-
HIPMI: Penataan Regulasi Impor Untungkan UMKM
Jum'at, 31/01/2020 14:45 WIBJangan Hambat Bisnis Online Tapi Berantas Barang Selundupan
Rabu, 18/12/2019 22:35 WIBPP E-Commerce Menyusahkan Pelapak?
Rabu, 11/12/2019 17:10 WIBPemerintah Tertibkan Izin Usaha dan Garap Pajak E-Commerce
Senin, 09/12/2019 19:45 WIBTantangan Berat bagi Dirjen Pajak Baru
Jum'at, 01/11/2019 14:46 WIBAda Ketidakadilan yang Buat Pengusaha Malas Bayar Pajak
Sabtu, 19/10/2019 12:42 WIBPertumbuhan Ekonomi Tidak Berkualitas, GoJek Dkk Belum Berperan Besar Sumbang Pajak
Selasa, 15/10/2019 16:24 WIBGeger Pajak Ecommerce: Siapa Bakal Tumbang?
Jum'at, 09/02/2018 16:38 WIBMembahas secara lengkap dan tuntas tentang peta industri dunia e-commerce Indonesia, konsekuensi perpajakannya, dan segala aturan hukumnya. Di tengah serbuan pemodal kakap asing, bagaimana nasib pemain lokal? Wajib disimak oleh konsumen dan pelaku usaha e-commerce nasional.
Kebijakan Pajak Trump Bisa Berdampak Negatif Bagi RI
Rabu, 27/12/2017 21:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pelaksana Tugas Ketua DPR Fadli Zon mengatakan kebijakan pajak yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump bisa memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Kebijakan tersebut adalah UU Reformasi Perpajakan serta kenaikan suku bunga acuan The Fed untuk ketiga kalinya. Fadli mengatakan, dua kebijakan itu perlu diberi perhatian oleh pemerintah dan otoritas moneter karena akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia.
Kebijakan tersebut, dikatakan Fadli, akan berpengaruh terhadap perekonomian global. "Ditambah oleh kenaikan suku bunga acuan The Fed, efeknya bisa jadi berganda," ungkap Fadli seperti dikutip dpr.go.id, Rabu (27/12).
Dia mengatakan, keputusan tersebut berpotensi menarik dana asing dari pasar keuangan negara-negara berkembang. Pasalnya, imbal hasil dari instrumen investasi serta besaran reformasi pajak yang ditawarkan pemerintahan Trump cukup signifikan, sehingga pasti akan memikat investor.
"Saat ini nilai keuntungan bisnis perusahaan-perusahaan AS yang ditempatkan di pasar global mencapai US$ 2,6 triliun. Jika kebijakan pemotongan pajak oleh pemerintahan Trump ini bisa menarik hingga separuh nilai tadi, maka pasar global bisa mengalami goncangan. Sesudah isu Yerusalem menjadi gempa politik global, maka kebijakan Trump yang ini bisa menimbulkan gempa ekonomi," ujarnya.
Politikus Partai Gerindra itu menilai, disahkannya UU Reformasi Perpajakan AS memang merupakan reformasi pajak terbesar di AS sejak era 1980-an. Lewat beleid itu, Trump telah memangkas pajak korporat dari sebelumnya 35% kini menjadi 21% dan akan mengurangi beban pajak untuk individu. Hal inilah yang dinilai akan menarik para investor untuk mengembalikan dananya ke dalam negeri AS.
Menurut Fadli, ancaman repatriasi ini akan makin memperkuat nilai tukar dolar AS, dan hal ini tentu saja akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia. "Setiap penurunan nilai tukar rupiah, beban pembayaran cicilan utang dan bunga utang kita tentu jadi membengkak, karena semuanya dibayar dengan dolar," terang Fadli.
Sebagai gambaran, per Oktober 2017, total utang luar negeri Indonesia mencapai US$341,52 miliar, atau sekitar Rp4.603 triliun. "Dengan angka tersebut, beban pembayaran bunga utang kita tahun depan diperkirakan bisa di atas angka Rp300 triliun," sambung politisi dari Dapil Jawa Barat V ini.
Fadli mengingatkan, pemerintah dan otoritas moneter dituntut berpikir cerdik untuk menghadapi kenaikan suku bunga acuan The Fed dengan menaikkan juga suku bunga acuan di dalam negeri. Walaupun, hal itu akan kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah selama ini yang berusaha untuk menekan tingkat suku bunga kredit di bawah dua digit.
"Sebab, setiap kenaikan suku bunga acuan, maka suku bunga kredit juga otomatis akan naik, yang pada gilirannya akan kian menekan iklim usaha di dalam negeri. Bank Indonesia harus bisa merumuskan kebijakan yang pas, agar tidak memukul sektor riil yang saat ini sedang terjepit. Di tahun politik 2018, pemerintah tak boleh kehilangan fokus terhadap soal ekonomi. Jangan sampai kita tak memiliki skenario jika terjadi gejolak ekonomi tahun depan," tandas Fadli. (mag)HIPMI Ajukan Solusi Peningkatan Penerimaan Pajak 2018
Jum'at, 22/12/2017 15:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengajukan solusi untuk peningkatan penerimaan pajak tahun 2018. Ketua HIPMI Tax Center, Ajib Hamdani menilai pemerintah harus merubah cara jika ingin target pajak tercapai di tahun 2018.
"Penerimaan selalu tidak sesuai target, oleh karena itu HIPMI mengajukan usulan agar kedepannya dalam penentuan target penerimaan pajak melibatkan tiga stakeholder yaitu, pemerintah, legislatif dan pengusaha. Sehingga diharapkan target menjadi realistis dan terukur," tutur Ajib dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Jumat (22/12).
Terkait dengan peningkatan target penerimaan pajak yang mencapai Rp1.618,09 T pada tahun 2018 Ajib menilai Direktorat Jendral Pajak seharusnya tidak hanya fokus di intensifikasi, namun lebih pada ekstensifikasi. Sehingga target penerimaan pajak mudah terealisasi.
"Jangan sampai Wajib Pajak yang sudah berusaha patuh menjalankan hak dan kewajibannya malah terus menerus digali potensinya terutama kalangan pengusaha yang menjadi cukup khawatir. Penerimaan pajak harus tercapai targetnya, namun sisi lain pemerintah harus berkeadilan," imbuh Ajib.
Terakhir, Ajib menggarisbawahi kembali upaya-upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah agar penerimaan pajak sesuai target di tahun 2018 mendatang seperti perbaikan sumber daya manusia dan perbaikan basis data dan sistem IT.
"Selain fokus utama adalah ekstensifikasi dibanding intensifikasi, kemudian ajak duduk bersama pengusaha dalam rumusan target pajak, yang tak kalah penting adalah perbaikan SDM dan perbaikan basis data dan sistem IT," pungkas Ajib.
Diketahui target pajak 2017 sebesar Rp1.283,57 T, adapun realisasinya sampai dengan Desember 2017 telah mencapai angka Rp 10584 triliun atau 82,46 % dari target. Sedangkan target pemerintah tahun 2018 mendatang sebesar Rp1.618,09 T atau sebesar 85% dari target penerimaan. (mag)Peneliti: Pemerintah Tak Realistis Targetkan Pajak 2018
Kamis, 26/10/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dinilai tidak realistis menetapkan target penerimaan pajak negara dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2018. Selain itu, penyaluran bantuan non-tunai pun dinilai kurang optimal akibat tidak memadainya infrastruktur yang digunakan. "DPR baru saja mengesahkan APBN 2018 dan ada sejumlah hal yang perlu jadi perhatian. Pertama, kurang realistisnya target penerimaan perpajakan dan kedua terkait penyaluran bantuan non-tunai," kata peneliti Wiratama Institute Muhammad Syarif Hidayatullah dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (26/10).
Ia mengatakan, pemerintah harus lebih konservatif dalam menentukan target penerimaan pajak dalam APBN 2018, sehingga kesalahan penetapan target penerimaan pajak pada APBN 2015 dan 2016 terulang kembali. Menurut dia, penerimaan perpajakan pada APBN 2018 ditargetkan menjadi Rp1.618 triliun, atau meningkat Rp8,7 triliun dibandingkan RAPBN 2018, dan naik 9,91% dibandingkan target APBN-P 2017.
"Target ini terkesan konservatif apabila membandingkan dengan rata-rata pertumbuhan penerimaan perpajakan selama satu dekade sebesar 13,9%. Akan tetapi, perlu menjadi catatan adalah besarnya pertumbuhan penerimaan pajak tersebut ditopang oleh boom harga komoditas 2009-2012," jelas Syarif.
Ia berpendapat, semenjak harga komoditas mengalami penurunan yang berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, rata-rata pertumbuhan penerimaan perpajakan Indonesia hanya sebesar 7% pada periode tahun 2013-2016, sehingga target 9,91% masih kurang realistis.
"Dalam kondisi perekonomian yang sedang lesu, target PPN pada APBN 2018 yang diresmikan justru meningkat sebesar Rp6 triliun apabila dibandingkan versi Rancangan APBN 2018. Hal itu kurang realistis, karena target PPN tumbuh sebesar 13,8% dibanding target APBN-P 2017. Sedangkan rata-rata pertumbuhan PPN selama tiga tahun terakhir hanya sebesar 5,2%," katanya lagi.
Sementara itu, kata dia, melemahnya daya beli masyarakat dapat memengaruhi target PPN tersebut. Daya beli yang melemah merupakan permasalahan riil. Selain itu, stagnannya tingkat upah riil selama beberapa tahun terakhir, lapangan pekerjaan baru yang mulai didominasi oleh pekerjaan setengah menganggur, hingga inflasi pangan yang masih relatif tinggi tentu menggerus daya beli masyarakat.
Selain itu, tambah dia, perlambatan perekonomian, permasalahan ekonomi global, menyebabkan ketidakpastian untuk kalangan menengah atas, sehingga ekspektasi ekonomi ke depan dinilai kurang baik.
"Hal itu menyebabkan kalangan menengah ke atas meningkatkan tabungan dan menahan belanja (precautionary saving). Terlihat dari meningkatnya tabungan kalangan menengah atas. Kondisi ini pada akhirnya akan menyulitkan pemerintah untuk memenuhi target kenaikan PPN tersebut," tambah Syarif lagi
Target Penerimaan perpajakan yang kurang realistis, ucap Syarif, akan berdampak kurang baik pada beberapa hal. Yaitu, dapat menyebabkan shortfall perpajakan, menghambat realisasi belanja dan pada akhirnya memperlebar defisit anggaran.
Ia mengingatkan agar pemerintah belajar dari APBN 2015 dan 2016 yang target penerimaan pajak sebesar 33% dan 24%, namun pada akhirnya tidak terpenuhi. "Akibat tidak realistisnya target penerimaan perpajakan, di tengah tahun anggaran pemerintah terpaksa ‘lempar handuk’ dan menambal kekurangan melalui kebijakan defisit. Pemerintah terpaksa menggenjot tambahan utang di akhir tahun 2015, yang menyebabkan defisit Indonesia membengkak hingga Rp298,4 triliun, dari target awal yang hanya Rp222,51 triliun atau realisasinya mencapai 134%," ungkap dia.
Hal serupa, katanya, terjadi pada tahun 2016, yang membuat akhirnya defisit yang pada awalnya dalam APBN 2016, ditargetkan hanya Rp273 triliun, namun realisasi pembiayaannya mencapai Rp331 triliun.
Lebih jauh, kata Syarif lagi, subsidi energi terlihat mengalami penurunan pada APBN 2018. Namun hal itu lebih disebabkan oleh pemindahan ubsidi pangan menjadi mekanisme subsidi non-tunai.
Skema non-tunai, jelasnya, memang langkah yang baik. Akan tetapi, pemerintah harus mempersiapakan infrastruktur penyaluran Bantuan Non-tunai secara baik. Apalagi, pemerintah telah menargetkan 10 juta penerima subsidi pangan akan tersalurkan dengan mekanisme non-tunai.
"Untuk itu, pemerintah harus memastikan bahwa mekanisme E-Warong dapat diterapkan dengan baik sehingga bantuan pangan tersebut dapat terealisasi. Tidak terealisasinya bantuan ini tentu dapat merugikan masyarakat menengah bawah, karena dapat menggerus daya belinya. Dan perlu menjadi perhatian, bahwa 50% konsumsi masyarakat miskin adalah konsumsi pangan,” tandas Syarif. (mag)Kenaikan Cukai Rokok Sengsarakan Rakyat
Jum'at, 20/10/2017 10:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Komisi VI DPR RI, Bambang Haryo Soekartono menilai rencana pemerintah yang akan menaikkan cukai rokok 10,04 Persen mulai 1 Januari 2018 amat sangat merugikan masyarakat, dan tidak memberi sumbangsih kenaikkan perekonomian nasional.
"Masyarakat tidak diberikan keuntungan lebih dengan cukai dinaikkan, malah menjadi korban biaya yang demikian mahal. Kena beban pembiayaan tapi pendapatan tetap. Judulnya pemerintah panik cari duit sebanyak-banyaknya, duit tak didapat justru dampaknya malah negatif pada ekonomi kita," papar Bambang di ruang kerjanya Gedung Nusantara I, Kamis (19/10).
Dia menegaskan, industri rokok merupakan industri padat karya yang melibatkan jutaan orang dari hulu hingga hilir. Rokok yang terbuat dari tembakau memiliki rantai industri yang sangatlah panjang, karena tidak semata hanya melibatkan pabrikan rokok saja, dari buruh tani rokok, karyawan pabrik rokok, pedagang asongan rokok, warung rokok di desa-desa, semuanya adalah rakyat yang membutuhkan nafkah.
Karena itu, kata Bambang, masyarakat akan mengalami kerugian ekonomi jika cukai rokok dinaikkan, karena daya beli masyarakat yang menurun. Dia mengatakan daya beli bukan untuk membeli rokok saja tapi juga berakibat pada kebutuhan sehari-hari akan menurun, otomatis pertumbuhan ekonomi akan lebih menurun lagi. Tidak hanya itu, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga dikorbankan karena kenaikan cukai rokok.
"20 juta lebih UMKM kita penjual rokok, karena cukai dinaikkan, itu membuat mereka tidak mampu ´kulakan´, beli terus menjual. Karena terlalu mahalnya harga rokok, dan ini akan mematikan UMKM-UMKM kita yang secara riel mereka sebenarnya topang tonggak dari pada pertumbuhan ekonomi kita, karena ekonomi kita ditopang oleh UMKM," jelas Bambang.
Sikap pemerintah dinilai tidak rasional, karena terus meningkatkan target penerimaan cukai rokok dan tarif cukai, tapi di sisi lain juga menggembosi industri rokok. Peningkatan tarif cukai, kampanye tanpa rokok, dan aturan tentang kawasan tanpa rokok merupakan cara pemerintah menekan industri rokok.
Politisi dari F Gerindra ini beranggapan, kalau kementerian keuangan tidak cermat mengkaji dan menganalisa dampak kenaikan cukai rokok, maka negara juga akan kesulitan mendapatkan devisa terbesar nomor dua yaitu rokok. Menurut Bambang, sebesar Rp150 triliun devisa yang disumbangkan dari industri rokok. Lebih lanjut dia menyampaikan akan banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan jika industri rokok menurun akibat pajak cukai rokok yang dinaikan.
"Akan menggerus petani-petani tembakau, buruh tani tembakau ratusan ribu bahkan jutaan akan tergerus. Terus ditambah lagi karyawan pabrik-pabrik itu yang dia sangat menggantungkan nafkanya dari upah kerja," ujar Bambang.
Jika rencana itu jadi dilakukan, maka yang bakal terjadi adalah kolapsnya industri rokok yang berakibat pada perumahan dan PHK pekerja rokok. Bila itu terjadi, maka target pemerintah untuk cukai rokok tak bakal terpenuhi. Rencana penetapan tarif cukai tersebut dianggap tidak rasional dan membebani industri rokok. Terlebih perekonomian Indonesia saat ini belum menunjukkan gejala peningkatan signifikan. (mag)Beli Emas Antam Kini Kena Pajak
Kamis, 05/10/2017 07:00 WIBPT Aneka Tambang Tbk (Antam) mengumumkan bahwa setiap transaksi pembelian Logam Mulia di seluruh cabang Antam Logam Mulia akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) 22 sejak 2 Oktober 2017. Besaran pengenaan yang diterapkan dibedakan bagi yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dikenakan pajak 0,45%, sementara yang tidak dipungut pajak 0,9%.
Pengumuman tersebut telah terpampang di cabang Antam Logam Mulia. Adapun penerbitan bukti potong PPh 22 akan diterbitkan 30 hari kerja setelah transaksi.
Direktur Keuangan Antam Dimas Wikan Pramudhito membenarkan pengumuman tersebut. Menurutnya kebijakan tersebut dalam rangka membantu pemerintah dalam mengumpulkan pajak.
"Pada prinsipnya hal tersebut adalah himbauan kepada seluruh buyer emas dalam rangka memberikan kontribusi kepada negara via pembayaran pajak atas pembelian emas di Logam Mulia," tuturnya, Rabu (4/10).
Namun Dimas menekankan, bahwa sebenarnya pengenaan PPh 22 itu sudah dilakukan sejak dulu. Akan tetapi banyak pihak yang menanyakan terkait hal tersebut, sehingga Antam pun melakukan pengumuman.
"Disampaikan via pemberitahuan karena suka ada yang tanya-tanya dan dijelaskan secara verbal terus-terusan rasanya kurang pas. Makanya kita announce seperti itu," tandasnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama menjelaskan pengenaan pajak pada pembelian emas batangan produk PT Aneka Tambang (Antam) dikarenakan pembelinya merupakan orang-orang kaya.
"Jadi wajar kalau membayar pajak (PPh)," kata Hestu, Rabu (4/10/2017).
Meski demikian, Hestu mengungkapkan, bahwa pengenaan pajak pada saat pembelian emas bisa dikreditkan dalam SPT Tahunan, maksudnya bisa menjadi pengurangan pajak dalam SPT Tahunan.
"PPh Pasal 22 yang dipungut di atas dapat dikreditkan oleh pembeli," jelas dia.
Adapun, lanjut Hestu, pengenaan pajak bagi setiap pembelian emas batangan juga dalam rangka mendorong masyarakat memiliki NPWP.
"Pengenaan PPh Pasal 22 dengan tarif lebih tinggi bagi pembeli yang tidak punya NPWP dimaksudkan untuk mendorong orang ber-NPWP," tukas dia. (dtc/mfb)Pemerintah Akan Lakukan Reformasi Perpajakan
Kamis, 17/08/2017 10:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo menegaskan, pemerintah akan melakukan langkah perbaikan di bidang perpajakan, antara lain dengan melakukan reformasi perpajakan, perbaikan data dan sistem informasi perpajakan, serta peningkatan basis pajak dan mencegah praktik penghindaran pajak melalui keterbukaan informasi perpajakan (Automatic Exchange of Information). Pemerintah, kata Jokowi, akan tetap mendukung peningkatan dunia usaha melalui pemberian insentif perpajakan.
"Peningkatan penerimaan kepabeanan dan cukai juga akan terus dioptimalkan melalui pengawasan yang lebih baik, serta pengenaan objek barang kena cukai, yang diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan di kepabeanan Penerimaan Negara Bukan Pajak juga akan didorong dengan menyeimbangkan pemanfaatan sumber daya alam, laba dari badan usaha milik negara, serta sumber-sumber ekonomi lainnya dari PNBP," ucap Joko Widodo, dalam Rapat Paripurna DPR RI Pembukaan Masa Sidang I Tahun Sidang 2017-2018, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8), seperti dikutip dpr.go.id.
Jokowi juga menjelaskan, dengan mengacu pada tema kebijakan fiskal tahun 2018 dan strategi yang mendukungnya, maka Negara dalam RAPBN tahun 2018 direncanakan sebesar Rp1.878,4 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan perpajakan direncanakan sebesar Rp1.609,4 triliun dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp267,9 triliun."Pemerintah akan berupaya secara maksimal untuk dapat mencapai target penerimaan tersebut dengan berbagai langkah perbaikan serta memanfaatkan semua potensi ekonomi nasional, namun dengan tetap menjaga iklim investasi dan stabilitas dunia usaha," paparnya.
Sementara itu, Belanja Negara dalam RAPBN tahun 2018 direncanakan sebesar Rp2.204,4 triliun, yang terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp1.443,3 triliun, serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp761,1 triliun, lanjutnya. "Pemerintah akan terus melakukan langkah-langkah efisiensi, penajaman kualitas belanja, serta pencapaian sasaran pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengatasi ketimpangan, serta pemerataan pembangunan yang berkeadilan," tegas Jokowi.Ia mengungkapkan, dengan rencana Pendapatan Negara dan Belanja Negara dalam tahun 2018 tersebut, maka defisit anggaran dalam RAPBN tahun 2018 direncanakan menjadi Rp325,9 triliun atau setara dengan 2,19 persen dari PDB. Sasaran defisit anggaran tahun tersebut lebih rendah dari outlook-nya di tahun 2017 yang sebesar Rp362,9 triliun atau 2,67 persen dari PDB Tingkat keseimbangan Primer di tahun 2018 direncanakan juga mengalami penurunan, dari perkiraan sebesar minus Rp144,3 triliun dalam tahun 2017 menjadi minus Rp78,4 triliun.
"Untuk membiayai defisit anggaran dalam tahun 2018 tersebut, Pemerintah akan memanfaatkan sumber pembiayaan dalam negeri maupun dari luar negeri, dalam bentuk pinjaman utang, yang akan dikelola dengan berhati-hati dan bertanggungjawab sesuai dengan standar pengelolaan internasional. Pinjaman tersebut akan digunakan untuk kegiatan yang produktif mendukung program pembangunan nasional, di bidang pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, infrastruktur, serta pertahanan dan keamanan," pungkasnya. (mag)Pemerintah Diminta Fokus pada Kepastian dan Konsistensi Penerapan Kebijakan Perpajakan
Sabtu, 05/08/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Baik di Indonesia maupun di penjuru dunia, kebijakan perpajakan saat ini sedang mendapatkan momentum dan pengaruh yang lebih kuat seiring dengan kehadiran perusahaan-perusahaan global yang sedang mengembangkan peluang investasi lintas negara. Sementara pemerintah di berbagai negara juga sedang bersaing satu sama lain untuk menciptakan lingkungan yang menarik bagi investasi bisnis.
Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan, dahulu, topik perpajakan hanya menjadi salah satu elemen dalam proses akuntansi. Namun seiring berjalannya waktu, perpajakan menjadi elemen utama dalam memahami bagaimana perusahaan dan kondisi ekonomi dibentuk dalam suatu lingkungan dengan kebijakan global yang kompetitif.Direktur Eksekutif Pusat Analisis Perpajakan Indonesia itu menjelaskan, kegiatan dan model bisnis telah berubah drastis. Khususnya dengan kehadiran platform digital yang memungkinkan berbagai akses perusahaan ke sumber daya global dan para pelanggan.
"Tantangan utama bagi Indonesia adalah bagaimana pemerintah menanggapi perubahan ini dan merumuskan peraturan pajak yang menguntungkan bagi kalangan bisnis dan investor, sambil mendukung kebutuhan fiskal pemerintah," ujarnya dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Sabtu (5/8).
Yustinus mengidentifikasi, kejelasan, kepastian dan konsistensi sebagai isu utama bagi Indonesia untuk menangani kebijakan perpajakannya dan membantu meningkatkan investasi asing. Masalahnya adalah bagaimana kita mengatur investasi asing sekaligus meningkatkan penerimaan pajak Indonesia.
"Sebelum menerapkan kebijakan pajak yang kompleks, kita harus menetapkan prioritas dan mengimplementasikan kebijakan pajak fundamental secara jelas, pasti, dan konsisten," kata Yustinus.
Dengan kekuatan ekonomi digital, banyak perusahaan saat ini dapat beroperasi di seluruh dunia tanpa membangun kehadiran fisik di pasar ekspor. Perusahaan over-the-top (OTT) yang mengoperasikan platform Internet dapat tetap berbasis di negara asal mereka dan memberikan layanan ke seluruh dunia.
Sementara itu, Direktur Pusat Eropa untuk Ekonomi Politik Internasional Hosuk Lee-Makiyama menjelaskan, gagasan bahwa perusahaan multinasional digital tidak membayar pajak adalah mitos. "Mereka membayar di negara asal mereka seperti perusahaan Indonesia membayar pajak di sini. Jadi, level playing field tetap sejajar," terangya.
Direktur Economist Corporate Network (ECN) Robert Koepp menambahkan, saat ini pentingnya perpajakan perusahaan melampaui bidang akuntansi dan penganggaran bisnis. Kebijakan pajak nasional menjadi bagian terpenting dari suatu perusahaan dan ekonomi dalam membentuk posisi kompetitif mereka."Acara-acara yang dilakukan oleh ECN seperti ´Taxing Times´ ini memberikan kesempatan kepada para pebisnis, pembuat kebijakan, dan media, untuk terlibat dalam diskusi terbuka mengenai topik penting yang dapat mempengaruhi ekonomi global," tegasnya. (mag)