JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons penyebutan sejumlah nama tokoh dan pejabat negara yang mendapatkan sisa kuota pada musim haji tahun 2012 oleh terdakwa kasus korupsi Suryadharma Ali. Menteri Agama periode 22 Oktober 2009-28 Mei 2014 itu salah satunya menyebutkan terdapat enam orang dari KPK yang mendapatkan jatah sisa kuota haji tahun 2012.

"Sangkaan dalam penyidikan ini kan perlu pembuktian di persidangan. Karena itu nama-nama tersebut belum bisa dipastikan turut bertanggung jawab selama belum ada kepastian dari putusan pengadilan (sampai memiliki kekuatan tetap)," kata Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji kepada gresnews.com melalui pesan singkat, Senin (7/9) malam.

Oleh sebab itu, Indriyanto menegaskan, KPK tidak ingin gegabah dengan melakukan pemanggilan terhadap para tokoh dan pejabat negara tersebut. Pengembangan kasus, lanjutnya, akan selalu didasari adanya putusan pengadilan terhadap Suryadharma Ali yang telah berkekuatan hukum tetap.

Sebagai informasi, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (7/9), dengan agenda pembacaan nota pembelaan/eksepsi, Suryadharma Ali mengatakan setiap tahun selalu ada sisa kuota yang tidak terserap dengan kisaran 1% s/d 2% yang disebabkan adanya calon jamaah haji yang wafat, sakit keras, hamil, tidak mampu melunasi dan alasan lainnya. Jadi, bila calon jamaah haji reguler tahun 2012 berjumlah 194.000 orang maka yang tidak terserap bisa mencapai lebih dari 2.000 orang dari kuota. Sisa sejumlah itu adalah benar-benar sisa kuota yang sudah tidak bisa diserap lagi oleh jamaah yang terjadwal berangkat haji pada tahun 2012 dan tahun 2013.

Pasal 28 Ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji mengatur, "Dalam hal kuota nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi pada hari penutupan pendaftaran, Menteri dapat memperpanjang masa pendaftaran dengan menggunakan kuota bebas secara nasional."

Atas dasar itulah sisa kuota dibagikan kepada calon jamaah haji yang benar benar siap melunasi BPIH  dan siap segala sesuatunya untuk berangkat haji, dan dengan pertimbangan: untuk mengurangi kerugian negara; memanfaatkan sisa kuota agar terserap semaksimal mungkin; kuota Haji didambakan banyak orang, sangat mubazir bila sisa kuota tidak dipergunakan dan menjadi hangus tak terpakai; untuk menghindari pengurangan kuota haji dari Menteri Haji Saudi Arabia akibat kuota yang selalu tidak terserap secara maksimal; agar tetap memiliki alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk meminta tambahan kuota haji kepada Pemerintah Arab Saudi yang lebih besar lagi dari 211.000 jamaah, untuk mengatasi antrean berangkat haji yang demikian panjang.

PENERIMA SISA KUOTA HAJI - Lalu, Suryadharma Ali menjelaskan, sisa kuota itu diberikan kepada 18 kategori penerima yang terdiri dari: jamaah usia lanjut; penggabungan suami/istri/keluarga yang terpisah keberangkatannya; petugas pembimbing haji dari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH); anggota dan pimpinan DPR; anggota dan pimpinan DPD; Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI); Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP); Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI); Ombudsman Republik Indonesia (ORI); Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia; Kementerian dan Lembaga; Badan Pusat Statistik; Veteran; wartawan Media Center Haji; wartawan non-Media Center Haji; Tokoh Agama; Tokoh Masyarakat; dan Tokoh Politik.

Menurut Suryadharma Ali, dari 18 kategori tersebut diantaranya diberikan kepada Paspampres Wapres lebih dari 100 seratus orang, almarhum Taufiq Kiemas dan Megawati Soekarnoputri 50 orang, Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro 70 orang, Amien Rais 10 orang, Karni Ilyas dua orang, keluarga Suryadharma Ali enam) orang, Komisi Pemberantasan Korupsi enam orang dan sejumlah pihak dari media cetak maupun elektronik lainnya.
 
"Pertanyaannya apakah pemberian sisa kuota itu salah? Jawabnya adalah tidak salah sama sekali," kata Suryadharma Ali. Alasannya, lanjut dia, pertama, tidak menggunakan hak kuota calon jamaah haji yang akan berangkat pada tahun berjalan, karenanya tidak ada satu pun calon jamaah haji yang haknya dirampas untuk memperioritaskan calon jamaah haji yang lain. Kedua, penggunaan sisa kuota dilakukan setelah urusan visa jamaah reguler lunas selesai dan mereka sudah mulai diberangkatkan ke Tanah Suci, kloter pertama berangkat tanggal 20 September 2012.

Ketiga, tidak mempergunakan keuangan negara. Keempat, penggunaan sisa kuota yang tidak terserap itu sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2008 dan Peraturan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh No D/741A tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Sisa Kuota Nasional.

KARNI ILYAS UNTUK AMAL - Pemimpin Redaksi TV One, Karni Ilyas, menjelaskan sebenarnya sisa kuota sebanyak dua orang yang diberikan kepadanya tersebut dipergunakan untuk memberangkatkan haji seorang guru sekolah dasar negeri di Desa Balingka, Kecamatan Ampat Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Namanya adalah guru Amir, seorang pensiunan yang ketika itu usianya sudah mencapai 78 tahun. Guru tersebut berangkat haji ditemani seorang anaknya. "Beliau termasuk jamaah usia lanjut," kata Karni Ilyas kepada gresnews.com, Selasa (8/9), melalui sambungan telepon. Karni Ilyas menyebutkan pemberian itu sebagai semata-mata amal.

DAKWAAN KPK - Kendati nama-nama tokoh dan pejabat negara itu disebutkan dalam eksepsi Suryadharma Ali, namun semua nama itu tidak tercantum dalam dakwaan terhadap Suryadharma Ali yang dibacakan oleh jaksa KPK pada 21 Agustus 2015.

KPK mendakwa Suryadharma Ali melakukan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penunjukkan petugas haji tahun 2010-2013, penggunaan Dana Operasional Menteri (DOM) tahun 2011-2014 sebesar Rp100 juta per bulan, penyewaan perumahan jamaah haji tahun 2010-2012, dan pemanfaatan sisa kuota nasional tahun 2010-2012

Dakwaan pertama, adalah Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana jo. Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana.

Dakwaan kedua, Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana.

BACA JUGA: