JAKARTA, GRESNEWS.COM – Regional Coordinator Safenet Damar Juniarto menyatakan, penangkapan pria berinisial MA yang diduga menghina Joko Widodo melalui dunia maya tidak bisa dilepaskan dari momen pemilihan presiden 2014. Khususnya dalam konteks ada dua kubu yang bersaing, yakni Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
 
Di tengah masa kampanye pilpres tersebut, muncul sebuah gambar hasil rekayasa yang sangat kental dengan unsur pornografi. Dalam gambar itu, ada sosok Jokowi dan Megawati. Menyikapi hal itu, tim kuasa hukum Jokowi melaporkan MA kepada polisi. "Proses hukumya dilakukan pada Juli 2014 bersamaan dengan masa-masa kampanye," kata Damar kepada Gresnews.com, Rabu (29/10).
 
Pada saat itu, kata dia, kedua kubu sama-sama diduga melakukan pencemaran nama  baik. Diantaranya banyak juga yang dilaporkan kedua pihak kepada polisi. Misalnya kubu Prabowo melaporkan jurnalis investigasi Allan Nairn ke Badan Reserse Kriminal Polri atas tuduhannya terhadap Prabowo. Allan menuding Prabowo sebagai jenderal yang paling banyak membunuh warga sipil. Tudingan ini dianggap sebagai fitnah terhadap Prabowo dan TNI.
 
"Karena sama-sama melaporkan, kita harus melihat secara satu per satu, tepat tidaknya MA ini dilaporkan ke polisi dengan melanggar pasal undang-undang," tanya Damar yang juga peneliti pada Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) ini.

Ia pun memberi gambaran pasal-pasal yang bisa dikenakan kepada MA. Misalnya, ketika  MA dikenai Pasal 29 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, maka MA harus bisa dibuktikan merupakan bagian dari yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi.
 
"Pertama harus bisa dibuktikan, benar tidak dia memproduksi foto tersebut atau hanya sekadar menyebarkan," ujarnya.

Bagi yang memproduksi, kata Damar, juga harus dibuktikan apakah dia mempunyai kapasitas untuk melakukan manipulasi foto. Melihat latar belakang MA sebagai seorang tukang sate, Damar mengaku ragu kalau MA bisa memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi.
 
Selanjutnya, kalau dikenai Pasal 35 juncto Pasal 51 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), maka harus dibuktikan foto tersebut berasal dari dan disebarkan oleh MA. Jika iya, MA memang bisa dikenakan pidana 12 tahun penjara karena dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan sehingga dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Tetapi sekali lagi mengingat latar belakang MA, seperti pasal ini pun sulit diterapkan.

Lapis berikutnya yang mungkin dikenakan adalah pengaturan mengenai penyebaran kebencian atau permusuhan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pindana (KUHP). Pasal 156 KUHP menyatakan: "Barang siapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap satu atau lebih suku bangsa Indonesia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun dengan hukuman denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah".
 
Selain itu, lanjut Damar, Pasal 157 Ayat (1) juga mengatur: "Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan diantara atau terhadap golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan".

Hanya saja jika pasal-pasal ini akan diterapkan, kata Damar, harus dilihat pula apakah unsur-unsurnya terpenuhi. Jika pasal ini yang dikenakan, lanjutnya, harus ada unsur ajakan dalam penyebaran tersebut. "Apakah betul, munculnya foto-foto itu mengakibatkan munculnya perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap satu atau lebih suku bangsa Indonesia," jelasnya.
 
Pasal terakhir yang mungkin dikenakan ke MA adalah pasal tentang pencemaran nama baik, yakni Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dan norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.
 
Merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.
 
Pasal itu lengkapnya berbunyi: "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".

Sedangkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyebutkan: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".

Jika pasal-pasal tersebut yang diterapkan pun, polisi harus mengikuti prosedur tertentu. "Untuk membuktikan ini polisi harus membuat proses digital, dan bisa membuktikan bahwa MA ini adalah pihak pertama dan harus ada unsur berkesinambungan," jelasnya.
 
Sebelumnya, Kepolisian membenarkan telah menahan MA yang diduga menghina Jokowi melalui dunia maya. "Ada penangkapan MA terkait ITE dan Pornografi," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar kepada wartwan di depan Gedung Bareskrim, Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu (29/10).
 
Proses penangkapan itu atas laporan tim kuasa hukum Presiden Jokowi kepada Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atas dugaan pencemaran nama baik Widodo, saat masih berkampanye.

Koordinator Hukum Tim Kampanye Nasional Jokowi-JK Henry Yosodiningrat mengatakan, mereka melaporkan MA karena adanya perbuatan penghinaan, bukan fokus kepada siapa sosok pelaku.

"Ini banyak yang menanyakan ke saya, Pak Henry kok tega ngelaporin tukang sate. Mana tahu kami kalau dia itu tukang sate. Yang jelas kami ini melaporkan perbuatan," ujar Henry, Rabu (29/10).

Henry mengatakan di tengah masa kampanye Pilpres, muncul sebuah gambar hasil rekayasa yang sangat kental dengan unsur pornografi. Dalam gambar itu, ada sosok Jokowi dan Megawati. "Tidak boleh dibiarkan hal itu. Jangan sampai ada preseden buruk kalau tindakan rekayasa gambar ini dibiarkan," ujar Henry.

Henry menganalogikan pelaporan perbuatan penghinaan dengan gambar rekayasa itu seperti dengan pelaporan tindakan pembunuhan. "Kalau misalnya dalam pelaporan pembunuhan itu setelah disidik diketahui bahwa yang membunuh adalah pemulung. Masa kita terus dibilang kok tega ngelaporin pemulung," kata Henry.

Anggota DPR dari Fraksi PDIP ini mengatakan tim hukum kampanye Jokowi juga tidak mengetahui siapa pelaku pembuat gambar rekayasa itu. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian. "Kan itu bisa diketahui karena proses penyidikan. Ternyata pelaku di sini, itu polisi yang menyimpulkan," ujar Henry. (dtc)

BACA JUGA: