JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penyelenggaraan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tinggal hitungan bulan. Pada Desember 2015, siap atau tidak, Indonesia akan menghadapi pasar bebas Asia Tenggara. Dalam kancah ekonomi regional itu diprediksi setiap negara bakal bersaing ketat.

Deputi Regional dan Sub Regional Kementerian Koordinator Perekonomian Rizal Edwin menyatakan pada awal 2015 lalu, Indonesia telah siap menyambut MEA. "Pada tahun 2015 ini, Indonesia dipastikan siap terjun ke MEA," ujar Rizal saat Media Briefing di gedung Nusantara, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Kesiapan tersebut disampaikan Rizal dengan sejumlah paparan. Kesiapan Indonesia itu terlihat dari berbagai langkah penting yang telah disusun pemerintah. Pada Agustus 2014, pemerintah berhasil menyusun cetak biru (blue print) MEA khusus soal aksi perencanaan di tingkat nasional.

Rizal juga menuturkan, kesiapan cetak biru MEA sudah mencapai 85,5 persen. Menurutnya, dari segi capaian yang ada, Indonesia sudah lolos secara prosedural dan layak terjun dalam forum kerjasama regional MEA itu. "Syarat dan standar ketentuan score card rata-rata untuk masing-masing ASEAN di MEA adalah 82,1 persen,” kata Rizal.

Selain cetak biru MEA, Indonesia juga telah meratifikasi 115 perjanjian dari total 138 perjanjian ekonomi ASEAN yang meliputi bidang perdagangan barang dan jasa serta investasi. Saat ini pemerintah masih mengejar target yang ditentukan mengingat masih ada 23 kerjasama lainnya di bidang perdagangan jasa yang belum rampung.

Selain itu, berdasarkan data yang dihimpun gresnews.com, dari segi persiapan nasional lainnya, Indonesia juga telah menggalakkan 43 proyek infrastruktur dan logistik dalam program Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Proyek-proyek tersebut sudah termasuk pembangunan rel kereta api di lima pulau besar dan sistem transportasi massal di enam kota besar Indonesia.

Informasi yang juga sempat disampaikan Kemlu, pemerintah berencana secara aktif mendorong Maritime Connectivity (MC) untuk pembangunan tol laut dari kawasan barat hingga timur dan meningkatkan kapasitas pelabuhan di seluruh pulau di Indonesia.

TARGET INDONESIA - Direktur Jenderal Kerjasama Association of South East Asian Nations (ASEAN) I Gusti Agung Wesaka Puja tetap optimistis memandang MEA sebagai suatu peluang strategis. Untuk mencapai hasil maksimal di MEA, kata dia, Indonesia telah menyusun misi khusus diantaranya terkait sektor-sektor strategis yang diyakini bakal memberi kontribusi bagi pembangunan nasional. "Ada sejumlah bidang yang akan dijadikan harapan Indonesia menghadapi MEA,"  kata Puja saat acara Media Briefing di gedung Nusantara, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Puja menerangkan, sejumlah misi khusus yang dimaksud meliputi tiga sektor utama, yaitu pembangunan jalur strategis kawasan melalui Master Plan Percepatan Pembangunan Konektivitas Kawasan ASEAN sesuai visi poros maritim Presiden Joko Widodo, sektor perdagangan dan perekonomian.

Terkait capaian integrasi jalur kawasan, Puja memastikan dapat berjalan sesuai harapan karena inisiatif bersama tersebut sudah disepakati oleh negara mitra ASEAN dalam Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC).

Kemudian, mengenai kesiapan menghadapi sektor perdagangan, lanjut Puja, pemerintah berencana meningkatkan hubungan kerjasama dengan negara anggota ASEAN di bidang investasi, industri dan manufaktur. Hal ini penting mengingat pertumbuhan sektor perdagangan Indonesia di kawasan ASEAN cenderung lambat. 

"Perdagangan intra ASEAN selama ini masih jauh di bawah standar ideal yakni hanya 24,2 persen. Untuk itu, diharapkan dalam jangka waktu lima tahun ke depan, nilai perdagangan Indonesia harus ditingkatkan setidaknya bisa mencapai 35 sampai 40 persen," sebut Puja.

PETA PERSAINGAN - Perencanaan yang telah disusun pemerintah tentu bisa saja berbeda dalam prakteknya di MEA nanti. Hal itu karena faktor persaingan dan tingginya agresivitas kepentingan nasional (national interest) masing-masing negara.

Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta Ludiro Madu mengatakan, secara umum semua negara anggota ASEAN memiliki beragam political will untuk mewujudkan integrasi ekonomi regional dalam kerangka MEA.

Sebagaimana diketahui, terdapat 10 negara yang diprediksi bakal bersaing di MEA antara lain, Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja.

"Dari 10 negara itu, setiap negara sama-sama memiliki komitmen mengejar keuntungan komparatif dan kompetitif dari liberalisasi ekonomi regional yang ditawarkan MEA," ujar Ludiro dihubungi gresnews.com, Selasa (7/7).

Dosen bidang Diplomasi dan Kawasan Asia Tenggara itu memetakan kompetisi 10 negara anggota ASEAN ke dalam beberapa kelas berdasarkan political will (tujuan politik). Kelas satu, Singapura sebagai inisiator MEA, digadang-gadang memiliki pengaruh political will yang paling kuat di kawasan. Singapura dianggap mampu seiring eksistensinya dalam dinamika ekonomi global sehingga diprediksi bakal unggul di sektor-sektor strategis seperti jasa dan perdagangan.

Kelas kedua, Thailand dan Malaysia juga dianggap memiliki kans yang cukup besar apabila ditinjau dari target capaian kepentingan nasionalnya. Thailand diketahui cukup serius mempersiapkan diri melalui strategi kebijakan nasional dan edukasi serta sosialisasi kepada masyarakat mengenai esensi MEA. Pemahaman publik yang cukup matang menjadi modal penting menghadapi persaingan ekonomi.

Sementara, eksistensi pertumbuhan ekonomi Malaysia diprediksi relatif stabil karena tidak sepenuhnya bergantung pada MEA. Terbukti, Malaysia juga pernah mempertimbangkan untuk bergabung dengan Trans Pacific Partnership yang dibentuk AS untuk mengurangi sentralitas di MEA dan ASEAN–China Free Trade Area (ACFTA).

Kelas ketiga, Indonesia bergabung bersama Filipina dan Vietnam dalam konteks kemampuan pemerintah nasional mempersiapkan diri menghadapi MEA. Menurut Ludiro, Indonesia kini sedikit mengalami transisi politik di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ia menilai, pemerintahan saat ini telah memaksa Indonesia melakukan penyesuaian peran dan pengaruh regional di ASEAN.

PENGARUH REGIONAL LUNTUR - Ludiro melihat prioritas pemerintahan Jokowi yang hanya fokus pada upaya penataan ekonomi domestik. Hal itu menjadi salah satu penyebab lunturnya peran dan pengaruh regional Indonesia di kawasan. Prioritas menjaga kedaulatan nasional, visi kekuatan maritim global, dan diplomasi ekonomi internasional telah mengarahkan politik luar negeri Indonesia lebih fokus pada isu-isu ekonomi domestik dan hubungan bilateral. "Hal itu dapat mengurangi partisipasi Indonesia di ASEAN," katanya.

Selain itu, peran Indonesia juga diprediksi minim dalam konteks penyerapan pasar domestik terhadap produk negara-negara ASEAN. Hal itu karena produsen Indonesia relatif tidak siap menghadapi sirkulasi produk yang ditawarkan MEA.

Sementara, kelompok negara terakhir yang cenderung kurang memberikan kontribusi dalam MEA adalah Brunei, Myanmar, Laos dan Kamboja. Keempat negara tersebut dinilai kurang memiliki posisi tawar yang sama dibandingkan dengan anggota lainnya karena kontribusi ekonomi dalam kerjasama MEA relatif kurang signifikan.

SEJARAH MEA - Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC) dibentuk pada Desember 1997, saat KTT ASEAN Kuala Lumpur. Para pemimpin ASEAN memutuskan mentransformasikan ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata.

Semangat itu diteguhkan kembali saat KTT ASEAN di Bali Oktober 2003. Dengan mendeklarasikan bahwa MEA bertujuan mengintegrasikan ekonomi regional (Bali Concord II) pada tahun 2020. Selain MEA, mereka juga  merencanakan pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN.

Kemudian dalam pertemuan ke-38 Menteri Ekonomi ASEAN, di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 2006 disepakati penyusunan cetak biru untuk mempercepat pembentukan MEA. Selanjutnya pada pertemuan ASEAN XII tahun 2007, para pemimpin ASEAN menyepakati untuk mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN pada 2015.

Tahun itu kawasan ASEAN akan ditransformasikan menjadi kawasan di mana terdapat aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil, serta aliran modal yang lebih bebas. Sebagai landasan legal dan konstitusional telah disusun Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Indonesia sendiri telah meratifikasi piagam tersebut dengan penerbitan UU Nomor 38 Tahun 2008.

BACA JUGA: