-
83,66% Perusahaan Sawit di Indonesia Tidak Bersertifikat ISPO dan Belum Diberi Sanksi
Senin, 02/09/2019 17:57 WIBBPK: 2,7 Juta Hektare Kebun Sawit Berada di Dalam Kawasan Hutan, Riau Terbesar
Senin, 02/09/2019 17:15 WIBPerang Sawit, Opsi Tarik-Ulur Boikot Produk Uni Eropa Bisa Dilakukan Pemerintah
Senin, 02/09/2019 15:04 WIBHalangi Akses Informasi Kebun Sawit, Deputi Menko Perekonomian Dilaporkan LSM
Rabu, 21/08/2019 20:34 WIBPerusahaan Milik Menantu Eks Penjabat Gubernur Aceh Diduga Rusak Hutan
Jum'at, 26/07/2019 20:10 WIBKelapa Sawit Perusahaan Besar Langgar Komitmen Bebas Deforestasi Merek Dagang Utama Global
Kamis, 19/07/2018 16:10 WIBIndonesia Kecewa Perlemen Eropa Setujui Penghentian Pemanfaatan Biofuel Sawit
Selasa, 23/01/2018 08:19 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah Indonesia menyatakan kekecewaanya atas kebijakan Parlemen Eropa yang tetap menyetujui penghentian penggunaan biofuel berbahan dasar kelapa sawit sebagai sumber energi terbarukan pada tahun 2021. Kebijakan yang diputuskan Parlemen Eropa dalam "the draft of Directive on the Promotion of the Use of Energy from Renewable Sources" dalam sesi pleno, 17 Januari 2018, dinilai pemerintah Indonesia sebagai tindakan diskriminasi.
Menanggapi keputusan tersebut, Pemerintah RI menyakatakan, meski keputusan PE dinilai belum final, namun kebijakan tersebut akan mempengaruhi pandangan konsumen di Uni Eropa (UE) serta memberikan tekanan politik bagi negara-negara anggota UE dan berbagai institusi UE dalam pembentukan sikap terhadap kelapa sawit sebagai salah satu sumber energi terbarukan.
"Sangat disayangkan, sebagai institusi terhormat, Parlemen Eropa melakukan tindakan ini tidak hanya sekali tetapi berulang kali. Contoh terakhir adalah resolusi tentang "Palm Oil and Deforestation of Rainforests" dengan kesimpulan yang melenceng dan bias terhadap kelapa sawit," tulis website resmi Kemlu.go.id.
Kemlu juga menyebut, Parlemen Eropa, secara konsisten tidak mengindahkan fakta bahwa kelapa sawit memiliki efisiensi dan produktivitas sangat tinggi yang berpotensi menyumbang konservasi lingkungan dalam jangka panjang sebagai global land bank bila dibandingkan dengan minyak sayur lainnya.
Melalui rilisnya Kemlu juga menyebut Kelapa sawit sepuluh kali lipat lebih efisien dalam pemanfaatan lahan dibandingkan dengan minyak rapeseed Eropa lainnya. "Oleh karena itu, kebijakan untuk menghilangkan kelapa sawit dari program biofuel sebagai sumber energi terbarukan merupakan kebijakan perdagangan yang proteksionis daripada upaya pelestarian lingkungan semata," sebutnya.
Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk menjamin dan mempertahankan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari pengembangan kelapa sawit melalui berbagai kebijakan dan regulasi. Industri minyak sawit Indonesia juga telah terbukti berkontribusi pada pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan pencapaian tujuan Sustainable Development Goals.
Dalam penyataan akhir rilis tersebut Kemlu menyataka, bahwa proses selanjutnya dan keputusan akhir RED II dipastikan akan berdampak pada fondasi hubungan ekonomi, perdagangan, dan investasi antara Indonesia dan Uni Eropa yang terus tumbuh berdasarkan nilai saling menghormati kepentingan masing-masing.(rm)Strategi Kemendag Hadapi Kampanye Hitam Sawit RI di Eropa
Kamis, 21/12/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Perdagangan (Kemendag) tengah menyusun strategi menghadapi kampanye hitam terkait sawit RI di Eropa. Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Iman Pambagyo menjelaskan masih menyusun strategi menghadapi kampanye hitam tersebut. Upaya ini juga akan melibatkan industri di eropa yang memakai produk sawit Indonesia.
"Kita masih menyusun strategi bagaimana menghadapinya tapi kita nggak bisa head sound gitu saja. Pertama kita harus mendapatkan industri yang memakai kelapa sawit di sana, jadi mereka juga harus bersuara karena ini menyangkut bisnis mereka," kata Iman di Jakarta, Rabu (20/12).
Lebih lanjut, pihaknya juga akan melihat persoalan tersebut dalam konteks lingkungan dan kesehatan. Sehingga pihaknya masih menyusun strategi menangkis kampanye hitam sawit. Iman mengatakan, penyusunan ini nantinya akan melibatkan kementerian dan lembaga terkait. Selain itu juga para pelaku usaha kelapa sawit itu sendiri.
Iman menambahkan, kampanye hitam tersebut belum berpengaruh signifikan ke industri kelapa sawit Indonesia. "Sampai sekarang belum terlalu signifikan, tapi kita antisipasi jangan sampai babak belur baru kita bereaksi. Jadi sekarang masih duduk untuk menyusun narasi dan ke depannya akan lebih kuat," pungkas Iman.
Sementara itu,Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, datang ke Paris untuk menghadiri One Planet Summit 2017. Jonan juga sempat menyaksikan penandatanganan 3 Letter of Intent (LoI) pembangkit listrik dari energi terbarukan antara PT PLN (Persero) dengan Independent Power Producers (IPP) asal Prancis.
Acara penandatanganan kerja sama dilakukan di sela-sela acara Renewable Energy Companies Commited to Climate, dalam rangkaian One Plannet Summit, di Kedutaan Besar Indonesia di Paris. Setelah menyaksikan penandatanganan kerja sama, Jonan pun memberikan sambutan.
Ada sambutan Jonan yang membuat para hadirin terdiam, yaitu soal isu sawit Indonesia yang selama ini ditolak Uni Eropa. "Saya sangat berterima kasih dan menghargai atas kerja sama yang akhirnya disepakati ini. Semoga kerja sama ini bisa bermanfaat untuk rakyat Indonesia," kata Jonan saat menyampaikan pidatonya.
"Ada hal penting yang ingin saya sampaikan ke pemerintah Prancis, soal minyak sawit RI. Minyak sawit RI ini harus bisa diterima. Kalau Prancis tetap menolak maka bisa mengancam hubungan bilateral antara RI dengan Prancis," ujar Jonan yang disambut keheningan para hadirin di dalam ruangan.
Selama ini, sawit produksi RI selalu mendapat kampanye hitam dari Uni Eropa. Padahal, minyak sawit RI tidak pernah terbukti melanggar seperti yang selama ini diserukan Uni Eropa. Apalagi, lanjut Jonan, perusahaan migas asal Prancis, Total, berniat mengembangkan biofuel dengan menggunakan minyak sawit.
Indonesia sebagai produsen salah satu produsen minyak sawit terbesar dunia ingin ambil bagian. "Tolong selesaikan isu ini ke pemerintah Anda. Menterinya cukup populer di sini kan? Isu ini harus dipertimbangkan dengan serius," kata Jonan kepada pihak Prancis.
Menteri yang dimaksud adalah Nicolas Hulot. Hulot adalah mantan wartawan dan aktivis lingkungan yang ditunjuk menjadi Menteri Lingkungan Hidup Prancis. "Hubungan RI dengan Prancis tidak hanya di bidang energi saja, tapi di bidang lain. Saya waktu jadi Menteri Perhubungan menyaksikan salah satu pembelian terbesar Airbus di Toulouse. Jadi tolong pertimbangkan lagi isu ini atas nama hubungan pertemanan kita," tutup Jonan. (dtc/mag)Terungkap, Eksploitasi Buruh di Kebun Sawit Indofood
Rabu, 29/11/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Sebuah laporan disampaikan oleh Rainforest Action Network (RAN), Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-Usaha Kerakyatan (OPPUK) dan International Labor Rights Forum (ILRF). Dalam laporan berjudul "Tinjauan Ulang Korban Minyak Sawit Bermasalah: Peran PepsiCo, Perbankan dan RSPO dalam Melanggengkan Eksploitasi Buruh Indofood" itu terungkap adanya eksploitasi atas buruh di perkebunan sawit milik Indofood.
Temuan-temuan dihasilkan dari investigasi lapangan dan wawancara dengan buruh dari tiga perkebunan kelapa sawit yang dimiliki dan dikelola oleh perusahaan produsen makanan terbesar Indonesia, Indofood, yang juga menjadi produsen tunggal makanan ringan merk PepsiCo di Indonesia. Laporan ini merupakan tindak lanjut atas laporan yang pernah disampaikan satu setengah tahun sebelumnya dan mengungkap tentang pelanggaran tenaga kerja yang terjadi di perkebunan milik Indofood.
Dari laporan tersebut terungkap, kondisi perkebunan tersebut masih sama, termasuk masih ditemukan risiko yang tinggi akan terjadinya kerja paksa dan buruh anak. Diantara temuan lainnya juga ditemukan buruh yang mengalami risiko terpapar pestisida berbahaya, menerima upah di bawah minimum, penetatapan status buruh sebagai tidak tetap untuk mengisi pekerjaan inti yang melanggar peraturan, dan dihalangi dalam kegiatan serikat buruh mandiri.
Semua pelanggaran tenaga kerja ini terdokumentasikan di perkebunan yang memiliki sertifikat "berkelanjutan" Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)––skema sertifikasi industri kelapa sawit terkemuka––dan terkait dengan PepsiCo melalui kerjasama usahanya dengan Indofood."Sebagai lembaga sertifikasi industri kelapa sawit terkemuka, RSPO harus meminta pertanggungjawaban anggotanya. RSPO tidak dapat terus mensertifikasi pelanggaran buruhdan mengabaikan penderitaan buruh yang menghadapi risiko khusus semacam itu," ungkap Herwin Nasution, Direktur Eksekutif OPPUK, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Rabu (29/11).
"Ini masalah yang mendesak, RSPO harus bertindak atas keluhan yang diajukan terhadap Indofood, dan memperkuat kriteria dan sistem auditnya, sehingga buruh dapat dilindungi, dan kami bisa berharap untuk mendapatkan minyak kelapa sawit yang benar-benar ´bebas darieksploitasi´," tambahnya.
Pelanggaran hak buruh terjadi secara umum di industri kelapa sawit, namun Indofood––sebagai salah satu perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia dan perusahaan makanan terbesar di Indonesia––sangat tertinggal diantara yang lainnya.Indofood saat ini merupakan perusahaan minyak kelapa sawit swasta terbesar di Indonesia yang belum memperkuat kebijakannya atau memperbaiki praktiknya agar sesuai dengan tolak ukur baru untuk kelapa sawit yang bertanggung jawab: yaitu berkomitmen untuk tidak melakukan deforestasi, tidak melakukan perluasan di lahan gambut, dan tidak melanggar hak asasi manusia maupun pekerja, yang diberlakukan untuk seluruh operasional perusahaan maupun pemasok pihak ketiga.
"Temuan ini sangat keterlaluan, Indofood, PepsiCo, RSPO dan yang lainnya sudah mengetahui terjadinya pelanggaran hak buruh di perkebunan kelapa sawit Indofood selama kurang lebih satu setengah tahun, namun sedikit sekali bahkan hampir tidak ada yang berubah," ungkap Robin Averbeck, Direktur Kampanye Agribisnis RAN.
"Laporan kedua ini seharusnya tidak perlu dibuat. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran hak buruh sudah seharusnya bertindak, atau akan dikenal sebagai pihak yang membiarkan eksploitasi buruh terjadi demi minyak kelapa sawit yang murah,"ujarnya.
PepsiCo, yang juga menjadi perusahaan peringkat bawah diantara yang lainnya, mengeluarkan kebijakan kelapa sawit baru pada bulan September 2015 namun tidak mewajibkan Indofood sebagai mitra usahanya untuk mematuhi asas-asas kebijakannya. Akibat dari lemahnya penerapan kebijakan kelapa sawit PepsiCo, ratusan ribu konsumen dan organisasi masyarakat sipil di seluruh dunia berdiri bersama untuk bersolidaritas dengan buruh kelapa sawit menekan PepsiCo dan menuntut agar perusahaan segera mengambil tindakan yang signifikan.
Eric Gottwald, Direktur Hukum dan Kebijakan ILRF mengatakan, temuan investigasi kedua ini sangat mengecewakan, dan dengan reputasi perusahaan multinasional yang menjadi taruhannya, PepsiCo harus bisa berbuat lebih baik. "PepsiCo membanggakan diri dengan menetapkan tujuan keberlanjutan yang tinggi, namun bagaimana mungkin pelanggaran hak buruh disebut sebagai bagian dari ‘keberlanjutan’? PepsiCo juga harus memikul tanggung jawab Indofood selaku mitra usahanya, mendorong Indofood agar mengikuti pada norma-norma hak asasi manusia dan ketenagakerjaan yang sesuai atau lebih baik memutuskan kerjasama yang ada. Diam sama sekali bukan pilihan," ujarnya.
Laporan ini menyertakan perbaikan yang direkomendasikan untuk Indofood dan First Pacific selaku perusahaan induknya. Laporan ini juga menyertakan rekomendasi untuk PepsiCo dan Nestle yang juga menjadi mitra usahanya, juga lembaga sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang hingga laporan ini dikeluarkan belum menyelesaikan keluhan yang diajukan terhadap Indofood atas pembiaran pelanggaran hak-hak buruh yang sudah berlangsung lama.
Rekomendasi juga ditujukan pada bank dan investor Indofood yang lamban menyikapi laporan tersebut––termasuk Bank Central Asia dan Bank Mandiri di Indonesia dan bank besar Jepang Mizuho Financial Group––berikut perusahaan pengolahan minyak kelapa sawit seperti Musim Mas dan Wilmar yang secara langsung maupun tidak langsung memasok minyak kelapa sawit dari Indofood. (mag)Delegasi Indonesia Tangkal Kampanye Negatif Sawit di Swiss
Senin, 02/10/2017 18:05 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Di tengah deraan kampanye hitam dan hambatan perdagangan non-tarif, terhadap produk sawit Indonesia. Indonesia terus gencar mempromosikan kelapa sawit kepada kalangan bisnis di sejumlah negara. Baru-baru ini tim bisnis Indonesia menggelar promosi dalam bentuk Indonesia Business Forum "Sustainable Palm Oil in Global Market" kepada masyarakat Swiss di Gedung Zunfthaus zur Meisen, Zurich (28/9).
Dengan difasilitasi KBRI Bern-Swiss, delegasi yang terdiri dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI), dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mereka menjelaskan kondisi sesungguhnya persawitan Indonesia.
Dihadapan sekitar 50 (lima puluh) wakil perusahaan terkemuka anggota Swiss Asian Chamber of Commerce (SACC), mereka menjelaskan kebaikan kelapa sawit dan melawan kampanye hitam dengan fakta ilmiah. Anggota SACC yang hadir diantaranya Migros-Genossenschafts-Bund, Syngenta Crop Protection AG, Nutriswiss AG, dan Association of Swiss Chocolate Manufacturers.
"Kelapa sawit adalah berkah Tuhan bagi negara-negara tropis, karena hanya tumbuh di sekitar 10 derajat utara atau selatan khatulistiwa," ujar Executive Director Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Mahendra Siregar saat presentasi, seperti dikutip kemlu.go.id.
Menurutnya tak heran jika Indonesia menguasai sekitar 55 persen produksi sawit dunia atau jauh meninggalkan Malaysia yang hanya 29 persen. Dituturkanya sawit menghasilkan 4-10 kali lebih banyak minyak per hektar dibandingkan dengan komoditas vegetables oil lainnya, seperti minyak rapeseed dan minyak bunga matahari yang merupakan komoditas khas Eropa.Ia menyebut di banyak negara Eropa, sawit mendapatkan tantangan kampanye hitam dan penolakan dari beberapa organisasi, dengan bermacam alasan, dari mulai deforestasi, ekosistem, hingga korupsi dan pelanggaran HAM.
Dirjen Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, menambahkan untuk selam ini Pemerintah Indonesia juga telah mewajibkan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sejak 2011 dengan melibatkan perwakilan dari pemerintah, LSM, akademisi, dan kalangan bisnis.
Sementara Paulus Tjakrawan dari Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) menyampaikan, dibandingkan produk vegetables oil lainnya, sawit adalah satu-satunya vegetables oil yang paling banyak sertifikasinya. Antara lain sertifikat yaitu CSPO (Certified Sustainable Palm Oil), ISCC (International Sustainability & Carbon Certification), ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil), dan MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil).
Harry Hanawi dari Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) juga mengungkapkan bahwa jika dilihat dari tinjauan kesehatan, minyak sawit terbukti memiliki kandungan vitamin A dan E lebih tinggi dibanding vegetables oil lainnya, tetapi sawit mengandung kolesterol lebih rendah.
"Dengan kata lain, tuduhan negatif terhadap sawit semata-mata merupakan strategi persaingan bisnis dari negara kompetitor," tutur Harry.
Dari presentasi itu, Barbara Möckli-Schneider dari Swiss Asia Chamber of Commerce (SACC) mengaku mendapatkan pencerahan yang sangat komprehensif tentang sawit yang selama ini cenderung negatif di Swiss. Ia mengatakan meskipun Swiss bukan merupakan anggota Uni Eropa (UE), tetapi kebijakan UE berpengaruh cukup besar terhadap kebijakan Swiss, mengingat UE merupakan mitra dagang utama Swiss.
Selain itu, pelarangan total penggunaan biofuel dari kelapa sawit oleh Norwegia pada Juni 2017 juga dikhawatirkan akan mempengaruhi Swiss, dimana Swiss bersama dengan Norwegia, Islandia, dan Liechtenstein merupakan anggota European Free Trade Association (EFTA) yang beroperasi secara pararlel dengan UE dan juga terlibat pada European single market.
Duta Besar RI untuk Swiss, Linggawaty Hakim dalam kesempatan itu menjelaskan, meskipun berada di tengah Eropa, Swiss mengadopsi pendekatan positif terhadap komoditas kelapa sawit khususnya dari Indonesia. "Alih-alih memboikot sawit seperti Norwegia, Swiss malah secara aktif menyalurkan bantuan pembangunan dan pembinaan bagi produksi berkelanjutan kelapa sawit di Indonesia."
Indonesia Business Forum di Zurich ini diadakan sebagai rangkaian kunjungan delegasi kelapa sawit Indonesia ke Swiss untuk tujuan utama mendobrak hambatan non-tarif dan diskriminasi terhadap sawit. Delagasi, pada tanggal 26-27 September 2017, juga menghadiri forum publik World Trade Organization (WTO) dan pertemuan dengan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) di Jenewa.
Diselenggarakannya acara ini diharapkan akan terjalin networking dan hubungan yg lebih erat dengan kalangan bisnis di Swiss. Selain juga untu meningkatkan pemahaman yang lebih baik dan benar tentang sawit serta meningkatkan ekspor minyak sawit Indonesia ke Swiss yang potensinya cukup besar. (rm)RUU Perkelapasawitan Masuk RUU Prioritas 2018
Kamis, 21/09/2017 16:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - RUU Perkelapasawitan dimasukkan Badan Legislasi DPR sebagai RUU Prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018. Anggota Baleg DPR Hamdhani mengatakan, ada beberapa alasan utama pentingnya RUU Perkelapasawitan ini.
"Di bidang sosial ekonomi, ingin memastikan kesejahteraan petani. Karena dalam RUU ini memprioritaskan PMDN. Sehingga ada serangkaian, insentif agar kelapa sawit menjadi maju, meningkatkan profesionalitas seluruh sektor di kelapa sawit, dari hulu hingga hilir, dan di bidang hukum, agar RUU Perkelapasawitan ini jadi jalan keluar terhadap carut marutnya perizinan," kata Hamdhani, seperti dikutip dpr.go.id, Rabu (20/9).
Politisi Partai Nasdem itu menegaskan, perkebunan kelapa sawit, di satu sisi memiliki manfaat secara nasional, misalnya sebagai komoditas paling produktif diantara komoditas lain, menyerap banyak tenaga kerja, serta menjadi komoditas andalan nasional. "Namun, di lain hal, perkebunan kelapa sawit kerap memberikan dampak buruk secara sosial atau lingkungan," ujar Hamdhani.
Anggota DPR dari daerah pemilihan Kalimantan Tengah ini juga tidak setuju jika RUU ini dinilai overlaping dengan UU Perkebunan. Karena UU Perkebunan itu mengatur 127 komoditi. Sementara itu, UU ini mengatur khusus tentang kelapa sawit.
"Untuk menyelesaikan perkelapasawitan perlu sebuah UU yang sifatnya lex specialis. Karena sawit itu sudah memberikan kontribusi terhadap negara berupa devisa yang jumlahnya Rp300 triliun per tahun atau sudah di atas penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi," katanya.
Selain itu, sawit itu juga terbukti bisa mengatasi kesenjangan ekonomi masyarakat di Pulau Jawa dan luar Jawa. Di sisi lain ada juga persoalan petani dan masyarakat adat yang perlu ditata ulang dan diatur karena banyaknya lahan milik masyarakat yang dihutankan kembali oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di Provinsi Kalimantan Tengah ini.
"Selain banyak permasalahan lahan milik petani di Kalteng statusnya belum jelas. Di sisi lain, yang namanya sawit ini dihadapkan pada kompetitor Malaysia yang sudah punya UU yang lebih rigid, sedangkan pasar CPO dunia itu yang menguasai Indonesia. Kalau kita tidak segera bikin regulasi, maka tak menutup kemungkinan kita akan digeser Malaysia sehingga potensi penerimaan negara akan mengalami penurunan," kata Hamdhani.Selain itu, menurut anggota Komisi IV DPR ini, RUU Perkelapasawitan akan mengatur hulu-hilir perkelapasawitan nasional. "Termasuk pemerintah itu harus punya grand startegy atau roadmap sawit nasional," pungkasnya. (mag)
Indonesia Dorong Pembangunan Industri Sawit Lestari
Selasa, 12/09/2017 07:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir menegaskan Indonesia sudah sejak lama telah memulai upaya membangun industri sawit lestari. Hal itu dilakukan mengingat kontribusi industri kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia. "Pemerintah Indonesia memiliki kepentingan untuk memastikan industri tersebut menerapkan prinsip-prinsip kelestarian," tegas Fachir saat membuka Seminar "CRC990: Towards Indonesian Sustainable Palm Oil" di Gedung Pancasila, Jakarta, (11/9), seperti dikutip kemlu.go.id.
Seminar tersebut diselenggarakan oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) bersama Kementerian Luar Negeri. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang industri sawit lestari Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil) serta sebagai salah satu upaya menangkal kampanye hitam sawit Indonesia.
Hadir dalam acara tersebut, Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Mahendra Siregar, dan Staf Ahli bidang Diplomasi Ekonomi Kementerian Luar Negeri Ridwan Hassan. Hadir pula Duta Besar dan Perwakilan negara-negara penghasil dan pengguna sawit Indonesia seperti Jerman, Italia, Kolombia dan Spanyol, serta lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang memiliki perhatian pada isu kelapa sawit.
Dalam kesempatan itu Fachir memaparkan, selama lima tahun terakhir, tiga perguruan tinggi di Indonesia yaitu Universitas Jambi (Unja), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Tadulako (Untad) Palu telah membentuk konsorsium riset dengan University of Göttingen, Jerman untuk mengintensifkan kajian mengenai sawit lestari. Kerja sama tersebut dinamakan Collaborative Research Center 990 (CRC 990): Ecological and Socioeconomic Functions of Tropical Lowland Rainforest Transformation Systems (Sumatra, Indonesia)/EFForTS.
Penelitian CRC 990 telah membuahkan 62 artikel ilmiah yang dipublikasikan di berbagai jurnal ilmiah internasional dan dapat dimanfaatkan untuk menangkal kampanye hitam terhadap sawit Indonesia. "Indonesia memandang serius kampanye negatif karena merupakan ancaman yang merugikan industri sawit. Saat ini, Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia," ujar Fachir.
Pada 2016, Indonesia menghasilkan lebih dari 35 juta ton minyak sawit dan 25 juta ton diantaranya di ekspor ke seluruh dunia. Nilai ekspor minyak sawit Indonesia mencapai lebih dari US$17 miliar, sekitar 12,32% dari total ekspor Indonesia.
Kampanye negatif terhadap minyak sawit Indonesia telah dimulai sejak 30 tahun yang lalu. Awalnya fokus kampanye negatif adalah isu kesehatan, namun kemudian melebar ke berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial dan lingkungan. Salah satu tantangan besar muncul saat Parlemen Uni Eropa mengadopsi resolusi mengenai minyak kelapa sawit dan deforestasi hutan hujan (palm oil and deforestation of rainforests) pada 4 April 2017.
Resolusi tersebut menyoroti hubungan sawit dengan deforestasi, kebakaran hutan, kerusakan ekosistem, serta menuding adanya pelanggaran HAM pada industri sawit. Selain Resolusi Parlemen Eropa tersebut, Parlemen Norwegia juga telah mengeluarkan resolusi yang pada intinya meminta Pemerintah Norwegia untuk sesegera mungkin mengeluarkan aturan terkait public procurement yang melarang pembelian dan penggunaan biofuel berbasis kelapa sawit dan produk-produk turunan dari kelapa sawit.
Karena itu, tegas Fachir, Kementerian Luar Negeri terus melakukan upaya total untuk mengatasi kampanye negatif sawit Indonesia melalui berbagai forum, baik dalam skala nasional maupun internasional. Salah satunya adalah dengan memberikan dukungan penuh dalam kegiatan Inaugural Ministerial Meeting of Palm Oil Producing Countries, yang akan diselenggarakan leh CPOPC di Nusa Dua, Bali, pada 1-3 November 2017. (mag)
Diplomasi Sawit Jokowi di KTT G20
Minggu, 09/07/2017 13:00 WIBJokowi juga menggunakan forum tersebut untuk melakukan diplomasi sawit khususnya ke negara-negara Eropa agar tak lagi melakukan kampanye negatif terhadap sawit Indonesia.
Perampasan Tanah dan Potret Industri Sawit
Sabtu, 13/05/2017 09:12 WIBMasalah lainnya, menurut Joko, resolusi parlemen Uni Eropa itu hanya berlaku untuk minyak sawit saja. Padahal ada banyak minyak nabati lain di Eropa, yang tentunya ikut berkontribusi pada deforestasi hutan.
PepsiCo Dituntut Tuntaskan Kasus Pekerja Anak
Jum'at, 12/05/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Serikat pekerja besar dunia Teamsters dan Asosiasi Pekerja Pangan, Pertanian, Hotel, Restoran, Katering, Tembakau Internasional (IUF) telah memberikan surat dukungan terhadap kampanye publik yang menyerukan lambatnya aksi PepsiCo menangani isu pelanggaran hak tenaga kerja yang terjadi selama bertahun-tahun dalam rantai pasok minyak kelapa sawitnya. Surat-surat dukungan tersebut muncul tepat pada saat PepsiCo melakukan Rapat Umum Pemegang Saham tahunan.
Dukungan itu juga diluncurkan seminggu setelah Rainforest Action Network (RAN) merilis laporan berjudul: "Profits over People and the Planet, Not ´Performance with Purpose´; Exposing PepsiCo’s Real Agenda". Laporan itu mengungkap adanya hubungan baru antara raksasa makanan ringan PepsiCo dengan enam importir terbesar kelapa sawit ke AS––dimana masing-masing importir tersebut memiliki catatan terkait skandal lingkungan dan sosial, meski para importir tersebut telah membuat komitmen yang ditujukan untuk mengatasi konflik dalam rantai pasok mereka.
Sekertaris Jendral IUF, Ron Oswald berkomentar, laporan tersebut menguatkan temuan mereka akan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa terjadi dalam rantai pasok minyak kelapa sawit PepsiCo. "Khususnya dalam usaha gabungan PepsiCo dengan Indofood. PepsiCo harus memenuhi kewajiban internasional untuk memastikan bahwa Indofood menyelesaikan tindakannya," ujarnya dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Jumat (12/5).
Laporan RAN menegaskan, PepsiCo secara sadar terus mengambil sumber minyak kelapa sawit dari pemasok yang tercatat melakukan eksplotasi pekerja dan pelanggaran atas hak tanah. Laporan tersebut juga menyajikan data baru ekspor bea cukai Indonesia pada November 2016, yang menunjukkan bahwa salah satu pemasok minyak kelapa sawit PepsiCo mengirimkan minyak kelapa sawit ke AS dari kilang dan pelabuhan yang diketahui memasok minyak kelapa sawit milik perusahaan perkebunan yang menghancurkan Ekosistem Leuser–yang penting bagi dunia.
Juru Kampanye Senior Rainforest Action Network (RAN) Robin Averbeck mengatakan, Teamsters dan IUF menyatakan dalam surat mereka, PepsiCo bertanggung jawab terhadap pekerjanya––baik yang berada di Amerika Serikat maupun pekerja pada rantai pasok perkebunan kelapa sawit. Para pekerja kelapa sawit tersebut membuat produksi produk PepsiCo menjadi mungkin.
"PepsiCo memiliki kewajiban moral untuk mengatasi kenyataan bahwa saat ini terdapat Kelapa Sawit Bermasalah pada rantai pasoknya, dan mungkin terkandung pada ratusan produknya di seluruh dunia, ini sebenarnya bisa mematikan bagi manusia dan planet ini," tegas Robin
Laporan tersebut mengungkap tren yang muncul akibat peningkatan impor minyak kelapa sawit ke AS dari Indonesia pada umumnya, khususnya beberapa fakta mengejutkan tentang penggunaan minyak kelapa PepsiCo, termasuk kenyataan bahwa perusahaan terus mengabaikan celah mitra usaha gabungannya Indofood dari kebijakan kelapa sawit PepsiCo.
PepsiCo masih terus bermitra dengan Indofood tanpa mempertimbangkan konsekuensinya, mengabaikan catatan penting keterlibatan Indofood dalam pelanggaran hak asasi manusia dan deforestasi, termasuk menggunakan pekerja anak dan menimbulkan konflik atas tanah. Institusi lain yang terkait dengan Indofood, termasuk Dana Pensiun Norwegia––salah satu dana kesejahteraan terbesar dunia––mulai menarik pembiayaan mereka dari perusahaan tersebut karena risiko ini.
Laporan tersebut juga menyebutkan individu dan institusi keuangan teratas, termasuk institusi besar seperti Vanguard, BlackRock, Bank of America, JP Morgan Chase dan TIAA yang mendukung dan mengambil keuntungan dari penggunaan Kelapa Sawit Bermasalah PepsiCo, mengungkap investor yang berisiko terhadap lingkungan, sosial dan tata kelola yang memperlambat reformasi pada rantai pasok kelapa sawit. (mag)