JAKARTA, GRESNEWS.COM - Persidangan kasus dugaan korupsi pemberian hadiah atau janji dengan terdakwa Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja dan asistennya, Trinanda Prihantoro yang digelar Rabu (20/7) kemarin meninggalkan beberapa kisah menarik, salah satunya terkait aliran uang.

Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi yang sudah menjadi tersangka dalam perkara ini diduga menerima dana selain uang Rp2 miliar yang menjadi asal muasal tangkap tangan yang dilakukan tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dirinya beserta Trinanda dan menyusul Ariesman yang menyerahkan diri.

Selain itu, ada dugaan bahwa uang tersebut tidak dinikmati sendiri oleh Sanusi, tetapi kepada pihak lain. Dalam persidangan, penuntut umum KPK mengungkap percakapan telepon yang dilakukan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Mohamad Taufik dan staf khusus Sanusi, Gery Prastya.

Percakapan tersebut berisi perintah agar Gery mengambil sesuatu dari seorang yang disebut Sekjen di wilayah Tangerang, Banten. Jika dilihat dari percakapan, Sekjen yang dimaksud adalah Sekjen Partai Gerindra yang saat ini dijabat Ahmad Muzani.

Gery merupakan perantara suap antara Ariesman dan Sanusi dan ikut dicokok dalam penangkapan yang dilakukan KPK. Uang yang disita darinya untuk diberikan kepada Sanusi berjumlah sekitar Rp2 miliar.

Saat dikonfirmasi terkait hal tersebut, Sanusi, melalui penasehat hukumnya yaitu Krisna Murti mengaku tidak tahu menahu mengenai hal itu. Bahkan, Krisna mengklaim dirinya baru mendengar adanya percakapan ini saat gresnews.com menanyakannya.

"Setahu saya hingga saat ini untuk Berita Pemeriksaan Acara (BAP) tersangka, enggak ada itu, belom tau saya kalau itu. Bang Uci (Sanusi) enggak pernah cerita," kata Krisna seusai mendampingi kliennya menjalani pemeriksaan, Kamis (21/7) petang.

TAUFIK GUGUP - Terungkapnya percakapan tersebut berawal ketika penuntut umum KPK Nurul Widiasih menanyakan apakah Taufik yang dihadirkan sebagai saksi mengenal sosok Gery Prasetya. Taufik mengaku cukup mengenal sosok Gery karena masih ada hubungan keluarga dalam hal ini keponakan.

Tak puas, jaksa kembali menanyakan hubungan Gery dengan perkara ini. "Sanusi dan Gery di OTT. Saya tau Gery ketemu Trinanda, abis itu ketangkep," ujar Taufik.

"Apa tahu kalau Gery yang membawa uang?" cecar Jaksa Nurul. Tetapi Taufik mengaku tidak mengetahui secara rinci tentang kasus yang menimpa Sanusi yang merupakan adik kandungnya itu.

Jaksa kembali mencecar Taufik apa maksud "barang" yang harus diambil Gery dalam percakapan tersebut. Tetapi politisi Gerindra ini berdalih bahwa hal tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Reklamasi.

"Itu enggak ada urusan Raperda. Itu urusan dengan Sekjen. Karena Sanusi kan nyalon gubernur. Rencana ketemunya di Tangerang," klaim Taufik.

Saat ditanya apakah yang dimaksud "barang" dalam percakapan itu adalah uang, Taufik justru mengaku tidak mengetahuinya. Ia malah berdalih bahwa pengambilan itu tidak jadi dilaksanakan karena waktu yang sudah terlalu malam.

"Barangnya enggak tahu. Enggak jadi diambil, karena Sanusi enggak bisa, terus juga udah kemaleman," pungkas Taufik.

Jaksa mempunyai alasan tersendiri menanyakan hal ini. Sebab ada kecurigaan barang yang dimaksud dalam percakapan tersebut adalah uang. Meskipun tidak secara langsung terkait dalam pembahasan Raperda Reklamasi, tetapi dalam UU Tipikor, seorang penyelenggara negara tidak boleh menerima sesuatu dari pihak lain yang diduga berkaitan dengan jabatannya.

Apalagi, dalam persidangan juga terungkap adanya persetujuan baik dari dua orang pengusaha kelas kakap yaitu Ariesman Widjaja maupun Sugiyanto Kusuma‎ alias Aguan, untuk memberi bantuan dana terkait pencalonan Sanusi sebagai gubernur DKI Jakarta.

KEMBALI BERKELIT - Sikap M Taufik selalu berkelit ketika ditanya hakim dalam persidangan dengan terdakwa eks Presdir PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, Rabu (20/7). Taufik juga melakukan itu ketika jaksa penuntut umum KPK memutar rekaman sadapan telepon antara Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi dan Taufik.

Berikut isi rekaman sadapan telepon antara Prasetyo dan Taufik:

P: Oh ya ya ya. Terus apa lagi?
T: Pasal yang per diorder udah beres semua. Tinggal pasal sanksi aja udah.
P: Iya iya iya kenapa lagi?
T: Besok kelar
P: Apa lagi bro?
T: Besok udah
P: Oh gitu ya
T: Hmmm
P: He eh
T: Apa ada perintah lagi?
P: Ya nanti, beresin
T: Ya lu kirimlah anjing!
P: Leh.. om!

Jaksa kemudian mengkonfirmasi ke Prasetyo dan Taufik soal order pasal yang terdengar dalam rekaman sadapan tersebut. Namun, Prasetyo dan Taufik sama-sama mengelak. "Saya ini kan orangnya suka bercanda, jadi ya itu terbawa. Tidak ada itu order-order pasal," kata Prasetyo.

Senada dengan Prasetyo, Taufik pun membantah adanya order pasal dalam raperda reklamasi. Dia berkilah, ada keputusan fraksi yang menolak beberapa pasal usulan Pemprov DKI. "Yang ada itu keputusan fraksi yang keberatan dengan draft yang diajukan Pemprov, kalau order tidak ada lah," ungkap Taufik.

Dalam dakwaan Ariesman Widjaja, terungkap adanya satu pasal dalam raperda yang menjadi akar masalah alotnya pembahasan. Pasal itu adalah pasal yang mengatur tentang kewajiban kontribusi tambahan yang dibebankan kepada perusahaan pengembang yang mendapatkan izin reklamasi.

Adapun pasal yang menjadi ujung pangkal permasalahan adalah Pasal 116. Pasal 116 ayat (6) dalam Raperda RTRKSP ini mengatur tentang sistem pengenaan kewajiban. Pengenaan kewajiban ini dijelaskan dalam pasal (5), yang meliputi:
1. Kewajiban
2. Kontribusi
3. Tambahan kontribusi

Sementara di Pasal 116 ayat (11) dijelaskan bahwa tambahan kontribusi seperti yang dimaksud dalam ayat (10) dihitung sebesar 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) total lahan yang dapat dijual di tahun tambahan kontribusi dikenakan.

BACA JUGA: