JAKARTA, GRESNEWS. COM - Berita soal ditangkapnya MA (24) seorang tukang tusuk sate oleh aparat Bareskrim Mabes Polri karena diduga telah menghina Presiden Joko Widodo via akun Facebok, kini sudah jatuh lagi korban penahanan oleh polisi akibat mencurahkan perasaan lewat jejaring sosial tersebut. Ervani Emihandayani (29) ditahan polisi karena memposting kekecewaannya atas apa yang dialami suaminya.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pun mengecam mengecam tindakan Kepolisian Yogyakarta yang melakukan penahanan terhadap Ervani hanya karena mengungkapkan perasaan di facebook. Ervani dilaporkan ke Polisi pada 9 Juni 2014 usai menuliskan curahan hatinya di media sosial grup Facebook Jolie Jogja Jewellery soal kejadian yang dialami suaminya pada 30 Mei 2014. Alfa, suami Ervani, bekerja sebagai petugas keamanan di Toko Jolie Jogja Jewellery.

Karena laporan tersebut, maka pada 9 Juli 2014, Ervani dipanggil polisi untuk dimintai keterangan. Usai pemeriksaan, dirinya langsung ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan. Sampai dengan saat ini, Ervani masih mendekam di tahanan Rumah Tahanan Wirogunan karena disangka melakukan pencemaran nama baik, dirinya dikenakan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.

Anggara, Peneliti Senior Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengecam tindakan penahanan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap Ervani."Penahanan terhadap Ervani sama sekali tidak diperlukan," kata Anggara, dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Sabtu (1/11).

Menurut Anggara, penahanan terhadap Ervani, hanyalah berdasarkan alasan ancaman hukuman lebih dari 5 tahun, karena Ervani dikenakan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE yang ancaman hukumannya 6 tahun. Selebihnya, polisi mengabaikan tiadanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa adanya kemungkinan tersangka untuk melarikan diri, mengulangi perbuatan dan menghilangkan barang bukti.

"Untuk kasus seperti penghinaan, dan ada itikad baik dari tersangka untuk memenuhi panggilan polisi dan memberikan keterangan, maka seharusnya tidak ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran untuk dilakukannya penahanan" sebut Anggara.

Selain itu, dirinya juga meragukan bahwa kepolisian memiliki izin dari ketua pengadilan negeri setempat untuk melakukan penahanan terhadap Ervani. "Latar belakang, kasus posisi dan keberadaan Ervani jelas, dengan begitu tidak ada indikator kekhawatiran yang jelas dari Kepolisian, penahanan harusnya tidak perlu dilakukan, ini bertentangan dengan KUHAP," tambah Anggara.

Praktik-praktik penahanan seperti ini hanya menunjukkan bahwa polisi tidak memahami konsep penahanan dalam KUHAP. "Dengan kewenangan begitu besar, harusnya polisi memahami konsep penahanan, menggunakan kewenangan dengan matang dan profesional, tidak asal saja seperti ini," ujar Anggara.

Untuk kasus Ervani yang dijerat dengan UU ITE, Anggara menyebutkan bahwa polisi seharusnya berhati-hati melakukan penahanan, perlu dicatat bahwa berdasarkan Pasal 43 Ayat (6) UU ITE, dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.  
"Harus dipastikan apakah polisi memenuhi prosedur ini, apabila tidak, ini bentuk penahanan sewenang-wenang oleh polisi," ujar Anggara.

Untuk itu, kata Anggara, ICJR menghimbau Kapolri Jenderal Sutarman untuk melakukan evaluasi pada anggota kepolisian yang masih belum memahami konsep penahanan dalam KUHAP. Lebih lanjut untuk kasus Ervani, ICJR menyerukan agar polisi segera mengeluarkan Ervani dari tahanan karena penahanan yang dilakukannya tidak berdasar.

"Apabila tidak, mendorong Ervani untuk melakukan praperadilan pada penahanan yang dikenakan padanya," kata Anggara.

Sebelumnya terkait kasus MA, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada Fariz Fachryan meminta polisi bijak dalam menangani kasus tersebut. Menurut Fariz, dalam konteks penegakan hukum apa yang dilakukan polisi sudah benar.

Arsyad telah melanggar UU Pornografi dan ITE. Namun dalam konteks penegakan hukum harus juga dilihat asas manfaat.

Sebab tidak semua penegakan hukum akan membawa manfaat. "Dalam kasus ini sebaiknya diselesaikan secara baik-baik,tidak melulu lewat hukum," ujar Faris kepada Gresnews.com, Sabtu (1/11).

Karenanya Fariz mendorong semua pihak menyelesaikan kasus ini dengan bijak. "Baik Presiden Jokowi dan Polisi untuk melihat masalahnya tidak hanya dari penegakan hukumnya saja," ujarnya menegaskan.

BACA JUGA: