAN DUKUNGAN PUBLIK - Mugiyanto menjelaskan kendala yang dihadapi atas penyelesaian kasus ini terkait dengan politik. Sebenarnya informasi dan pelaku ada di pihak TNI. Tapi pihak TNI masih belum mau tunduk pada otoritas sipil.

Ukuran TNI tidak mau tunduk adalah pada kasus ini. TNI tidak mau dipanggil Komnas HAM saat dimintai keterangan kasus ini. Begitu pun ketika DPR membentuk pansus kasus ini, dari pihak TNI juga tidak datang.

"Persoalannya adalah militer, TNI atau ABRI pada saat kejadian tidak mau tunduk pada proses hukum dan otoritas sipil. Mereka secara struktural kan memiliki atasan presiden. Sehingga solusinya presiden yang harus turun tangan untuk menyudahi dan menyelesaikan kasus yang berlarut-larut sudah 17 tahun ini," ujar Mugiyanto.

Arsul mengatakan dokumen DKP terpulang pada TNI. Tapi ia mempertanyakan dokumen DKP tersebut akan diapakan. "Kalau pengungkapannya hanya akan menimbulkan diskursus baru di masyarakat. Buat apa juga? Senang tidak senang yang menyangkut Pak Prabowo saat ini adalah pimpinan dari sebuah partai politik dan artinya mempunyai kursi besar yang cukup signifikan di DPR," ujar Arsul.

Ia melanjutkan pemilu tidak semua rakyat memiliki persepsi yang sama tentang Prabowo. Lalu putusan KIP juga bergantung pada TNI. Sebab ada dokumen-dokumen yang bisa dikecualikan. "Jadi yang perlu dimaksimalkan apa yang sudah disepakati pemerintah, Kejaksaan Agung, dan Komnas HAM yang dijalankan," katanya.

Terkait hal ini, Feri menuturkan persoalan politik atas kasus ini sudah terjadi sejak periode pemerintahan sebelum Jokowi. Kalaupun dukungan politik tidak didapatkan Jokowi untuk membuka kasus ini karena terkait dengan salah satu pimpinan partai dalam hal ini Prabowo dengan kongsi Koalisi Merah Putih (KMP)-nya di DPR, ia menilai belum tentu juga akan mulus penyelesaian kasus ini kalau dukungan politik dikuasai partai-partai Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

"Presiden harus berani ambil sikap. Dia harus melawan dukungan-dukungan politik itu. Kalau dia menunggu dukungan politik tidak akan dapat. KIH dan KMP dua-duanya pelaku sejarah pelanggaran HAM. KMP dulu yang ketuanya Gerindra dan Golkar. Orang-orang Golkar banyak kan tentara-tentara. Prabowo Gerindra. Kita bicara KIH, Hanura. Jadi kalau Jokowi mau bicara pelanggaran HAM masa lalu, ya dua-duanya. Megawati termasuk salah satu orang yang dimintai pertanggungjawaban terkait pelanggaran HAM di Aceh," ujar Feri.

Menurutnya Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan memiliki hak prerogatif untuk menyelesaikan kasus yang ada. "Jokowi harus singkirkan dulu persoalan dukungan politik dan jalankan amanat UU. Nantinya tentu masyarakat yang akan mendukung Jokowi," pungkas Feri.

BACA JUGA: