JAKARTA, GRESNEWS.COM – Dalam sidang penyampaian nota pembelaan (Pledoi) perkara pidana nomor:295/Pid.Sus/2014/PN.Cbi, tim penasehat hukum terdakwa (Sumarno) menyatakan tuntutan Jaksa Penutut Umum Kejasaan Negeri (JPU Kejari) Cibinong sumir dan diskriminatif. Sebab, Faktur Pajak Fiktif bukanlah perbuatan hukum yang menimbulkan kerugian negara.

Akibatnya, terdakwa tidak dapat didakwa Pasal 39 dan Pasal 39 huruf A Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Tata Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah dengan UUNo.16 Tahun 2009 Jo.Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
 
Menurut penasehat hukum yang dibacakan secara  bergantian, berdasarkan fakta–fakta tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan kliennya. Sehingga tariff PPN sebesar 10% tidak dapat diterapkan kepada Faktur Pajak yang tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajaknya. Tarif PPN 10% hanya diterapkan apabila ada penyerahan sesuai ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8A Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai.
 
"Sehingga  jelas terlihat tidak ada kerugian Negara yang ditimbulkan oleh  perbuatan terdakwa, dan jika  terdakwa masih memiliki kewajiban untuk memperbaiki kewajiban pajaknya haruslah dipandang sebagai hutang-hutang pajak atau pajak lebih bayar," jelas Cuaca Bangun, anggota penasehat hukum Sumarno dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Sujatmiko di Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat, Kamis (24/7).
 
Ketika tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka perhitungan pajak yang terhutang atau lebih bayar dihitung sebagai berikut:
 
Pajak Keluaran                           =  Rp0 Dikurangi: Pajak Masukan = (Rp0)                                             Surat Setoran Pajak                    = (Rp406.607.375,-)
Lebih Bayar                                = Rp406.607.375,-
 
Menurutnya, terdapat setoran pajak yang seharusnya tidak disetor ke Negara sebesar Rp406.607.375. Sehingga jumlah yang harus dikembalikan kepada terdakwa adalah sebesar Rp406.607.375. "Sesuai uraian kami tersebut, maka kepada terdakwa tidak dapat didakwakan ketentuan Pasal 39A UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009," tegasnya.
 
Karena itu, tim penasehat hukum Sumarno meminta kepada Majelis Hakim untuk menyatakan terdakwa, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dan dituntut oleh JPU.  Mereka juga meminta agar membebaskan terdakwa dari semua dakwaan dan tuntutan JPU. Kemudian mengembalikan uang terdakwa yang telah disetor kepada Negara sebesar Rp406.607.375 dan memulihkan hak terdakwa dalam segala kemampuan, kedudukan serta martabatnya.
 
"Ketentuan Pasal tersebut tidak dapat dikenakan kepada Terdakwa, sebab  dari beberapa perbuatan penggunaan faktur pajak, yang dianggap tidak benar telah beberapa kali dilakukan pembetulan oleh terdakwa sampai pada suatu kesimpulan tentang kewajiban dan denda yang harus dibayar oleh Terdakwa," jelas Cuaca Bangun.
 
Alasan lainnya, meskipun perbuatan terdakwa antara yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan, tetapi hal tersebut bukanlah dipandang sebagai perbuatan yang berkelanjutan. Sebab, perbuatan tersebut telah berhenti ketika  kepada terdakwa dikenakan kewajiban pembetulan pajak berikut denda.
 
"Pemebetulan terhenti untuk sementara karena keterbatasan dana, dan hal ini seharusnya dianggap sebagai hutang pajak, faktanya kepada terdakwa, telah dilakukan pemanggilan yang tidak sebagaimana mestinya, kemudian dianggap sebagai pelaku tindak pidana," ujarnya.
 
Menurut tim penasehat, itikad baik terdakwa untuk melakukan pembetulan kewajiban pajaknya, harus pula dipandang terdakwa tidak melalaikan tanggung jawabnya atas hutang-hutang pajaknya dan harus pula hak dan kewajibannya disamakan dengan pengguna faktur pajak lainnya.
 
Menurut penasehat hukum Sumarno, telah terjadi diskriminasi karena JPU menyatakan terdakwa melakukan tindak pidana, sementara kepada pelaku lain diberikan alasan maaf, dengan judul pembetulan pajak. "Kami sangat prihatin terhadap JPU karena selama pemeriksaan terdakwa dan pemeriksaan saksi–saksi tidak pernah menyinggung adanya pelaku lain yang saling berhubungan erat satu sama lain.
 
Sumarno juga seharusnya tidak dapat didudukkan sebagai terdakwa jika pengguna Faktur Pajak diberi diberi kesempatan seluas–luasnya mengadakan perbaikan atau pembetulan terhadap kewajiban pajaknya. "Apa bedanya penerbit dan pengguna? Padahal hukum harus  ditegakkan sesui fakta hukum, bukan sesuai selera masing -masing. Didudukan dengan cara–cara seperti ini merupakan bahagian dari adanya upaya melakukan diskriminalisasi," tegasnya.
 
Penasehat Hukum menyatakan adanya diskriminasi akan menimbulkan kekacauan hukum perpajakan itu sendiri. Sebab dalam  unsur setiap orang, jelas penerbit dan pengguna, adalah unsur yang dimaksud dalam pasal tersebut, tetapi faktanya pengguna masih diberi kesempatan perbaikan dan pembetulan berikut pembayaran denda sebagai sanksi keperdataan.
 
Sementara terdakwa didudukkan sebagai pesakitan dalam perkara ini dan lebih ironis lagi, para pengguna dijadikan saksi, untuk memberatkan terdakwa, sehingga keadilan dan kepastian hukum yang menjadi tujuan akhir persidangan ini tidak akan tercapai bahkan cendrung terjadinya diskriminasi.
 
Padahal pemeriksaan pidana untuk pencarian kebenaran. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan pidana, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini oleh Majelis Hakim (beyondreasonable doubt). Artinya, kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki sebagai mana  diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
 
Menurut penasehat hukum, JPU menginterpretasikan ketentuan secara mati, tidak hidup, dan tidak mengkaji dan mendalami maksud dan tujuan dibuatnya  norma hukum itu sendiri. Kalau mengikuti cara Jaksa Penuntut Umum ini, maka Norma Hukum Pasal 39A KUP sama sekali tidak memiliki nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Jaksa Penuntut Umum sama sekali tidak mempertimbangkan maksud dan tujuan dari  dibuatnya Norma Hukum tersebut.
 
Cara JPU tersebut menuntut terdakwa yang makhluk sosial, membuat ketentuan Pasal 39A tersebut tidak bernilai sosial. Padahal, secara teori tujuan hukum dapat dikaji secara tiga, yaitu kemanfaatan (utility), keadilan (etis), dan kepastian hukum (certainty). "Sebagaimana secara umum Norma Hukum dibuat supaya dapat memberi perlindungan hukum bagi yang dirugikan secara hukum," jelasnya.
 
Sejalan dengan teori tujuan hukum itu, kata penasehat hukum, maka ketentuan tersebut harus dipelajari dan dikaji secara mendalam sesuai aturan UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
 
Dengan demikian untuk mendapatkan hakekat hukum dari Pasal 39A, maka harus memahami Penjelasan Pasal 39 A UU No. 6 tahun 1983 yang telah diubah terakhir UU No. 16 Tahun 2009.
 
Menurut penasehat hukum, penjelasan Pasal 39A, faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambangan Nilai. "Penjelasan ini sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 23 UU No. 42 Tahun 2009 yang berbunyi: "Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Sehingga yang disebut pajak dalam kaitannya dengan Faktur Pajak ini adalah Pajak Pertambahan Nilai atau penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak".
 
Terkait hal yang memberatkan atas perbuatan terdakwa telah merugikan  pada pendapatan Negara  sebesar Rp25 miliar, dinilai sumir karena jaksa tidak memperhitungkan pembayaran yang telah dilakukan  oleh seluruh Pengguna Faktur Pajak, berikut denda.
 
"Pandangan saksi ahli yang diajukan oleh Penasehat hukum telah jelas menyatakan, sejak pengguna  telah melakukan pembetulan dan sekaligus melakukan pembayaran pajaknya berikut denda, maka tidak ada kerugian Negara dan akan sulit menghitung adanya kerugian tersebut," jelas Cuaca Bangun.
 
Saksi ahli tergugat, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) sekaligus pengajar Hukum Perpajakan Prof. DR, Budiman Ginting, SH, dalam persidangan sebelumnya menerangkan: 1. Antara penerbit faktur pajak yang tidak benar dengan  pengguna faktur pajak yang juga tidak benar adalah kesatuan yang saling mendukung untuk mengurangi beban pajak yang seharusnya.
 
2. Tidak ada kerugian negara yang timbul jika pengguna faktur pajak  telah melakukan pembetulan atas penggunaan faktur pajak yang tidak benar.
 
3. Jika penerbit faktur pajak yang tidak benar, dipergunakan oleh pengguna yang tidak benar, sepanjang telah di izinkan oleh kantor pajak untuk melakukan perbaikan dan pembetulan pajak, maka sejak itu, permasalahan harus dianggap selesai. Dan kesempatan perbaikan itu, harus diberikan secara seimbang antara penerbit dan pengguna.
 
4. Tidak dapat dihitung adanya kerugian negara, jika pengguna telah diberi kesempatan memperbaiki kewajiban pajaknya.
 
5. PPN hanya  terutang apabila ada penyerahan Barang Kena Pajak.
 
6. Faktur Pajak hanya berfungsi sebagai sarana memungut PPN.
 
7. Tarif PPN 10% mulai bergerak apabila ada penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
 
8. Faktur Pajak Fiktif, yang tidak sebenarnya adalah hanya perbuatan sosial dalam bidang perpajakan. Faktur Pajak Fiktif bukanlah perbuatan hukum, sehingga tidak menimbulkan kerugian negara.
 
9. Sesuai dengan Perundang-undangan Perpajakan, tidak ada tarif PPN terhadap Faktur Pajak Fiktif (yang tidak ada penyerahan Barang Kena Pajaknya).
 
Menaggapi pledoi tersebut, JPU Aji Sukartaji menyatakan menolak pledoi dan akan melanjutkan ke persidangan berikutnya. "JPU menolak pledoi yang diajukan oleh tim penasehat hukum," kata Aji.
 
Menyikapi hal itu, Hakim Ketua Sujatmiko menyatakan sidang akan dilanjutkan pada Selasa, 5 Agustus 2014. "Karena sudah akan memasuki masa lebaran sidang dengan agenda pembacaan putusan akan dilanjutkan setelah lebaran," tuturnya sambil mengetok palu tanda sidang ditutup.
 
Sebelumnya, JPU Kejari Cibinong mendakwa Sumarno melanggar Pasal 39 A huruf a Jo.Pasal 42 Ayat ( 1 ) UU No. 16 Tahun 2009  Jo. Pasal 64 Ayat ( 1 ) KUHP. JPU menyatakan Sumarno terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perpajakan, yaitu dengan senagaja menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya secara berlanjut, sebagaimana diatur dan diancam  dalam Pasal 39 A huruf a Jo.Pasal 43 Ayat ( 1 ) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan yang telah diubah terakhir dengan UU No.16 Tahun 2009 Jo. Akibat penerbitan pajak fiktif ini, Negara dirugikan sebesar Rp25 miliar
 
Atas perbuatannya itu, Sumarno dituntut dengan pidana penjara selama empat  tahun dengan dikurangi sepenuhnya  dengan lamanya terdakwa ditahan. Sumarno juga dikenai denda sebesar Rp50 miliar subsidair sembilan bulan kurungan.
 
Pasal 39A berbunyi "Setiap orang yang dengan sengaja Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak."
 
Sedangkan dalam penjelasannya disebutkan "Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambangan Nilai. Demikian juga bukti pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak merupakan sarana untuk pengkreditan atau pengurangan pajak terutang sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dapat mengakibatkan dampak negative keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan.

Oleh karena itu, penyalahgunaan tersebut berupa penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dikenai sanksi pidana.
 

BACA JUGA: