JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Kontribusi tambahan sebesar 15 persen yang wajib dibayarkan oleh pengembang dalam pelaksanaan reklamasi Teluk Jakarta terus diributkan. Belakangan, tarik ulur pengenaan kontribusi pengembang reklamasi itu berbuntut pada kasus penyuapan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda).

Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memanggil sejumlah saksi termasuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk mengetahui asal-usul penetapan angka kontribusi tambahan tersebut. Sebab, diketahui belum ada payung hukum soal pengenaan kontribusi tambahan tersebut.

Sumpeno, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang mengadili kasus ini, sempat mempertanyakan rumusan perhitungan angka 15 persen dalam penentuan kontribusi tambahan kepada Ahok. Selanjutnya dijawab Ahok dengan mengacu pada perjanjian antara pemerintah daerah dan PT Mandala Karya Yudha pada tahun 1997 saat mengajukan izin pembuatan pulau.

"Jadi rumusnya gini, pak, dalam Keppres, orang buat pulau, harus urus daratan. Saya lihat perjanjian MKY (Mandala Karya Yudha) pada tahun 97 tadi, bahwa ada sumbangan fisik maupun uang," kata Ahok, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (25/7).

Setelah itu, Ahok melakukan pertemuan dengan pengembang di Pantai Indah Kapuk termasuk dengan Ariesman Widjaja selaku perwakilan PT Muara Wisesa Samudra serta PT Jakarta Propertindo. Namun dalam pertemuan itu tidak menemukan titik temu, maka diadakan pertemuan kembali dengan pihak pengembang.

"Lalu kita buat perjanjian lagi, saya minta nyontoh perjanjian 97, tentang alokasi tambahan, rumah pompa, rusun, bendungan, termasuk membuat waduk. Semua disebutkan, pak," tutur Ahok.

Selanjutnya, ia mengaku membuat hitung-hitungan. "Ancol Barat hasil reklamasi dengan BUMD kami, jadi BUMD dapat 70 kami dapat 30. Kalau kita tulis di sini 70:30, nanti berdebat. Lalu dicari rumus 30 dividen itu dikalikan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak), di situ lah dapat angka 15 persen dari NJOP," jelasnya.

Ahok pun berdalih, angka tersebut tidak ditentukan langsung oleh dirinya, tetapi oleh tim ahli dan Biro Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta. "Dari Biro Tata Ruang, itu hasil kajian. Ada rumusnya semua," bebernya.

Ia menyebut angka kontribusi sebesar 5 persen sebelumnya berasal dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Seluruh pulau yang direklamasi, kata Ahok, Hak Pemegang Lahan (HPL) diatasnamakan Pemda DKI Jakarta.

"Jadi pulau yang terbentuk ini, itu 5 persen tanahnya milik Pemda. Yang 5 persen dalam bentuk tanah, bukan uang," tuturnya.

Selain itu, Ahok juga menyebut dalam peraturan Bappenas Tahun 1997 itu ada tambahan untuk membereskan daratan. Tetapi, tidak disebutkan berapa besaran nilainya. "Inilah yang tidak disebutkan berapa nilainya. Untuk 15 persen ini tidak disebutkan oleh Bappenas," ujarnya.


APL BAYAR DIMUKA - Ahok mengklaim kontribusi tambahan yang ia terapkan memiliki dasar hukum yang kuat, yakni Kepres Tahun 1995 dan perjanjian Tahun 1997. Namun keterangan Ahok itu belum juga membuat hakim anggota Ugo puas, ia terus mencecar Ahok terkait persoalan tersebut.

"Ketentuan Kepres 95 hanya soal kontribusi, di sana kan ada ketentuan bahwa bisa buat kerjasama dengan pengembang. Ide masuk kontribusi tambahan dalam Perda? Jadi bagaimana ini bisa muncul?" tanya Ugo.

Ahok pun berkilah, jika kontribusi tambahan itu tidak dijadikan Perda maka akan menjadi masalah di kemudian hari. Padahal, DKI Jakarta mempunyai banyak kebutuhan seperti rumah pompa untuk mengurangi banjir.

"Makanya waktu itu kami bilang ke Agung Podomoro, mereka bangun dulu baru saya kasih izin. Agung Podomoro membangun, mereka paling kooperatif," imbuh Ahok.

Mantan Bupati Belitung Timur itu pun mengakui telah meminta pengembang, khususnya PT Agung Podomoro Land, untuk membayar kontribusi tambahan di muka. Hal ini dikarenakan Pemprov DKI Jakarta tidak ingin mengulang kesalahan di masa lalu.

Ia mengungkapkan, pada beberapa perjanjian reklamasi sebelumnya, para pengembang seringkali mengingkari janji dengan tidak melaksanakan kewajiban membayar kontribusi. Ini tentu merugikan masyarakat.

Apalagi, pihak Agung Podomoro Land sendiri sama sekali tidak keberatan untuk memberikan kontribusi di muka tersebut. Ahok pun sempat memuji Agung Podomoro bahwa mereka merupakan pengembang yang paling kooperatif dibandingkan dengan yang lain.

"Mereka setuju. Tidak keberatan. Per meternya Rp1 juta. Jadi kalau ada pembangunan jalan inspeksi mereka bilang Rp100 miliar, kemudian kami minta BPKP misalnya mengaudit dan harganya Rp60 miliar maka dihitung sesuai temuan audit itu. Nah, sudah ada serah terima Rusun Waduk Pluit dan Daan Mogot untuk normalisasi Waduk Pluit," kata Ahok.

"Di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) saudara ada Kalijodo?" tanya Jaksa KPK Ali Fikri. Namun Ahok membantahnya. Menurut dia, penertiban kawasan Kalijodo itu hanya persepsi media massa tertentu.

BACA JUGA: