JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lawatan Presiden Joko Widodo ke sejumlah negara Uni Eropa beberapa hari lalu, salah satunya untuk memperkuat kesepakatan kerjasama Indonesia Uni Eropa atau Compherensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Namun sejumlah kalangan menilai kerjasama dengan negara-negara maju itu tak selalu akan mendatangkan keuntungan bagi Indonesia yang tergolong negara berkembang. Bahkan kerjasama tersebut justru berpotensi merugikan Indonesia.   

Untuk itu, pemerintah diminta tidak terfokus kepada aspek perdagangan dengan mengejar peningkatan ekspor. Sebab bentuk kerjasama bilateral itu umumnya negara yang lebih terbelakang akan mendapatkan manfaat yang lebih sedikit dan bahkan kerugian.

Direktur Riset Center of Reform On Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai pemerintah sebelumnya beranggapan bahwa percepatan perundingan IEU-CEPA sangat penting untuk menjawab permasalahan semakin menurunnya trend perdagangan Indonesia-Uni Eropa dalam lima tahun terakhir. Sebab selama periode 2011-2015, total nilai perdagangan Indonesia-Uni Eropa turun sekitar 5,4 persen per tahun. Pada 2015, surplus neraca perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa (UE) turun 16,7 persen dibandingkan nilai tahun sebelumnya, dari US$4,2 miliar (Rp55,4 triliun) menjadi hanya US$3,5 miliar (Rp46,1 triliun).

Dari sisi investasi, realisasi investasi negara-negara Uni Eropa di Indonesia juga cenderung menurun. Pada 2014, nilai investasi Uni Eropa di Indonesia mencapai US$3,8 miliar (Rp50,1 triliun) dan turun menjadi US$2,3 miliar (Rp30,3 triliun) pada 2015.

"Melalui kerjasama IEU CEPA, pemerintah berharap daya saing produk-produk Indonesia di pasar Uni Eropa dapat ditingkatkan. Demikian pula peran Indonesia dalam rantai nilai global (i)," kata Faisal, di Jakarta, Jumat (29/4).

Faisal menjelaskan kerjasama Indonesia-UE CEPA nantinya berbentuk kerjasama bilateral yang bersifat resiprokal. Namun ketidaksiapan Indonesia dalam kerjasama itu akan berpotensi merugikan. Dalam pengadaan barang dan Jasa (procurement) misalnya, akan semakin terbatas untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada produk barang dan jasa dalam negeri. Beberapa pengalaman kerjasama lain, seperti perjanjian kerjasama dengan China dan Jepang, justru berdampak pada defisit perdagangan yang semakin melebar.

Menurutnya, berbagai studi menunjukkan bahwa dalam kerjasama bilateral yang komprehensif, umumnya negara yang lebih terbelakang akan mendapat manfaat yang lebih sedikit dan bahkan merugikan. Pemahaman lain yang terkait kerjasama Indonesia-UE CEPA adalah dalam hal pendekatan strategi. Strategi Indonesia-UE CEPA harus dipastikan berbeda dengan strategi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

"Jika dalam MEA, ekonomi Indonesia lebih bersifat kompetitor dengan sesama negara ASEAN,  namun dengan UE sifatnya lebih kepada komplementer. Dari sini tentu peluang dan tantangannya akan berbeda," jelas Faisal.

Faisal mengingatkan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah terkait perundingan IEU-CEPA, yaitu seberapa besar peningkatan ekspor produk-produk  Indonesia ke Eropa dalam kerjasama tersebut. Pertama, perekonomian Uni Eropa diperkirakan masih akan tumbuh lamban kurang dari dua persen, maka kecil kemungkinan, pasca kunjungan itu terjadi peningkatan ekspor yang sangat pesat dalam jangka pendek. Kalaupun ada peningkatan ekspor, akan lebih banyak pada ekspor komoditas/bahan mentah.

Kedua, perhatian penting Indonesia harusnya ada pada daya saing produk. Saat ini, daya saing produk ekspor Indonesia dibanding produk yang sama dari negara pesaing, sudah lebih rendah tanpa memperhitungkan hambatan tarif atau non-tarif. Sehingga pangsa ekspor Indonesia di pasar Eropa lebih kecil dibanding pesaing, meski tarif rate dan perlakuan yang sama.

Ketiga, tanpa IEU CEPA pun, sebagian tarif impor yang dikenakan UE pada beberapa produk Indonesia saat ini sudah rendah. Sebagai contoh, produk kayu/furniture dan karet yang hanya dikenakan tarif sebesar 0-1,7 persen. Namun sayangnya, Uni Eropa protektif terhadap produk manufaktur dan produk lain yang bernilai tambah tinggi. Akibatnya peluang akses yang lebih besar hanya pada bahan mentah yang bernilai tambah rendah.

Sebagai gambaran, pada tahun 2015, rata-rata weighted tariff yang dikenakan untuk impor bahan mentah/baku hanya sebesar 0,23 persen. Sementara weighted tariff yang dikenakan untuk impor barang antara (intermediate goods), barang konsumsi, dan barang modal masing-masing sebesar 3,16 persen, 8,14 persen, dan 2,95 persen.

Keempat, Uni Eropa pada dasarnya masih cenderung protektif dari sisi non-tarif. Tercatat di WTO, beberapa hambatan non-tarif Uni Eropa terhadap produk Indonesia, seperti tindakan anti-dumping untuk produk biodisel, sepeda, glass fibress, fatty alcohol dan produk yang mengandung monosodium glumate. Begitu juga dengan hambatan non-tarif berbentuk. Rata-rata Weighted tariff adalah rata-rata tarif efektif yang dibobot dengan nilai produk impor. Ketentuan teknis (technical barrier to trade), yang menghambat penetrasi produk ekspor Indonesia, seperti ketentuan pelabelan pada produk makanan dan tembakau.

MANFAAT LAIN - Maka dari itu, menurut peneliti Center Of Reform on Economic (CORE) Adhamaski Pangeran, mempertimbangkan manfaat dari sisi perdagangan. Pemerintah harus memperhatikan enam hal terkait rencana perundingan Indonesia-UE CEPA. Pertama, dalam negosiasi perundingan, pemerintah perlu mendorong UE menekan hambatan perdagangan untuk produk-produk jadi (consumer goods). Agar Indonesia bukan hanya menjadi pemasok bahan mentah dan produk intermediary.

Kedua, mendorong UE menurunkan hambatan ekspor, untuk beberapa produk andalan Indonesia. Misalnya ketentuan (non-tarif) yang dikenakan pada ekspor CPO, sebagai produk ekspor terbesar Indonesia. Dalam hal ini Indonesia harus segera menindaklajuti kerjasama dengan Malaysia (Council of Palm Oil Production Countries) karena bila kerjasama itu tidak ditindaklanjuti dengan cepat dan tepat, justru dapat berpotensi mengurangi permintaan. Begitu juga dengan penurunan tarif produk manufaktur ekspor utama Indonesia yang terkena tarif tinggi, seperti produk-produk alas kaki yang merupakan ekspor terbesar kedua setelah CPO dan padat karya.

Ketiga, harus ada strategi baru memperluas pangsa pasar, mengingat pangsa ekspor Indonesia selama ini lebih rendah dibanding negara pesaing, meski mendapatkan tarif yang sama. Bila tidak memungkinkan meningkatkan daya saing dengan strategi harga, harus ada pengembangan komoditas ekspor baru dengan segmen pasar yang lebih luas.

Keempat, patut di catat bila IEU CEPA sebagai upaya peningkatan partisipasi dalam rantai pasok global (Global Value Chain). Hal itu bagi Indonesia tidak akan banyak membawa keuntungan, sebab  peran Indonesia dalam GVC hanya sebatas pemasok bahan mentah. Oleh karena itu, perlu perumusan peran dan strategi yang akan diambil Indonesia dalam GVC dengan kerjasama IEU CEPA.

Semestinya, Indonesia bukan hanya berperan di hulu dari proses produksi dunia, tapi mendorong agar dapat mengambil peran di hilir proses produksi (manufaktur) yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.

"Selain itu, untuk mendorong partisipasi Indonesia dalam GVC dengan Eropa, diperlukan kerjasama dalam manufaktur dengan mekanisme alih teknologi yang jelas dan kerjasama riset teknologi yang memiliki linkage dengan pengembangan/kerjasama industri," kata Adhamaski

Kelima, Indonesia perlu melakukan percepatan peningkatan daya saing industri manufaktur domestik untuk mengantisipasi peningkatan masuknya produk manufaktur impor dari UE. Peta jalan (roadmap) peningkatan daya saing industri nasional perlu disesuaikan dengan pentahapan dan penjadwalan (seperti jadwal penurunan hambatan tarif impor atau non-tarif) dari kesepakatan-kesepakatan kerjasama ekonomi Indonesia dengan negara lain. Termasuk dengan IEU CEPA.

Terakhir, pertimbangan mengenai manfaat IEU CEPA semestinya tidak terlalu terfokus pada aspek perdagangan (mengejar peningkatan ekspor), tetapi juga mempertimbangkan manfaat pada aspek-aspek lain.

"Misalnya kerjasama investasi, ketenagakerjaan, hak kekayaan intelektual (HKI)," kata Adhamaski.

BACA JUGA: