-
DPR Minta Aparatur Pajak Jaga Kerahasiaan Nasabah
Selasa, 01/08/2017 16:00 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - DPR mengingatkan aparatur pajak dan pihak perbankan harus dapat menjaga tingkat kerahasiaan informasi dana milik nasabah, agar tidak disalahgunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan lain secara illegal. Penegasan itu disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Willgo Zainar sehubungan telah disahkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan oleh DPR.
"Karena hal ini langsung berkaitan dengan nasabah, maka sedikit banyak pasti ada dampaknya. Kita tidak tahu secara persis reaksi pasar seperti apa, tetapi secara psikologisnya dapat terdampak pada masyarakat," ujar Willgo saat sosialisasi Perppu di Gedung Bank Indonesia Provinsi D.I. Yogyakarta, Senin (31/07).
Willgo mengingatkan agar pihak perbankan melakukan langkah antisipasi terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi. Kepercayaan masyarakat sebagai penyimpan dana harus tetap dijaga, supaya maksud dari lembaga perpajakan yang ingin meningkatkan pendapatan pajak bisa tercapai, sehingga ekonomi dapat terus bergerak dan perbankan tidak mengalami kesulitan karena masalah likuiditas.
Ia mengatakan bahwa dana pihak ketiga tersebut cukup besar dibidang perbankan. Oleh karena itu sosialisasi terhadap Perppu tersebut harus terus digalakkan. "Namun tingkat kerahasiaan dari informasi yang didapatkan harus bisa terjaga, supaya tidak terjadi permasalahan dikemudian hari," tegasnya, seperti dikutip dpr.go.id.
Willgo juga menilai harus ada ketegasan dan kepastian hukum agar informasi itu benar-benar hanya digunakan untuk kepentingan perpajakan saja.
"Aparatur pajak dan pihak perbankan harus bersikap hati-hati, agar tidak terjadi kegaduhan dimasyarakat, khususnya penyimpan dana di perbankan. Kalau hal itu tidak bisa dikelola secara baik, maka dapat mendorong terjadinya rush. Nasabah yang merasa dirugikan akan menarik dananya dalam waktu tertentu," ujarnya. (rm)DJP Perlu Pendekatan Humanis Kejar Target Penerimaan Pajak
Selasa, 01/08/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Komisi XI DPR RI Ahmadi Noor Supit mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu melakukan pendekatan humanis di semua daerah untuk menjaring wajib pajak baru maupun mengejar target penerimaan pajak. "Para pengusaha wajib pajak harus dijadikan teman, bukan musuh yang terus diburu," kata Supit, saat mengikuti pertemuan Tim Komisi XI dengan para mitra Komisi XI di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Senin (31/7).
"Pemerintah dalam hal ini DJP harus menjadikan para pengusaha teman bukan musuh. Biarkan mereka tumbuh dulu baru kemudian pajaknya dipetik. Bukan baru tumbuh usahanya sudah dikejar pajaknya," tambah Supit, seperti dikutip dpr.go.id.
Apa yang disampaikan politisi Partai Golkar ini terkait dengan target penerimaan pajak yang selalu meleset. Saat ini, ungkap Supit, banyak pengusaha tak mau lagi menyimpan uangnya di bank, karena prilaku petugas DJP yang tidak bersahabat. "Ekonomi nasional harus terus berjalan. Dan sektor swasta ikut punya andil besar dalam menumbuhkan perekonomian lewat pajak," tegasnya.
Politisi dari dapil Kalsel ini mencontohkan, petugas DJP bisa mengajak makan bareng atau melakukan pendekatan yang lebih komunikatif. "Ini lebih efisien daripada melakukan pendekatan represif yang pada akhirnya membuat para pengusaha lari dan tak bersimpati lagi pada DJP," pungkasnya.Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan, penerimaan pajak untuk APBN 2017 dinilai sulit terealisasi lagi. "Ada yang keliru dari penetapan asumsi dan target pajak 2017. Ini juga dibuktikan dengan rencana Menkeu merevisi asumsi penerimaan pajak dari 16 persen menjadi 13 persen," kata Heri dalam siaran pers-nya.
"Dalam APBN 2017, target penerimaan pajak dipatok sebesar Rp1.498,9 triliun atau naik 16,7 persen dibanding realisasi penerimaan pajak tahun 2016 sebesar Rp1.284,9 triliun. Target tersebut sebetulnya kurang realistis sehingga akhirnya harus direvisi," ungkapnya.
Menurut Anggota F-Gerindra ini, hanya ada dua kemungkinan tidak terealisirnya target pajak, kesalahan kebijakan atau kinerja petugas pajak di lapangan yang tidak optimal. Melesetnya target pajak ini terjadi hampir setiap tahun. Walau kebijakan sudah disempurnakan, tetap saja target meleset. Kinerja Direktorat Jenderal Pajak juga mesti dibenahi.
"Melencengnya realisasi penerimaan pajak dari target menandakan ada kontra antara rancangan kebijakan dengan kinerja penerimaan pajak yang ada di APBN. Tidak aneh bila kemudian asumsi-asumsi yang ada, sering sekali direvisi, yang akhirnya mengganggu kredibilitas APBN," ucap Heri. Dirjen Pajak, sambungnya, harus mampu mengambil pelajaran pada setiap kali realisasi penerimaan pajak.
Lebih lanjut Heri mengungkapkan, PPh non-migas cenderung menurun. Pada realisasi tahun 2016 hanya sebesar Rp630,1 triliun atau 76,9 persen dari target APBN-P 2016 sebesar Rp819,5 triliun. Realisasi penerimaan sumber daya alam juga hanya Rp64,9 triliun atau hanya 72,6 persen dari APBN-P 2016 sebesar Rp90,5 triliun. "Penyebab tidak tercapainya target tersebut dapat dilacak pada penerimaan migas yang hanya Rp44,9 triliun atau hanya 65,3 persen dari APBN-P 2016," imbuh Heri.
Pada bagian lain, Heri menyampaikan temuan BPK tentang potensi penerimaan negara dari sektor pajak yang belum dioptimalkan sebesar Rp1,69 triliun. Potensi itu berupa pajak yang belum tertagih dan denda keterlambatan. Ini harusnya sudah bisa diantisipasi oleh Dirjen teknis seperti Dirjen Pajak, ketika menyusun rencana dan target pada tahun-tahun selanjutnya.
"Kita tidak bisa menunggu pulihnya kinerja ekspor-impor nasional untuk mendorong kinerja penerimaan PPh Non-Migas serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebab, kinerja ekspor-impor nasional belum bisa diandalkan untuk menjadi tumpuan karena belum pulihnya perekonomian global," paparnya lagi. (mag)DPR Sahkan Perppu Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan
Jum'at, 28/07/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Perppu No.1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, akhirnya ditetapkan DPR menjadi UU dalam rapat paripurna DPR, Kamis (27/7). Meski sudah disahkan, Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan mengingatkan agar UU tersebut haruslah berkeadilan dan komprehensif untuk kepentingan nasional.
Heri mengatakan, komitmen saling menukar informasi keuangan secara otomatis di antara negara-negara anggota peserta Automatic Exchange of Financial Account Information (AEOI) dapat dipahami untuk mendukung penerimaan pajak negara. "Kami berpendapat bahwa undang-undang yang sangat penting tersebut haruslah bersifat berkeadilan, komprehensif yang menampung berbagai hal untuk kepentingan nasional," tandas Anggota F-Gerindra tersebut, seperti dikutip dpr.go.id.
Seperti diketahui, sebelum terbitnya Perppu ini sudah ada UU No.11/2016 tentang Pengampunan Pajak yang sudah disahkan untuk mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan. UU tersebut juga disahkan untuk perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi.
Dijelaskan Heri, seiring penetapan Perppu ini, akan dilanjutkan dengan mempercepat pembahasan revisi UU No.16/2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Amanat pembahasan RUU tersebut telah disampaikan Presiden Joko Widodo melalui surat Nomor R-28/Pres/05/2016 tanggal 4 Mei 2016 yang ditujukan kepada Ketua DPR RI.Yang paling krusial dalam pembahasan Perppu tersebut adalah batasan saldo yang mengacu kepada Common Reporting Standard yang dikeluarkan oleh Organization for Economic and Cooperation Developmen (OECD), sebagai bagian dari perjanjian internasional dengan 35 negara anggota.
Batasan saldonya adalah US$250.000 atau setara Rp3,3 miliar (kurs Rp13.300) dan adanya sistem yang terintegrasi antara NPWP dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dalam bentuk sistem identitas tunggal guna membedakan antara WNI dan WNA. Sembilan fraksi di Komisi XI menyetujui dan menerima dengan catatan atas Perpu No.1/2017 itu. Perppu ini sendiri, kata Heri, tidak bisa diperbaiki, diubah, apalagi ditambah. DPR hanya dapat menerima atau menolak.
"Untuk itu, kami berpendapat dan mengusulkan agar pengaturan-pengaturan masalah yang sangat penting ini secara komprehensif perlu disempurnakan dan tidak dilakukan dengan Perppu atau mengganti dengan Perppu yang lebih berkeadilan dan komprehensif. Sekali lagi tidak dengan Perppu ini, tetapi dimasukan di dalam RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) sebagaimana sudah direncanakan," imbuhnya. (mag)Sri Mulyani: Saat Ini Ada 1500 Importir High Risk dan 679 Importir Tanpa NPWP
Kamis, 13/07/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, saat ini terdapat sekitar 1.500 importir berisiko tinggi atau very high risk importer (VHRI). Kemudian sekitar 679 importir tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Impor berisiko tinggi adalah pengiriman barang yang bea masuknya tinggi, barang yang berbahaya bagi masyarakat dan negara, serta impor yang dilakukan oleh importir yang memiliki catatan kurang baik.
Sri Mulyani mengatakan ratusan importir tersebut melakukan tindakan yang melukai reputasi dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJCB). "Karena punya track record, mereka jadi bisa mengambil risiko tinggi entah di penyelundupan sebagian barang yang diselipkan macam-macam mereka bisa menyogok dan menyuap aparat kita," kata Sri Mulyani di kantor DJCB, Jakarta, Rabu (12/7).
Dia mengatakan, jumlah tersebut jika dihitung dari volume impor nasional memang tak lebih dari 5%. Tapi jika tak ditertibkan bisa mengganggu penerimaan dan reputasi DJCB.
Sri Mulyani mengatakan, jenis barang yang diselundupkan bisa berupa tekstil, barang elektronik, hingga barang konsumsi. "Mereka dalam satu kontainer bisa berbagai macam jenis barang sehingga dia perlu ditangani dalam bentuk pemeriksaan," ujarnya.
Dia menambahkan, sudah melakukan tindakan mulai dari penyatuan info Pajak hingga Bea dan Cukai. Sri Mulyani menjelaskan, yang membayar pajak harus mengisi dokumen yang berbeda dengan dokumen impornya.
Menurut dia, jika yang masuk lewat impor ilegal tapi dialihkan jadi legal itu yang akan didorong sebagai penerimaan negara. "Pada dasarnya kami tidak mematikan kegiatan impor, kami hanya menginginkan kegiatan ekonomi menjadi formal dan tercatat serta menciptakan persaingan yang adil sesama pelaku ekonomi," kata dia.
Sri Mulyani mengatakan, sejumlah asosiasi pengusaha menyambut baik satuan tugas (satgas) penertiban impor berisiko tinggi. Kemudian banyak importir yang tidak membayar pajak pertambahan nilai (PPn) barang impor.
"Apalagi mereka yang memiliki barang bermerek mereka kena subjek pajak yang sangat berbeda," imbuh dia. (dtc/mag)
Terkena Bencana Alam Bisa Kurangi Pajak Bumi Bangunan
Selasa, 11/07/2017 12:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 82/PMK.03/2017 tentang Pemberian Pajak Bumi dan Bangunan, pada 20 Juni lalu. Lewat PMK ini, Kemenkeu ingin memberikan kepastian hukum, terhadap ketentuan mengenai pemberian pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Dalam PMK itu disebutkan, pengurangan PBB dapat diberikan kepada Wajib Pajak: a. karena kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak; atau b. dalam hal Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
"Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud, yaitu kerugian dan kesulitan likuiditas pada: a. akhir tahun buku sebelum tahun pengajuan permohonan Pengurangan PBB, dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan; atau b. akhir tahun kalender sebelum tahun pengajuan permohonan Pengurangan PBB, dalam hal Wajib Pajak melakukan pencatatan,"bunyi Pasal 2 Ayat (2a,b) PMK tersebut, seperti dikutip setkab.go.id, Senin (10/7).
Kerugian sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, yaitu kerugian komersial yang diketahui dari: a. laporan keuangan yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh; atau b. pencatatan yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh, dalam hal Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan.
Sedangkan kesulitan likuiditas sebagaimana dimaksud merupakan kondisi ketidakmampuan Wajib Pajak dalam membayar utang jangka pendeknya dengan kas yang diperoleh dari kegiatan usaha. Dan bencana alam sebagaimana dimaksud merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, atau tanah longsor.
"Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dapat diberikan: a. sebesar paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen) dari PBB yang terutang dalam hal kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak ; atau b. sebesar paling tinggi 100% (seratus persen) dari PBB yang terutang dalam hal Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa," bunyi Pasal 4 Ayat (1a,b) PMK ini.
PBB yang terutang sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, yaitu: a. jumlah pokok pajak yang tercantum dalam SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang); b. jumlah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi yang tercantum dalam SKP (Surat Ketetapan Pajak) PBB; atau c. jumlah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi yang tercantum dalam STP (Surat Tagihan Pajak) PBB.
Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, diberikan berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditujukan kepada Menteri Keuangan dan disampaikan melalui Kepala KPP (Kantor Pelayanan Pajak).
Ditegaskan dalam PMK ini, bahwa permohonan pengurangan pajak karena kondisi tertentu harus diajukan dalam jangka waktu: 1. 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT; 2. 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SKP PBB; 3. 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya STP PBB yang diterbitkan atas dasar-surat keputusan keberatan PBB; atau 4. 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat keputusan pembetulan atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang diterbitkan.
Sedangkan permohonan pengurangan PBB terhadap Objek Pajak yang terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa, menurut PMK ini, harus memenuhi ketentuan: a. diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal terjadinya bencana alam atau sebab lain yang luar biasa; dan b. mencabut pengajuan keberatan PBB, banding, peninjauan kembali, serta permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan PBB yang tidak benar, atau pengurangan/penghapusan denda administrasi PBB, dalam hal atas pengajuan atau permohonan dimaksud belum diterbitkan keputusan atau putusan.
"Kepala Kanwil DJP (Dirjen Pajak) atas nama Menteri Keuangan berwenang melakukan pengujian, penelitian, dan memberikan keputusan atas permohonan Pengurangan PBB," bunyi Pasal 9 PMK ini.
Selanjutnya, Kepala Kanwil DJP dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan terhitung sejak tanggal surat permohonan Pengurangan PBB diterima, menurut PMK ini, harus memberi keputusan atas permohonan Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud.
Keputusan Kepala Kanwil DJP sebagaimana dimaksud, tegas PMK ini, dapat berupa mengabulkan seluruhnya, mengabulkan sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
"Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan," bunyi Pasal 16 PMK Nomor: 82/PMK.03/2017, yang diundangkan oleh Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana pada 21 Juni 2017 itu. (mag)
Singapura, Swiss, Hongkong Siap Buka-Bukaan Data Pajak WNI
Selasa, 11/07/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, negara-negara yang selama ini menjadi "surga" penghindaran pajak para Warga Negara Indonesia, justru siap buka-bukaan data pajak. Sri Mulyani mengatakan, dalam pertemuan G20, ketika negara itu, telah menyatakan kesiapannya untuk mematuhi standar internasional terkait masalah tax evasion (penggelapan pajak) dan tax avoidance (penghindaran pajak) yang menjadi salah satu rekomendasi pada KTT G20, di Hamburg, Jerman.
"Dalam pertemuan G20, tiga negara yaitu Hongkong, Switzerland, serta Singapura khusus meminta bertemu dan menjelaskan, bahwa mereka mengikuti standar internasional itu, bahkan siap untuk menerima Kementerian Keuangan," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Marsudi, di Hotel Steigenberger, Hamburg, Jerman, Sabtu (8/7).
Menkeu memperkirakan, saat ini masih ada dana milik WNI di luar negeri sebanyak Rp1.000 triliun, dimana hampir 60 persen dari dana tersebut berada di Singapura. Menkeu bersyukur karena Singapura sudah menyampaikan sikap mengikuti ketentuan internasional terkait penghindaran pajak itu, mereka menyampaikan dengan Indonesia sekarang dia siap untuk melakukan bilateral yang sebelumnya masuk di dalam multilateral.
"Jadi ini suatu hal yang positif dan saya untuk akan mem-follow up akan seperti ini supaya kita bisa mendapatkan manfaat semua itu ya," jelas Sri Mulyani.
Sebelumnya Menkeu Sri Mulyani mengapresiasi kesepakatan yang dihasilkan negara-negara peserta KTT G20, yang memiliki inisiatif untuk menghadapi penggelapan pajak dan tax avoidance secara sistematis dan global. Sri Mulyani membandingkan saat dirinya menjadi Menteri Keuangan 10 tahun yang lalu, dimana saat mau mengejar wajib pajak yang ditengarai akan menghindar, negara-negara lain biasanya mengatakan ya itu urusan masing-masing silakan saja.
"Kalau sekarang itu merupakan suatu kesepakatan global melalui apa yang disebut inisiatif sehingga avoiding tax dan kemudian Automatic Exchange of Information (AeOI) yang sudah direkomendasi menjadi langkah konkret," kata Sri Mulyani .
Konkret itu, lanjut Menkeu, artinya setiap negara tanda tangan yang menyatakan kesepakatan bersama untuk kemudian saling kerja sama, dan itu sifatnya mandatory atau wajib bahkan sampai kepada bentuk format pelaporan bagaimana menjaga security confidentiality dari informasi perpajakan Dalam pertemuan G20, lanjut Sri Mulyani, tiga negara yaitu Hongkong, Switzerland, serta Singapura khusus meminta bertemu dan menjelaskan, mereka memenuhi standar internasional itu, bahkan siap untuk menerima Kementerian Keuangan.
"Seperti yang anda semua tahu bahwa kalau kita melakukan tax amnesty sebagian besar dari wajib pajak kita itu harta dan dananya yang selama ini tidak di-disclose ada di Singapura, di Hongkong, Australia dan negara-negara seperti Switzerland. Jadi ini adalah suatu langkah konkret yang akan makin menimbulkan suatu kepercayaan," tutur Menkeu.
Sekarang, menurut Menkeu, kalau mau menghindar dan cari tempat sembunyi ada 190 negara bersama-sama setuju bahwa tidak dibolehkan orang tersebut sembunyikan identitas sehingga menciptakan global governance atau tata kelola dunia yang semakin fair, adil, transparan yang baik. (dtc/mag)
Hasil G20: Transparansi Pajak Antar Negara Menguat
Minggu, 09/07/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku gembira dengan hasil yang dicapai dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Hamburg, Jerman yang berlangsung tanggal 7-8 Juli 2018. Salah satu hasil yang dinilai menggemberikan, menurut Sri Mulyani, adalah makin kuatnya kerja sama perpajakan internasional dan peningkatan transparansi pajak antar negara untuk memerangi penghindaran dan penggelapan kewajiban pajak.
"Indonesia akan memanfaatkan kerja sama perpajakan internasional ini untuk meningkatkan upaya kita meIawan penghindar dan pengemplang pajak. Namun Indonesia juga harus terus melakukan reformasi perpajakan agar dapat memanfaatkan kerja sama internasional secara maksimal untuk kepentingan negara Indonesia," kata Sri Mulyani dalam postingan di akun resmi instagram miliknya, Sabtu (8/7).
Menurut Sri Mulyani, KTT G-20 di Hamburg merupakan pertemuan penting. Pasalnya, pada saat ekonomi dunia menunjukkan tanda pemulihan yang cukup nyata, negara-negara G20 yang menguasai lebih dari 75% perekonomian dunia ini masih harus menghadapi berbagai risiko. Diantaranya adalah rendahnya produktivitas, peningkatan ketimpangan, peningkatan ketidakseimbangan (imbalances), dan kemungkinan perubahan koreksi harga aset secara mendadak.
Berbagai isu tersebut dibahas secara intensif, dengan cara menghindari kecenderungan proteksionisme dan persaingan tidak setara (non level playing field) dan tidak adil (unfair trade) antar negara yang dapat mempersulit pemulihan ekonomi global.
Isu lain yang sangat intens dibahas adalah mengenai perubahan iklim, yang dianggap dapat mengancam dunia dan menciptakan resiko bagi generasi anak cucu yang akan datang. Hal ini bisa terjadi jika dunia tak melakukan kebijakan untuk mengurangi emisi karbon untuk mencegah peningkatan suhu dunia.
"Semua negara G20 akan melakukan upaya untuk mengurangi risiko perubahan iklim, meskipun Amerika Serikat telah memutuskan untuk menarik diri dari perjanjian Paris untuk mengatasi ancaman perubahan iklim," tutur Sri Mulyani. (dtc/mag)
Perppu Perpajakan dan Mekanisme Penetapan Perppu
Minggu, 25/06/2017 11:00 WIBPada saat tanggal 8 Mei 2017 Perppu ini diundangkan, DPR dalam masa reses (masa tidak bersidang) atau masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melaksakan kunjungan kerja.
Jaksa Sebut Handang Akan Biayai Sidang UU Tax Amnesty
Rabu, 21/06/2017 17:30 WIBSidang kasus suap pajak mengungkap bahwa Handang Soekarno akan menggunakan uang suap dari PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP) untuk membiayai uji materi UU Tax Amnesty di Mahkamah Konstitusi (MK). Handang melakukan itu karena Dirjen Pajak Kemenkeu Ken Dwijugiasteadi memerintahkan dia untuk membantu penanganan uji materi itu.
Handang adalah Kasubdit Pemeriksaan Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Dirjen Pajak Kemenkeu, yang terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) dengan barang bukti uang tunai sebesar US$ 148.500 atau setara Rp 1,9 miliar, saat sedang menerima suap dari Country Director PT EKP, Ramapanicker Rajamohanan Nair.
"Bahwa di persidangan terdakwa menerangkan terkait uang yang akan diterima dari saksi Ramapanicker Rajamohanan Nair tersebut, rencananya dipergunakan untuk keperluan membantu operasional uji materiil terhadap UU Tax Amnesty yang sedang disidangkan di Mahkamah Konstitusi," ujar Jaksa Penuntut Umum kepada KPK, Ali Fikri di sidang tuntutan kasus suap pajak dengan terdakwa Handang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (21/6).
Selain untuk biaya uji materiil Tax Amnesty, lanjut Ali, uang suap tersebut akan dibagi-bagi Handang untuk beberapa pihak internal Ditjen Pajak, salah satunya Andreas Setiawan alias Gondres, yang merupakan ajudan Dirjen Pajak. Pihak lain yang rencananya juga ´diciprati´ Handang adalah Kabid Keberatan dan Banding Ditjen Pajak Hilman Flobianto dan Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus Muhammad Haniv.
"Akan diberikan kepada saksi Andreas Setiawan alias Gondres selaku ajudan Ken Dwijugiasteadi. Akan diberikan kepada saksi Hilman Flobianto dan saksi Muhamad Haniv terkait telah selesainya pembatalan STP PT EKP," sambung Ali.
Sisanya, kata Ali, akan masuk ke kantong Handang sendiri.
Handang dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 750 juta karena dinilai JPU kepada KPK terbukti menyalahgunakan jabatannya untuk menyelesaikan beberapa masalah pajak PT EKP dengan perjanjian imbalan Rp 6 miliar.
Pemberian imbalan itu rencananya dilakukan PT EKP secara bertahap. Di tahap pertama PT EKP memberikan Rp 1,9 miliar, yang berakhir dengan OTT KPK di kediaman Country Directornya Ramapanicker Rajamohanan Nair.
Masalah perpajakan PT EKP antara lain pengajuan Restitusi Pajak, penolakan Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai (STP PPN), pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper). Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA) Enam mewajibkan PT EKP melunasi hutang PPN atas pembelian kacang mete gelondong sebesar Rp 78 miliar. (dtc/mfb)Ditjen Pajak Mulai Periksa WNI Tak Ikut Tax Amnesty
Sabtu, 06/05/2017 08:00 WIBPaska program tax amnesty berakhir pemerintah mulai menegakkan hukum. Targetnya wajib pajak yang tidak mengikuti tax amnesty, dan tak patuh terhadap peraturan pajak.
Direktur Jendral (Dirjen) Pajak, Ken Dwijugiasteadi, mengatakan telah memanggil para wajib pajak yang tidak mematuhi peraturan. "Tapi kan enggak perlu diekspose. Sudah, setiap Kanwil (kantor wilayah) makanya saya keliling. Momen ini kami lanjutkan mulai dengan yang enggak patuh. Kami punya data ya kita panggil," kata Ken di Kantor Ditjen Pajak, Jumat (5/5).
Hal ini sesuai dengan Pasal 18 UU nomor 11 tahun 2016, tentang pengampunan pajak. Bahkan, dirinya mengatakan satu Kanwil pajak bisa memanggil hingga ratusan wajib pajak ´nakal´ pada bulan pertamanya paska tax amnesty.
"Saya belum terima laporannya. yang jelas banyak. Satu Kanwil bisa 500 dulu dalam sebulan pertama. Dipanggil, dimintai BAP, minta penjelasan, dengan data. Jadi periksanya tergantung data. Datanya seberapa besar, seberapa akurat. analisis dulu, enggak ujug-ujug langsung panggil," katanya.
Dengan pemeriksaan itu, Ken mengaku, belum bisa memperkirakan potensi pajak yang seharusnya masuk. Tergantung dari nilai pajak terutang setiap wajib pajak itu sendiri. (dtc/mfb)Kakanwil Pajak Jakarta Berpeluang Terjerat Kasus Suap PT EKP
Selasa, 28/03/2017 17:00 WIBKepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak DKI Jakarta Muhammad Haniv berpotensi dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus penyuapan dalam pengurusan pajak PT EK Prima Ekspor.
Deretan Nama Besar di Kasus Suap Pajak yang Belum Tersentuh
Selasa, 28/03/2017 14:00 WIBDalam persidangan juga terungkap keterlibatan sejumlah nama-nama penting dalam kasus tersebut. Namun terseretnya sejumlah nama, apakah akan ditindak lanjuti KPK atau justru menguap begitu saja.
Kasus Suap Pajak Senggol Nama Pimpinan DPR
Selasa, 21/03/2017 21:00 WIBNota Dinas yang sifatnya sangat segera tersebut perihal pemberitahuan informasi tertulis mengenai jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayarkan, atau yang tidak seharusnya dikembalikan. Di dalam isi Nota Dinas, dijelaskan bahwa surat tersebut untuk kepentingan wajib pajak atas nama Syahrini.
Kisah Terombang Ambingnya Uang Suap Rajamohan
Selasa, 21/03/2017 11:00 WIBuang senilai Rp2 miliar yang rencananya akan diberikan kepada Handang, sempat terombang-ambing keberadaannya. Alasannya, tidak ada yang berani membawa uang dalam jumlah besar itu dari Surabaya ke Jakarta.
Kesaksian Janggal Ipar Presiden Jokowi di Kasus Pajak
Senin, 20/03/2017 19:00 WIBPernyataan Arif yang menyebut pemberian dokumen yang dikirimkan melalui pesan whatsapp messenger berkaitan dengan Tax Amnesty tidak sesuai dengan keterangan saksi lainnya, Handang Soekarno.