JAKARTA - Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang mengabulkan gugatan para pengembang reklamasi Teluk Jakarta menuai banyak kecaman. Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menyayangkan sikap Mejelis Hakim pemeriksa perkara yang tidak pernah memanggil pihak lain yang dianggap berkepentingan, khususnya para nelayan, dalam proses pemeriksaan persidangan.

Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan masyarakat sipil dapat mengajukan permintaan pada Komisi Yudisial (KY) untuk melakukan pemantauan terhadap proses peradilan di PTUN. "KY dapat menggunakan kewenangan yang dimiliki sesuai amanat UU tentang Komisi Yudisial," ujar Masinton kepada Gresnews.com, Selasa (6/8).

Menurut anggota DPR asal PDIP itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, sudah mengatur secara jelas kewenangan KY dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 

Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim. Dalam hal permintaan bantuan kepada Aparat penegak hukum itu bersifat imperatif atau wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial. 

Sebelumnya PTUN Jakarta mengabulkan gugatan PT Taman Harapan Indah (THI)—entitas anak PT Intiland Development Tbk (DILD)—tentang pencabutan izin reklamasi Pulau H. Gugatan hukum yang dilayangkan pada 18 Februari 2019 itu dikabulkan majelis hakim PTUN pada 9 Juli 2019 dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan banding.

Setelah kemenangan PT Taman Harapan Indah, masih ada tiga pengembang lain yang menggugat. Pertama, PT Manggala Krida Yudha sebagai pengembang Pulau M. Kedua, PT Jaladri Kartika Pakci sebagai pengembang Pulau I. Ketiga, PT Agung Dinamika Perkasa sebagai pengembang Pulau F. Pengembang ini adalah mitra kerja dari PT Jakarta Propertindo (BUMD milik Pemprov DKI). (G-2)

BACA JUGA: