JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menelusuri kasus dugaan suap dalam pembahasan dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang berkaitan dengan reklamasi di Teluk Jakarta. Kasus tersebut baru menjerat dua orang sebagai tersangka, yaitu Ketua Komisi D DKI Jakarta Muhammad Sanusi dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja.

Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak mengatakan pemeriksaan hingga saat ini terus berlanjut demi menelisik dugaan keterlibatan tersangka lain baik dari pihak swasta, legislatif, maupun Pemprov DKI Jakarta. Meskipun begitu, KPK belum menetapkan tersangka baru dalam kasus ini, termasuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

"Untuk kasus reklamasi terus lakukan periksa, belum ada penetapan tersangka baru," kata Yuyuk di kantor KPK, Jakarta, Senin (23/5) petang.

Selain itu, KPK juga belum menjadwalkan kembali pemanggilan terhadap Ahok untuk menjadi saksi dalam perkara ini. "Belum dapat informasi," pungkas Yuyuk.

Pada 10 Mei 2016, KPK memang telah memanggil Ahok sebagai saksi dalam perkara ini. Ketika itu Ahok mengakui telah menerbitkan tiga izin pelaksanaan reklamasi. "Ada tiga," kata Ahok ketika itu.

Namun, berdasarkan informasi yang dihimpun, Ahok telah mengeluarkan tujuh izin pelaksanaan reklamasi. Seperti Pulau F seluas 190 hektare yang dikembangkan oleh PT Jakarta Propertindo, Pulau G seluas 161 hektare dikembangkan oleh PT Muara Wisesa Samudra selaku anak perusahaan Agung Podomoro Land, Pulau H seluas 63 hektare dikembangkan oleh PT Intiland Development.

Kemudian Pulau I seluas 405 hektare dikembangkan oleh PT Jaladri Kartika Ekapaksi, Pulau K seluas 32 hektare dikembangkan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol, Pulau L seluas 481 hektare dikembangkan oleh PT Manggala Krida Yudha dan Pulau N seluas 411 hektare.

Selama ini Ahok selalu berdalih bahwa Keputusan Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014 tentang pemberian izin reklamasi tersebut telah sesuai dengan Keppres Presiden Soeharto Nomor 52 Tahun 1995. Padahal pernyataan tersebut tak tepat lantaran Ahok telah melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juncto Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi. Ahok pun lupa bahwa pada era Presiden Gus Dur tahun 2004, muncul UU tentang Reklamasi yang melarang Kawasan Strategis Nasional tersebut untuk direklamasi.

TAK ADA BEBAN TUNTASKAN KASUS - Terpisah, mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan lembaga antirasuah itu bisa saja menetapkan Ahok sebagai tersangka asalkan mempunyai bukti yang cukup. Meskipun kabar yang beredar Ahok dekat dengan penguasa, namun hal tersebut seharusnya bukan menjadi hambatan.

"Jangankan Ahok, presiden Anda, Jokowi, kalau memang melanggar hukum juga diproses," kata Abdullah saat dihubungi wartawan.

Menurut Abdullah, KPK punya alasan untuk meningkatkan status Ahok menjadi tersangka asalkan mempunyai dua alat bukti permulaan yang cukup. Jika memang hal itu terjadi maka tentu saja para pimpinan KPK bisa dianggap melanggar etika yang ada, bahkan menyalahgunakan kewenangan.

"Oh enggak. Kalau itu betul (menahan status Ahok sebagai tersangka), saya yang pertama usulkan bentuk Komite Etik," pungkas mantan Ketua Komite Etik KPK itu.

Abdullah menilai, para pimpinan KPK tidak boleh mencampurkan unsur politik dan hukum dalam menangani kasus, termasuk reklamasi. Meskipun nantinya Ahok kembali memenangkan Pilkada DKI Jakarta pada 2017, hal tersebut juga bukan menjadi hambatan.

Mengenai kredibilitas Ahok yang terlihat cukup bagus di masyarakat, lagi-lagi Abdullah beranggapan hal tersebut tidak menjadi halangan. Apalagi, KPK pernah membuktikan diri dengan menangkap beberapa orang "besar" dan akhirnya terbukti di persidangan.

Salah satunya seperti Aulia Pohan, besan Susilo Bambang Yudhoyono yang ketika itu menjabat sebagai presiden, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Kapolri Rusdiharjo, dan beberapa pejabat lain yang ketika itu dekat dengan penguasa.

"Jadi persoalannya hanya satu, alat bukti. Kalau alat bukti itu ada, bisa diproses. Cuma iblis saja yang enggak bisa ditangkap oleh KPK. Kalau manusia bisa ditangkap," pungkas Abdullah.

TUMPANG TINDIH PERATURAN - Tumpang tindihnya peraturan menjadi penyebab tidak adanya kewajiban yang jelas terkait perizinan yang harus dipenuhi sebelum penerbitan izin pelaksanaan reklamasi. setidaknya ada empat peraturan yang saling tumpang tindih dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Peraturan itu adalah Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Jakarta; Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur; Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007.

Selama ini, pihak-pihak yang terlibat maupun terkena dampak dari proyek reklamasi Teluk Jakarta memiliki argumentasi masing-masing dengan landasan regulasinya berbeda-beda. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selalu menjadikan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 sebagai acuan. Adapun pasal yang digunakan adalah Pasal 4 yang menyebutkan wewenang dan reklamasi pantai utara ada pada Gubernur DKI Jakarta.

Peraturan inilah yang membuat Ahok menilai dirinya memiliki wewenang untuk menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi. Sebab, dia menganggap Gubernur DKI sudah diberi kewenangan dari pemerintah pusat.

Namun, di sisi lain, pihak yang menggugat perizinan dari Ahok ini di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yakni kuasa hukum Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta Muhammad Isnur menyatakan, Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tidak berlaku setelah adanya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang.

Pada kasus yang lain, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan, Ahok tidak pernah meminta rekomendasi darinya saat menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi. Padahal, dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil disebutkan bahwa izin pelaksanaan reklamasi harus seizinnya.

Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2012 adalah turunan dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan turunan dari Perpres Nomor 122 Tahun 2012 mengatur izin lokasi reklamasi dengan luas di atas 25 hektare dan izin pelaksanaan reklamasi untuk luas di atas 500 hektare membutuhkan rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan.

Atas dasar itu, kewenangan izin pelaksanaan reklamasi pantai utara baru bisa dikeluarkan Gubernur DKI setelah ada rekomendasi dari Susi selaku Menteri Kelautan dan Perikanan. Selain itu, izin pelaksanaan reklamasi pantai utara baru bisa dikeluarkan Gubernur setelah ada Perda Zonasi Wilayah Pesisir yang belum juga disusun.

Sebelumnya Menteri Koordiantor Bidang Maritim Rizal Ramli sempat menyinggung soal tumpang tindihnya peraturan serta perdebatan yang terjadi selama ini. "Kalau kita bahas terus, enggak habis-habis debatnya," ujar Rizal dalam rapat yang digelar di kantornya, Senin (18/4/2016),

Karena itu, ia menegaskan, peraturan yang seharusnya menjadi acuan adalah peraturan terbaru sesuai hierarki yang berlaku di Indonesia. Undang-undang lebih tinggi hierarkinya dari Keppres maupun Perpres. "Peraturan yang lama tentu dikalahkan undang-undang yang baru, kecuali ada pasal-pasal pengecualiannya," ucap Rizal.

Maka peraturan yang seharusnya kini menjadi acuan proyek reklamasi Teluk Jakarta adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, seperti yang selama ini digunakan oleh Menteri Susi dan Ahok pun jelas telah melanggar peraturan karena tidak meminta izin terlebih dahulu kepada Menteri Perikanan dan Kelautan.

BACA JUGA: