JAKARTA, GRESNEWS.COM – Ruang sidang Mahkamah Konstitusi yang megah dan juga sejuk karena sistem pendingin udara yang baik, justru terasa bak "neraka" bagi Ahmad Amin. Dia gugup berat ketika MK akhirnya memutuskan untuk menyidangkan gugatannya atas terhadap aturan mengenai tunjangan profesi bagi guru dan dosen yang diatur dalam Pasal 15 dan Pasal 52 Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen).

Ketika majelis hakim konstitusi memasuki ruangan, Ahmad tampak terpekur, sembari menengadahkan tangan berdoa. Mungkin dia berharap tak lagi gugup dalam menyampaikan dalil-dalil gugatannya di hadapan pada hakim konstitusi. Maklumlah, dengan keuangan yang terbatas sebagai Pegawa Negeri Sipil di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Amin tak punya uang untuk menyewa jasa pengacara.

Alhasil, dia mesti menyusun, mendaftarkan dan menjalani sidang sendirian tanpa bantuan pihak lain. Meski begitu, Amin menegaskan keyakinannya, pasal terkait tunjangan profesi bagi guru dan dosen telah bertentangan dengan Pasal 23 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 Ayat (2), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2), dan Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam argumennya di persidangan yang dihelat Senin (17/10) lalu, Amin menegaskan, selama ini tunjangan profesi cenderung diberikan kepada guru atau dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya. Menurutnya, hal tersebut terkesan kontradiktif mengingat sertifikat pendidik sudah semestinya menjadi syarat mutlak bagi para pendidik, bukan bentuk penghargaan atas profesionalitas yang telah dicapai oleh segelintir pendidik, baik guru maupun dosen.

"Semua pekerjaan sudah selayaknya dilakukan secara profesional sehingga proses maupun hasil pekerjaan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara profesional," kata Amin dengan nada gugup.

Pasal 15 Ayat (1) UU Guru dan Dosen berbunyi: "Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi".

Selanjutnya, Pasal 16 Ayat (1) UU Guru dan Dosen mengatur, pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Amin menekankan, tunjangan profesi selayaknya juga diberikan juga kepada PNS dari bidang kerja lain, dan bukan suatu keistimewaan bagi kalangan PNS guru atau PNS dosen semata jika memang yang diberi penghargaan adalah profesionalitas mereka. "Sesama PNS seharusnya mendapatkan tunjangan yang sama walaupun besarannya berbeda," katanya.

Apalagi, saat ini, lewat Pasal 16 Ayat (2) UU Guru dan Dosen disebutkan bahwa besaran tunjangan profesi adalah 1 kali lipat gaji pokok. Amin menganggap aturan tersebut cukup menyita total anggaran. "Dana tunjangan hampir 1/5 jumlah anggaran. Dan kalau ditotal dengan gaji pokok jumlahnya bisa lebih dari separuh anggaran pendidikan," kata Amin, saat ditemui gresnews.com sehabis persidangan.

Dia menilai ini tidak adil lantaran, masih banyak persoalan pendidikan yang harus diselesaikan pemerintah. Misalnya, kata dia, anggaran untuk perbaikan sekolah yang dinilai lebih penting dan lebih membawa kemaslahatan, namun malah menjadi terabaikan.

DISALAHPAHAMI - Amin selaku PNS memang kurang pandai menyampaikan maksud utama gugatannya atas pasal-pasal dimaksud. Terlebih, dia datang sendiri ke MK tanpa dampaingan pengacara untuk beradu argumen dengan para hakim MK.

Saat sidang berlangsung, Sarjana Sains Terapan dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung tersebut berkali-kali mengambil napas, lalu meralat beberapa kalimat yang ia baca di dalam berkas permohonannya.

Amin bicara dengan gemetar. Sepuluh jemarinya terlihat terus silih remas tanda ia berusaha mengatasi rasa gugup. Namun dibalik kegugupannya, Amin sebenarnya ingin menyampaikan, "pengistimewaan" pemerintah terhadap dosen dan guru di lingkungan kementerian pendidikan dan kebudayaan juga kementerian riset, teknologi dan pendidikan tinggi, telah menciptakan ketidakadilan dengan PNS non guru-dosen.

Prinsipnya, kata Amin, semua PNS dituntut bekerja profesional. Hanya saja, jika "profesionalitas" guru dan dosen yang ditandai dengan adanya sertifikasi, dihargai lebih dengan tunjangan khusus, seharusnya profesionalitas PNS lain juga dihargai serupa meski jumlah tunjangannya mungkin tak harus sebesar guru dan dosen.

Namun, yang lebih menjadi titik tekan Amin, sebenarnya pada proporsionalitas penganggaran yang menjadi terganggu akibat terlalu besarnya tunjangan guru dan dosen menyedot anggaran di dinas. Akibatnya, anggaran dinas kerap mengalami kekurangan ketika harus membenahi persoalan lain, semisal perbaikan infrastruktur sekolah dan lain-lain. Itulah sebabnya dia meminta tunjangan guru dan dosen sebaiknya dihapuskan saja.

Sayangnya, gugatan Amin malah disalahpahami oleh para hakim konstitusi sebagai sebuah bentuk kecemburuan. Hal itu tampak dari tanggapan para hakim konstitusi terhadap isi gugatan Amin. Dengan nada guyon, Hakim Anggota Aswanto misalnya, malah menyarankan Amin agar memohonkan hak-haknya sebagai PNS di Dinas Pendidikan Kabupaten Pati disamakan dengan hak-hak yang didapat PNS guru, alih-alih memohon tunjangan guru dihapuskan.

"Mestinya saudara yang minta tunjangan, supaya sama-sama sejahtera. Ini saudara minta supaya sama-sama susah," kata Aswanto.

Lewat permohonan yang disampaikan Amin, Aswanto juga melihat, kedatangan Amin ke MK lebih karena persoalan cemburu. Alasan bahwa hak konstitusional Amin sebagai warga negara telah dirugikan oleh suatu undang-undang, nyaris tidak terbaca. Padahal adanya kerugian konstitusional merupakan dasar bagi siapa pun yang datang ke MK melakukan judicial review.

"Saudara sudah menyatakan, ada perbedaan perlakuan tapi argumen saudara belum komprehensif. Nanti coba dicermati kembali lalu saudara buat secara komprehensif sehingga kami bisa yakin memang ada hak konstitusional saudara yang dirugikan dengan adanya norma yang memberikan kebijakan atau tunjangan-tunjangan profesi kepada guru dan dosen," papar Aswanto.

Masih dengan nada bergurau, Hakim Anggota Patrialis Akbar juga menyarankan agar Amin beralih profesi menjadi guru, ketimbang bertahan dalam profesinya saat ini. "Nah, saya sarankan kalau bisa Saudara pindah profesi saja jadi guru supaya lebih sejahtera juga," kata Patrialis.

Untuk diketahu, saat ini Amin bekerja di Bagian Umum Kepegawaian Dinas Pendidikan Kabupaten Pati. Tahu bahwa Amin bekerja di Dinas Pendidikan, Hakim Ketua Anwar Usman mengingatkan bahwa Amin seharusnya menjadi pahlawan bagi para guru di Pati, dan berupaya memperjuangkan kesejahteraan mereka.

BUKAN KARENA CEMBURU - Amin terlihat ragu menanggapi pernyataan-pernyataan hakim. Air muka Amin tampak menahan sesuatu. Ia hanya mengiyakan pernyataan-pernyataan yang terlontar dari majelis hakim. Padahal terlihat ada hal yang ingin dikemukakannya lebih jauh.

Ditemui gresnews.com sehabis persidangan, Amin menggarisbawahi, tujuan utama kedatangannya ke MK bukan semata karena persoalan cemburu, sebagaimana yang ditafsirkan majelis hakim. "Kalau dibilang cemburu, ya, tapi itu karena selama ini tunjangan profesi diambil dari anggaran pendidikan, yang merupakan prioritas dalam APBN," kata Amin.

"Sebagai tenaga profesional seharusnya yang lebih utama adalah gaji guru. Nilai kontrak kerja. Bukan tunjangan. Sehingga penggunaan anggaran APBN juga tidak banyak terkuras," sambungnya.

Amin menambahkan, jika tunjangan guru dan dosen dimaksudkan sebagai imbalan pemerintah atas prestasi guru dan dosen, hal itu cukup diberikan secara insidental, yakni manakala yang bersangkutan terbukti meraih prestasi, dan tidak diberikan dalam kurun waktu tertentu dengan landasan sertifikasi belaka.

Lantaran hal itu pula Amin menilai, besarnya alokasi dana untuk tunjangan guru turut menjadi salah satu hambatan dalam upaya mencapai tujuan utama pendidikan, yakni memberikan sarana prasarana fasilitas pendidikan yang layak untuk anak-anak Indonesia. Ia pun berharap agar para pembuat kebijakan berpikir ulang mengenai substansi anggaran pendidikan.

"Nanti harus dipertimbangkan lagi nilai keadilannya. Apakah masih tetap fokus ke kesejahteraan guru atau lebih besar ke penyediaan sarana prasarana pendidikan Indonesia?" katanya.

Amin menilai besarnya anggaran tunjangan guru terasa ironis manakala di saat bersamaan fakta tentang minimnya sarana prasarana pendidikan di daerah-daerah masih merupakan PR besar pemerintah. "Belum lagi kemarin ada pernyataan dari Pak Menteri bahwa guru sudah yang sertifikasi juga tidak profesional benar," kata Amin.

Amin pun berharap agar kebijakan tunjangan profesi—dengan keistimewaan khusus yang diberikan kepada para guru dan dosen PNS—bisa dihapus untuk kemudian diwujudkan dalam kebijakan baru yang lebih adil bagi semua guru. "Karena saya yakin setiap guru yang bergelar Sarjana Pendidikan punya kemampuan untuk mengajar. Apakah dia bersertifikasi atau tidak, perbedaannya enggak akan jauh. Karena mereka sama-sama memiliki tingkat akademis yang sama, yakni sarjana," papar Amin.

Fakta bahwa Majelis Hakim melihat ada banyak kekurangan dalam permohonannya, Amin mengaku, hal tersebut tidak bikin ciut sedikit pun untuk tetap melayangkan gugatan uji materi tersebut. Namun Amin sadar bahwa perjuangannya ini cukup berat. Selain tanpa didampingi kuasa hukum, kedatangan Amin ke MK juga murni atas namanya pribadi, bukan sebagai wakil dari satu lembaga atau kelompok masyarakat tertentu.

Lantaran hal itu pula Hakim Anwar mengingatkan agar Amin memperhatikan redaksi kalimat yang ia susun dalam permohonan. "Ini menggunakan kata kami atau saya? Kami itu seolah-oleh Pemohonnya lebih dari satu, kan?" katanya.

Sebelum Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara nomor 91/PUU-XIV/2016 itu ditutup, Anwar Usman sempat menyatakan, jika permohonan Amin dikabulkan, akan ada reaksi dari kalangan PNS guru se-Indonesia. Hal itu juga seharusnya menjadi bahan renungan dan perhatian Amin.

Namun Amin tetap kukuh pada pendiriannya. "Uji materiil ini akan saya teruskan. Saya akan perbaiki dulu permohonannya," pungkas Amin kepada gresnews.com.

TAK ADA CETAK BIRU - Pengamat dan praktisi pendidikan Indra Charismiadji menilai anggaran pendidikan memang menjadi satu masalah tersendiri karena dirancang tanpa pemikiran matang. "Menurut saya anggaran pendidikan kita masih asal-asalan dan sekadar terserap saja, makanya isinya hanya copy-paste dari tahun ke tahun," kata Indra saat dihubungi gresnews.com, Rabu (19/10).

Menurut Direktur Utama PT Eduspec Indonesia tersebut, anggaran pendidikan masih dan terus disusun secara asal karena pemerintah tidak memiliki grand design alias cetak biru mengenai visi pendidikan ke depan. "Cetak biru harus jelas target akhirnya seperti apa dan bagaimana mencapainya," kata Indra.

Indra pun menyarankan agar penyusunan anggaran pendidikan dilakukan dengan melibatkan pakar-pakar pendidikan, yang paham akan kebutuhan serta kondisi pendidikan di tengah persaingan global. Indra juga menilai, salah satu cakupan anggaran pendidikan, yakni tunjangan pendidikan guru (TPG), harus disalurkan dengan sistem yang lebih jelas, misalnya berbasis kinerja—tidak berbasis sertifikasi sebagaimana yang terjadi selama ini.

"Regulasi penerima tunjangan mestinya berbasis kinerja. Artinya guru Non PNS juga bisa dapat tunjangan profesi kalau memang kinerjanya bagus," kata Indra.

Apresiasi yang diberikan negara atas kinerja pendidik, lepas dari dia PNS atau bukan, menurut Indra mutlak diberikan. Lebih-lebih dalam kondisi saat ini, dimana perbedaan pendapatan antara guru PNS dengan guru non PNS terlihat sangat signifikan. "Di beberapa tempat seperti DKI memang terjadi kecemburuan sosial yang luar biasa karena guru PNS minimal take home pay-nya 18 juta rupiah, sedang guru non PNS banyak yang di bawah UMR," papar Indra.

Terlebih, Indra juga melihat TPG yang telah diberikan negara tidak terlihat dampaknya dalam peningkatan kualitas pendidikan. "Yang ada malah makin terpuruk. TPG baru sebatas meningkatkan kesejahteraan guru," ujarnya.

Indra menggarisbawahi, soal tidak adanya kejelasan mengenai cetak biru anggaran pendidikan bukanlah persoalan yang menimpa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) semata. Menurutnya, kementerian lain yang berkaitan langsung dengan pendidikan—antara lain Kemristek Dikti dan Kementerian Agama—memiliki masalah serupa.

Permasalahan itu bahkan turut menjalar hingga ke level daerah. "Semuanya cuma copy-paste saja. Coba diperhatikan, kan bisa dilihat setiap tahunnya bagaimana," katanya.

Indra menyebut anggaran pendidikan saat ini hampir mencapai Rp600 triliun. Namun jumlah sebesar itu belum sesuai dengan amanat UUD yang menyebutkan, besaran anggaran pendidikan adalah 20% dari APBN. Indra menilai tidak sesuainya anggaran pendidikan dengan amanat UUD bukan karena negara kekurangan biaya, namun lebih karena para pembuat kebijakan tidak tahu dana sebesar itu harus dialokasikan untuk apa.

"Kalau cuma uang sih ada, cuma dipakai buat apa kan enggak jelas karena enggak ada konsep dan cetak biru tadi," kata Indra.

Lantaran hal itulah Indra melihat kebijakan-kebijakan seperti tunjangan guru dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dibuat sebagai kebijakan praktis untuk menyerap anggaran, alih-alih sebagai upaya serius dalam rangka meningkatkan pendidikan, yang disusun dengan penuh pertimbangan.

"Tunjangan guru dan BOS adalah konsep paling mudah untuk menyerap anggaran 20%. Tapi ya cuma sampai sudah terserap, hasilnya apa kan nol besar," pungkas Indra. (Gresnews.com/Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: