JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penggugat  Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta tentang Izin Reklamasi Pulau K di Kelurahan Ancol Jakarta Utara mempersoalkan keabsahan proses  konsultasi publik yang dilakukan pengembang saat mengajukan izin reklamasi.  Pihak penggugat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam sidang gugatan reklamasi Pulau K, Kamis siang (29/9) sempat mencecar saksi fakta yang dihadirkan pihak tergugat intervensi yakni PT Pembangunan Jaya Ancol. Saksi fakta yang dihadirkan PT Pembangunan Jaya Ancol kali  ini adalah Lurah Kelurahan Ancol yakni Sumpeno.

Sumpeno yang saat dilakukan konsultasi publik masih menjabat Wakil Lurah Kelurahan Ancol memberikan keterangan soal proses konsultasi publik yang dilakukan pemprakarsa. Dalam keterangannya, Sumpeno menyatakan proses konsultasi publik Pulau K yang dilakukan pada 16 Januari 2012 itu dihadiri oleh lurah, RW 01 dan 02, Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) dan perwakilan kelurahan Ancol.

"Yang hadir itu RW 01 dan 02, Tokoh masyarakat dan saya mewakili  Lurah," kata Sumpeno saat memberikan keterangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Jalan Sentra Primer Baru Timur, Kamis (29/9).

Dalam keterangan saksi fakta terungkap bahwa keterlibatan masyarakat dalam pembangunan pulau reklamasi pulau K itu sangat minim. Konsultasi publik yang hanya dilakukan satu kali itu, hanya dihadiri ketua dua RW dari kelurahan Ancol. Sedangkan perwakilan masyarakat tidak dilibatkan begitu pun pihak industri dan dinas terkait seperti BPLH yang memiliki kaitan dengan proyek reklamasi tidak hadir.

"Kita disuruh memberi masukan. Yang disampaikan masyarakat, mereka minta ditinggikan tanggul, dilakukan pembersihan Kali Ancol untuk mengatasi banjir rob. Serta meminta kepada pihak perusahaan memperhatikan masyarakat," jelas Sumpeno.

Sumpeno juga menegaskan, saat dilakukan konsultasi publik tidak ada penolakan dari masyarakat Kelurahan Ancol. Pihak masyarakat hanya meminta pihak pengembang agar memperhatikan kehidupan masyarakat yang berada di kawasan yang dibangun.

Untuk diketahui, Kelurahan Ancol sendiri terdiri dari kawasan pemukiman, pariwisata serta sentra bisnis seperti Mangga Dua. Sedangkan pemukiman warga kebanyakan di kawasan pantai seperti warga yang tinggal di RW 01, RW 08, RW 10 dan RW 11. Namun sebagian besar kelurahan tersebut tidak terlibat dalam konsultasi publik yang dilakukan PT Pembangunan Jaya Ancol.

LBH sebelumnya menggugat Surat Keputusan (SK) pelaksanaan Pulau K yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menerbitkan izin Nomor 2485 Tahun 2015 untuk reklamasi Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol pada 17 November 2015. Izin diberikan untuk area seluas 32 hektar. Selain itu, Gubernur DKI Jakarta juga menerbitkan izin Pulau G yang telah dibatalkan izinnya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada putusan di pengadilan tingkat pertama.

KONSULTASI PUBLIK FORMALITAS - Kuasa hukum penggugat Tigor Gemdita Hutapea menganggap konsultasi publik yang dilakukan pihak pengembang dan konsultan tak melibatkan masyarakat kelas bawah. Konsultasi dilakukan hanya sebatas tingkat kelurahan dan tak menyentuh masyarakat yang berhadapan langsung dengan dampak pembangunan pulau reklamasi.

"Khusus Pulau K, keterlibatan masyarakat dalam Pulau K dalam konsultasi publik sangat minim. Karena yang diundang hanya dari pihak RW dan LMK," kata Tigor di PTUN Jakarta saat diminta tanggapannya usai persidangan, Kamis (29/9).

Minimnya keterlibatan masyarakat dalam konsultasi publik menyebabkan masalah yang ada di masyarakat tidak dapat direspon dengan baik oleh pihak pengembang. Seharusnya, lapisan masyarakat bawah juga dilibatkan agar potensi masalahnya yang ditimbulkan dapat diatasi.

Kalau konsultasi publik tak mematuhi perundang-undangan, maka izin pelaksanaan bisa saja dibatalkan. "Ini jadi masalah. Sebab konsultasi publik itukan sesuatu yang sangat urgen menyusun amdal. Apabila konsultasi publik tidak sesuai dengan UU 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, maka izin lingkungannya bisa dibatalkan," tegas Tigor.

Tigor menyayangkan, konsultasi publik Pulau K hanya dilakukan untuk memenuhi syarat prosedur. Sedangkan substansi permasalahan yang ada di masyarakat tidak pernah dikaji secara mendalam. Kalau dalam konsultasi tidak maksimal, maka amdal yang disusun pun tidak bisa mengatasi masalah. Karena konsultasi publik itu menjadi bahan dalam penyusunan Amdal.

"Prosedural saja. Padahal konsultasi publik itu menggali semua masalah yang ada di masyarakat yang kemudian dianalisa dalam Andal," ungkap Tigor.

Selain itu, ia juga mempermasalahkan kurangnya sosialisasi hasil konsultasi publik.  Akibatnya, masyarakat banyak yang tidak mengetahui pembangunan pulau reklamasi. Seharusnya, sesuai dengan PP 17 tahun 2012 tentang pedoman bagaimana pelibatan masyarakat dalam konsultasi publik, harus dilakukan upaya lanjutan dengan menginformasikan dan menyosialisasikan kepada masyarakat.

"Yang saya tanya di lapangan baik Pulau F atau K banyak masyarakat yang tidak tahu. Konsultasi publik hanya sebatas lurah dan RW," tutur Tigor.

BACA JUGA: