JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menggelar sidang perdana kasus suap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP) dengan terdakwa Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja. Ia didakwa bersama asistennya yaitu Trinanda Prihantoro melakukan tindak pidana korupsi berupa pemberian uang suap kepada Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi.

Suap itu diberikan untuk mengubah pasal tambahan kontribusi sebesar 15% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) total lahan yang dapat dijual di wilayah reklamasi. Selain itu, suap diberikan untuk membantu mempercepat pembahasan dan pengesahan Raperda tentang RTRKSP serta mengakomodir pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman selaku Presiden Direktur PT APL dan Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra (PT MWS) agar mempunyai legalitas untuk melaksanakan pembangunan di Pulau G Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Yang menarik dari persidangan perkara ini, terungkap pula adanya jejak "tangan" Pemprov DKI Jakarta dalam hal ini Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bersama anggota dewan lain untuk memuluskan permintaan Ariesman selaku pengusaha. Hal itu terungkap dari surat dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum KPK Ali Fikri.

Dari surat dakwaan itu terungkap, bagaimana Ahok ikut berperan memuluskan permintaan Ariesman untuk menghapus aturan soal kontribusi tambahan kepada pengembang dari Raperda. Soal kontribusi itu pada akhirnya disepakati diatur lewat peraturan gubernur yang akan dibuat oleh Ahok.

Dalam surat dakwaannya, Ali menjelaskan, pada awalnya izin reklamasi ini memang telah dimulai pada 2010 semenjak kepemimpinan Fauzi Bowo selaku Gubernur DKI Jakarta. Foke, begitu sapaan Fauzi Bowo, menerbitkan Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi untuk Pulau D melalui Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 1491/2010 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau 2A Kepada PT Kapuk Naga Indah tanggal 6 Agustus 2010.

Selanjutnya pada tahun 2012, Foke juga menerbitkan Persetujuan Prinsip Reklamasi antara lain untuk Pulau A dan B kepada PT Kapuk Naga Indah melalui Surat Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 1289/1.794.2 pada 21 September 2012 perihal Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau A dan Pulau B Atas Nama PT Kapuk Naga Indah, Pulau C dan E kepada PT Kapuk Naga Indah.

Berikutnya melalui Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 1417/2012 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau 1 dan Pulau 2B Kepada PT Kapuk Naga Indah tanggal 21 September 2012 dan Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.

Kemudian melalui Surat Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 1291/-1.794.2 tanggal 21 September 2012, Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Pakci melalui Surat Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor : 1292/-1.794.2 pada 21 September 2012 dan untuk Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo melalui Surat Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 1290/-1.794.2 pada 21 September 2012.

Menindaklanjuti persetujuan prinsip reklamasi tersebut, pada tanggal 18 Maret 2014, Ahok yang kala itu masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta melakukan rapat bertempat di ruang kerja wakil gubernur yang dihadiri antara lain oleh Ariesman dan Liem David Halim. Pertemuan itu sendiri membahas mengenai kewajiban tambahan yang akan dikenakan kepada penerima Persetujuan Prinsip Reklamasi Pantai Utara Jakarta akan diperhitungkan sebagai kewajiban tambahan atas pemberian Persetujuan Prinsip dan Izin Pelaksanaan Reklamasi.

Besaran kewajiban tambahan itu, akan diperhitungkan sesuai formulasi yang akan ditetapkan dengan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta. "Pada tanggal 10 Juni 2014 Basuki T. Purnama selaku Plt. Gubernur Provinsi DKI Jakarta menerbitkan surat masing-masing Nomor: 542/-1.794.2 tanggal 10 Juni 2014 perihal Perpanjangan Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau G atas nama PT Muara Wisesa Samudra," kata jaksa KPK, Ali Fikri, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (23/6) kemarin.

Ahok juga menerbitkan beberapa SK lain terkait reklamasi di beberapa pulau kepada sejumlah perusahaan. Seperti SK Nomor: 541/-1.794.2 tanggal 10 Juni 2014 perihal Perpanjangan Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau I atas nama PT Jaladri Kartika Pakci serta menetapkan Surat Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 544/-1.794.2 tanggal 10 Juni 2014 perihal Perpanjangan Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau F atas nama PT Jakarta Propertindo.

Selanjutnya pada tanggal 6 Oktober 2014 Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan surat Nomor: 33310/-1/797.1 perihal Izin Membangun Prasarana Bangunan Penahan untuk Pengurugan yang merupakan salah satu syarat untuk mengajukan Izin Pelaksanaan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Kemudian pada 23 Desember 2014, Ahok selaku Gubernur Provinsi DKI Jakarta, menetapkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 2238 Tahun 2014 tanggal 23 Desember 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.  "Atas Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi tersebut, PT Muara Wisesa Samudra dikenakan Kewajiban, Kontribusi dan Tambahan Kontribusi," terang jaksa Ali Fikri.

"Setelah itu, sekitar pertengahan tahun 2015 PT Muara Wisesa Samudra mulai melaksanakan reklamasi dengan membuat Pulau G sesuai titik kordinat yang ditetapkan," sambungnya.

Di samping itu Ahok juga menetapkan Keputusan Nomor: 2269 Tahun 2015 pada 22 Oktober 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Pakci dan Keputusan Nomor: 2268 Tahun 2015 pada 22 Oktober 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo yang bekerjasama dengan PT Agung Dinamika Perkasa.

"Bahwa PT Kapuk Naga Indah yang merupakan anak perusahaan Agung Sedayu Group bersama-sama PT Muara Wisesa Samudra, PT Agung Dinamika Perkasa dan PT Jaladri Kartika Pakci yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT Agung Podomoro Land Tbk memerlukan adanya Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta sebagai dasar hukum antara lain untuk dapat mendirikan bangunan pada tanah reklamasi tersebut," jelas jaksa Ali Fikri.

PERJAMUAN AGUAN - Setelah seluruh tahapan pembahasan dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi DKI Jakarta, kemudian Ahok mengirimkan surat Nomor: 4131/-075.61 tertanggal 16 November 2015 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta. Isinya perihal Usul Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (Pantura) Jakarta.

Usulan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP) tersebut mengatur tentang tata ruang areal reklamasi dari barat sampai timur Pantura Jakarta yang diinisiasi oleh BAPPEDA Provinsi DKI Jakarta. Kemudian pada sekitar awal bulan Desember 2015 dilakukan pembahasan mengenai Raperda RTRKSP oleh Tim dari Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta bersama dengan pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Setelah itu sejumlah anggota DPRD, pada sekitar pertengahan bulan Desember 2015 berkumpul di salah satu rumah di kawasan elite Taman Golf Timur II/11-12 Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta. Lokasi ini menurut informasi merupakan kediaman milik Sugianto Kusuma alias Aguan selaku pengendali PT Agung Sedayu Group.

Tak kurang nama yang hadir adalah para petinggi DPRD DKI Jakarta, yaitu Wakil Ketua yang juga merangkap sebagai Ketua Balegda Mohamad Taufik, Muhammad Sanusi selaku anggota Balegda, Prasetio Edi Marsudi selaku Ketua DPRD, Mohamad (Ongen) Sangaji serta Selamat Nurdin dan tentunya Ariesman. "Ariesman dan Sugianto Kusuma selaku pendiri Agung Sedayu Group melakukan pertemuan terkait pembahasan percepatan pengesahan Raperda RTRKSP dengan sejumlah anggota DPRD DKI," tutur jaksa KPK lainnya, Haeruddin.

Pada akhir Januari 2016, Ariesman mengarahkan Trinanda untuk berkoordinasi dengan Sanusi guna menyampaikan masukan pada draf Raperda RTRKSP guna kepentingan PT Agung Podomoro Land Tbk. Atas arahan Ariesman, Trinanda menemui Sanusi di Lobby Fraksi Gerindra lantai 2 Kantor DPRD DKI Jakarta di Jln. Kebon Sirih No. 18 Jakarta Pusat.

Kemudian pada bulan Februari 2016, Aguan kembali menjamu para anggota dewan dalam hal ini Sanusi di Kantor Agung Sedayu Group, lantai 4 pusat pertokoan Harco Glodok Mangga Dua Jakarta Pusat. Selain Aguan, hadir pula Ariesman dan Richard Haliem Kusuma alias Yung Yung dalam pertemuan itu.

"Yang mana pada kesempatan tersebut Aguan menyampaikan kepada Sanusi agar menyelesaikan pekerjaannya terkait dengan pembahasan dan pengesahan Raperda RTRKSP," pungkas jaksa.

AHOK SETUJU - Selanjutnya, Pada 15 Februari 2016, Balegda DPRD Provinsi DKI Jakarta bersama dengan Pemprov DKI Jakarta melakukan pembahasan Raperda RTRKSP yang dihadiri antara lain Mohamad Taufik, Sanusi, Bestari Barus, Yulidi, Tutu Kusumawati dan Saefullah. Pada pembahasan mengenai tambahan kontribusi, beberapa anggota Balegda DPRD Provinsi DKI Jakarta antara lain Sanusi menginginkan adanya tambahan kontribusi sebesar 15 persen dari nilai NJOP total lahan yang dapat dijual tidak dicantumkan dalam Raperda.

"Dengan alasan nilai (kontribusi tambahan 15 persen) tersebut dapat memberatkan para pengembang reklamasi," kata jaksa Haeruddin, rekan Ali Fikri, saat membacakan dakwaan.

Pada tanggal 16 Februari 2016, rapat Balegda DPRD Provinsi DKI Jakarta bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali dilakukan demi membahas Raperda RTRKSP. Pada pembahasan mengenai tambahan kontribusi tersebut, beberapa anggota Balegda DPRD Provinsi DKI Jakarta antara lain Sanusi tetap menghendaki tambahan kontribusi sebesar 15 persen dari nilai NJOP total lahan yang dapat dijual dihilangkan dari Raperda RTRKSP dan mengusulkan supaya diatur dalam Pergub.

Atas permintaan Balegda DPRD, Saefullah selaku Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi DKI Jakarta, Tuty Kusumawati selaku Kepala BAPPEDA dan Gamal Sinurat melaporkannya kepada Ahok. "Atas laporan tersebut Basuki T Purnama menyetujui Tambahan Kontribusi sebesar 15 persen akan diatur selengkapnya dalam Pergub," ungkap jaksa.

Setelah itu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali menyerahkan Draf Raperda RTRKSP kepada DPRD Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 22 Februari 2016. Dan ketentuan Tambahan kontribusi sebesar 15 persen dari nilai NJOP total lahan yang dapat dijual tidak lagi dicantumkan namun akan diatur lebih lanjut dalam Pergub.

Sesuai dengan permintaan Ariesman, Sanusi dapat menghilangkan pasal kontribusi tambahan. Selanjutnya tambahan kontribusi itu diatur dalam peraturan gubernur DKI Jakarta. "Sebagaimana kesepakatan antara Balegda DPRD Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta," ucap jaksa.

Meskipun permintaannya telah dipenuhi, ternyata Ariesman masih belum puas. Ia meminta Sanusi untuk membantu menghilangkan kontribusi tambahan sebesar 15 persen dari nilai NJOP baik di Raperda maupun dalam Pergub dihilangkan. Namun Sanusi menolaknya. "Hal tersebut tidak bisa dihilangkan namun dapat diatur dalam Pergub," tutur jaksa.

Pada 3 Maret 2016, bertempat di Avenue Kemang Village, Jakarta Selatan, Ariesman kembali melakukan pertemuan dengan Sanusi. Dalam pertemuan itu ia menyatakan bahwa kontribusi tambahan sebesar 15 persen terlalu berat bagi perusahaannya.

Oleh karena itu ia menjanjikan akan memberikan uang sejumlah Rp2,5 miliar kepada Sanusi jika pasal tambahan kontribusi dimasukkan dalam pasal penjelasan. Ariesman khawatir jika tanpa ada penjelasan maka nilai tambahan kontribusi tidak jelas. "Atas permintaan tersebut Mohamad Sanusi menyetujuinya," imbuh jaksa Haeruddin.

Atas perbuatannya, Ariesman didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

BACA JUGA: