-
Pendapatan Turun, Daya Beli Lesu, Padat Karya Bisa Jadi Solusi
Selasa, 07/11/2017 13:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Ekonom dari PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengatakan menurunnya daya beli kelas menengah ke bawah disebabkan penurunan pendapatan riil. Pendapatan mereka tidak bertambah, namun harga kebutuhan-kebutuhan pokok mengalami peningkatan.
Dia menambahkan, puncak konsumsi yang jatuh setiap perayaan Hari Raya Lebaran juga sudah lewat, sehingga masyarakat membeli seadanya saja untuk memenuhi kebutuhan. "Golongan menengah bawah cenderung mengurangi spending (belanja) makanan dan minuman, tidak mengonsumsi barang durable goods karena penurunan pendapatan," kata Josua.
Hal itu dikatakan Josua menangapi data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengungkapkan, konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2017 tumbuh melambat ke angka 4,93%, bila dibandingkan tiga bulan sebelumnya 4,95%. Melambatnya konsumsi ini karena kelas menengah ke atas melakukan perubahan gaya belanja dan mengalihkan banyak uang ke tabungan atau investasi.
Turunnya daya beli ini juga diakui peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira. Dia mengatakan, tertekannya daya beli masyarakat kelas bawah bisa dilihat dari nilai tukar petani yang terus mengalami penurunan, dan upah buruh tani juga tergerus inflasi. "Kesimpulannya upah nominal masyarakat kelas bawah tidak bisa mengikuti kenaikan harga kebutuhan pokok," kata Bhima, Selasa (7/11).
Sedangkan untuk kelas menengah dan atas, kata Bhima, lebih banyak yang menahan konsumsi karena beragam penyebab, mulai dari kecemasannya melihat perkembangan ekonomi dunia, kondisi perpolitikan, hingga ketakutan akan pajak. "Gencarnya isu sara membuat sebagian pengusaha mengkalkulasi ulang risiko di 2018, kondisi ini sebenarnya kurang sehat bagi perekonomian kalau simpanan terus naik sementara kredit loyo," jelas dia.
Dari data uang beredar Bank Indonesia (BI) per September 2017, perolehan dana pihak ketiga (DPK) perbankan nasional tercatat Rp4.992 triliun meningkat 11,1% dibandingkan periode bulan sebelumnya Rp4.237 triliun.
Untuk DPK giro tercatat Rp1.110 triliun tumbuh 12% dibandingkan periode bulan sebelumnya Rp1.073 triliun. Kemudian DPK tabungan tercatat Rp1.592 triliun tumbuh 10,1% dibandingkan bulan sebelumnya Rp 1.562 triliun. Sedangkan untuk simpanan berjangka atau deposito tercatat Rp2.290 triliun atau tumbuh 11,3% dibandingkan periode bulan sebelumnya.
Pertumbuhan DPK terjadi pada seluruh jenis simpanan kecuali giro berdenominasi valas yang turun 5,5%. Sementara itu untuk DPK berdenominasi rupiah terakselerasi menjadi tumbuh 11,8% dari sebelumnya 9,8% yang terjadi pada seluruh jenis simpanan.
Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mendongkrak daya beli? Guru Besar Bidang Ekonomi Universitas Gadjah Mada Tony A Presetiatono, mengatakan pemerintah harus mengoptimalkan APBN-P 2017 dalam mendorong tingkat konsumsi masyarakat. "Optimalkan saja sisa APBN 2 tahun, disipilin belanja, ini akan tertransmisikan ke belanja rumah tangga," kata Tony.
Sementara Bhima mengatakan, di sisa waktu beberapa bulan sampai akhir 2017 pemerintah juga bisa mendorong penyaluran bantuan sosial atau bansos. "Untuk selamatkan daya beli, pemerintah harus segera dorong penyaluran. Bansos dan PKH (Program Keluarga Harapan)," kata Bhima.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya memastikan, di 2018 akan memulai program padat karya cash dengan mengandalkan alokasi dari dana desa yang sebesar Rp60 triliun. Program padat karya cash ini bertujuan mendorong daya beli masyarakat khususnya di kelas bawah dengan memanfaatkan alokasi dana desa.
Jadi, setiap alokasi dana desa yang diperuntukan sebagai modal membangun infrastruktur harus dilakukan dengan swakelola yang melibatkan masyarakat di desa tersebut, tidak lagi dipihakketigakan. Adapun, program padat karya cash ini juga akan mewajibkan pembayaran upah dilakukan secara harian atau mingguan. Sehingga, masyarakat memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya.
Terkait rencana ini, Bhima mengatakan, pemerintah perlu memastikan implementasi program padat karya cash ini berjalan dengan lancar. Sebab, kata Bhima, dua tahun ke depan masuk tahun politik, di mana ada pelaksanaan Pilkada serentak di 2018, dan pemilihan umum (pemilu) presiden di 2019. "Jadi ini bagus, tapi perlu kesiapan perencanaan dan jangan sampai dipolitisasi," kata Bhima.
Menurut Bhima, kebijakan program pada karya cash juga perlu pengawasan yang ketat agar tujuan padat karyanya itu bisa tercapai. Pengawasan bisa melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), dan auditor independen di hampir 74 ribu desa. "Jadi seluruh prosedur pencairan dana desa untuk program padat karya juga perlu diawasi lintas sektoral," ungkap dia.
Sementara, Tony mengatakan, perogram padat karya bagus untuk kelas bawah namun tidak mempengaruhi kelas menengah ke atas yang ternyata memang menahan konsumsinya. "Itu (padat karya cash) bagus untuk kalangan bawah, tapi menurut saya, masalahnya terletak di lapisan menengah ke atas, mereka yang dominan di DPK perbankan," kata Tony.
Kelas menengah ke atas menahan belanja lantaran kondisi perekonomian global yang masih dihantui ketidakpastian, sehingga anggaran belanja dialokasikan kepada sektor perbankan, yakni Dana Pihak Ketiha (DPK). Selanjutnya, menahannya konsumsi kelas menengah atas juga dikarenakan aktivitas pemerintah yaitu dalam hal melakukan penarikan pajak.
"Ini menimbulkan sebagian masyarakat mengerem konsumsi, ini merupakan hal yang tak terbayangkan dan tak terantisipasi sebelumnya," ungkap Tony.
Oleh karenanya, untuk mendorong daya beli masyarakat kelas bawah dengan program padat karya cash sudah tepat. "Makanya pemerintah harus disiplin anggaran, jangan sampai tidak terserap," tukas Tony.
Hal senada juga disampaikan Josua Pardede. Dia percaya, program padat karya cash ini akan mampu mendorong tingkat konsumsi atau daya beli masyarakat khususnya kelas bawah yang saat ini tengah tertekan. "Saya sepakat dengan program tersebut daripada pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai)," kata Josua.
Dia melanjutkan, program padat karya cash juga akan menyerap tenaga kerja dalam skala besar dan dengan sistem pengupahan harian atau mingguan akan mendorong konsumsi masyarakat. "Kebijakan ini perlu dilaksanakan secara serentak dan diprioritaskan bagi daerah/provinsi yang masih mencatatkan tingkat pengangguran yang tinggi," tambah dia. (dtc)Dongkrak Daya Beli, Jokowi Siap Luncurkan Program Padat Karya Tunai
Selasa, 31/10/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya jurus sendiri untuk mendongkrak daya beli masyarakat yang akhir-akhir ini melemah. Bukannya meluncurkan program bantuan langsung tunai (BLT), Jokowi justru akan meluncurkan padat karya yang bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Jokowi memerintahkan bayaran proyek tersebut harus tunai. Dia pun saat ini sedang menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk proyek tersebut. "Perpres akan keluar pada Januari 2018," kata Jokowi, dalam pertemuan dengan para Pemimpin Redaksi (Pemred) media massa, di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka, Jakarta, Senin (30/10).
Jokowi memerintahkan Kementerian Desa Transmigrasi dan Daerah Tertinggal, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Pertanian, untuk menyiapkan aturan teknis proyek padat karya tersebut secara lebih detil. Yang jelas, dalam proyek padat karya tersebut, honor untuk pekerjanya harus dibayarkan secara harian dan tunai.
"Harus dibayar langsung tunai. Mingguan, atau kalau bisa harian, tidak boleh bulanan. Agar ada imbas memperkuat daya beli," tegas Jokowi.
Untuk Kementerian Desa, Jokowi menginstruksikan agar proyek padat karya tersebut minimal bisa menyedot 200 tenaga kerja di setiap desa. Perlu diketahui, jumlah desa di Indonesia saat ini ada 74 ribu desa dan dana desa untuk 2018 sebesar Rp60 triliun.
Dengan demikian, belasan juta tenaga kerja diharapkan akan terserap lewat proyek padat karya Kementerian Desa saja, belum kementerian yang lain. "Bila dihitung 200 tenaga kerja kali 74 ribu desa, ada hampir 15 juta sendiri tenaga kerja yang terserap," papar Jokowi.
Jokowi juga menegaskan, tidak akan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) seperti yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelumnya, sebagai cara instan untuk mengatrol daya beli masyarakat. "Enggak. Enggak akan beri BLT," tegas Jokowi. (dtc/mag)Isu Penurunan Daya Beli Gorengan Politik atau Nyata?
Kamis, 05/10/2017 09:00 WIBBhima menyarankan agar pemerintah lebih baik mengakui pelemahan daya beli tersebut, ketimbang harus membawa ke ranah politik.
Empat PR Pemerintah Tingkatkan Daya Saing Nasional
Kamis, 28/09/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah saat ini memiliki empat pekerjaan rumah serius dalam upaya meningkatkan daya saing nasional di tingkat global. Laporan Global Competitiveness Index (GCI) menunjukkan, daya saing Indonesia stagnan selama 3 tahun terakhir.
"Ada empat PR serius pemerintahan Presiden Jokowi yang harus dituntaskan di periode 2014-2019 mendatang," ujar Peneliti Wiratama Institute, Muhammad Syarif Hidayatullah dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (28/9).
Merespons Laporan Global Competitivenss Index yang dipublikasikan pada Rabu (27/9) itu, Syarif mengatakan, pada tahun 2014 daya saing Indonesia berada pada peringkat 34 dan melorot ke peringkat 36 pada tahun 2017. Dan jika dibandingkan tahun 2016 lalu, memang ada sedikit perbaikan atau naik 5 peringkat.
"Tetapi hal itu lebih seperti penebusan karena memburuknya daya saing nasional semenjak tahun 2014 lalu," papar Syarif.
Syarif menyebutkan keempat pekerjaan rumah serius yang harus dituntaskan pemerintah. Pertama, masalah korupsi dan birokrasi menjadi dua hal utama yang selalu dikeluhkan oleh banyak pihak. Sehingga hal itu menjadi pekerjaan rumah utama pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
Kedua, lanjut Syarif, berdasarkan parameter GCI isu health and primary education dan labour market efficiency juga menjadi dua hal yang melemahkan daya saing. Secara berturut-turut kedua isu tersebut menempati peringkat 94 dan 96. Khusus pada indikator health and primary education, katanya lagi, peringkat Indonesia menurun drastis dari 74 pada tahun 2014, menjadi peringkat 92 pada tahun 2017.
Ketiga, isu fleksibilitas upah dan partisipasi perempuan juga menjadi hal utama. Terkait partisipasi perempuan dalam dunia kerja, ungkap Syarif, juga perlu menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya, tingkat partisipasi Angkatan Kerja Perempuan sudah mengalami stagnansi selama beberapa tahun terakhir.
"Pemerintah perlu melakukan intervensi, seperti memperketat pengawasan untuk menghindari diskriminasi gender di dunia kerja, mendorong perusahaan memiliki ruang laktasi, subsidi untuk penitipan anak, pelatihan khusus untuk pekerja perempuan," tuturnya.
Keempat, hal yang menarik adalah stagnannya peringkat infrastruktur Indonesia. Jika dibanding tahun 2016 lalu memang tercatat ada peningkatan terjadi hingga 8 peringkat. Akan tetapi, apabila dibandingkan tahun 2014 yang berada di peringkat 56, maka cenderung stagnan sebab secara score hanya ada kenaikan sebesar 0.1.
"Hal ini menjadi anomali mengingat Pemerintah acapkali klaim pembangunan infrastruktur besar-besaran. Sebagai pembanding, pada periode kedua Presiden SBY peringkat Indonesia meningkat tajam dari posisi 82 pada tahun 2009, menjadi peringkat 56 pada tahun 2014, dimana score infrastruktur Indonesia meningkat dari 3,2 menjadi 4,4," ungkap Syarif menambahkan.
Ia melanjutkan, selama ini pemerintah selalu menyebutkan kenaikan alokasi yang begitu besar, faktanya realisasi di lapangan sering jauh dari target. "Contohnya, untuk realisasi belanja modal pada tahun 2016 itu hanya sebesar Rp160 triliun atau hanya 78%. Angka itu bahkan di bawah realisasi tahun 2013 yang sebesar Rp180 triliun," pungkasnya. (mag)
Ini Empat Hal Penyebab Tutupnya Perbelanjaan di Jakarta
Senin, 18/09/2017 08:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Sarman Situmorang fenomena tutupnya banyak tempat perbelanjaan di Jakarta terjadi akibat empat hal. Pertama adalah turunnya daya beli masyarakat. Berikutnya adalah persaingan yang semakin ketat serta serangan barang impor.
Soal daya beli masyarakat, menurut Sarman ada penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, yang asal usulnya bersumber dari ketidakstabilan perekonomian nasional. Ekonomi hanya mampu tumbuh sekitar 5%. "Dengan demikian pendapatan masyarakat juga tidak memiliki kenaikan sehingga masyarakat semakin selektif dan menghemat membelanjakan uangnya," ujar Sarman dalam keterangan tertulis, Minggu (17/9).
Kedua adalah soal persaingan antar pusat perbelanjaan yang semakin ketat. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan kawasan properti di wilayah baru.
"Tumbuhnya pasar properti dengan pembangunan berbagai kawasan perumahan, kawasan perkantoran dan apartemen selalu dibarengi dengan adanya pusat perbelanjaan, mini market dan toko-toko, sehingga para penghuninya dalam memenuhi kebutuhannya tidak perlu keluar lagi berbelanja," paparnya.
Ketiga menurut Sarman yaitu akibat banyaknya masuk barang-barang atau produk asing yang sejenis, baik secara legal maupun ilegal. Harga yang lebih murah menjadi pilihan bagi konsumen.
Keempat, pasar e-commerce. Berdasarkan data yang didapatkan oleh Sarma baru sekitar 29% atau sekitar 26,3 juta jiwa masyarakat yang menjadi konsumen dalam pasar tersebut. Artinya memang belum dianggap sebagai penyebab atas fenomena sekarang, namun harus tetap diantisipasi ke depannya.
"Kepada para pedagang yang memiliki toko di pusat-pusat perbelanjaan agar lebih kreatif dan inovatif melihat perkembangan teknologi dan psikologi pasar dan konsumen yang harus dapat menyesuaikan atau beradaptasi sehingga mampu bertahan," ujarnya. (dtc/mag)
Fahri Hamzah: Pemerintah tak Mampu Membaca Dinamika Ekonomi Rumah Tangga
Selasa, 15/08/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, pemerintah tidak mampu membaca dinamika ekonomi rumah tangga atau individu secara keseluruhan. Hal itu dibuktikan dengan masih mudah ditemukannya kemiskinan di berbagai daerah terpencil di Indonesia. Selama ini, kata Fahri, penilaian atas capaian pemerintah yang selalu mengandalkan data makro sebagai rujukan capai pembangunan.
Menurut Fahri, diperlukan ragam indikator baru untuk membaca tingkat kesejahteraan rakyat yang lebih konkret, dan dalam dua tahun ini, menurut Fahri, dia tengah menyusun kerangka tersebut. "Kami sedang menyusun atau membangun indikator kesejahteraan rakyat yang lebih konkrit. Kita sedang diskusi selama dua tahun dalam menyusun kerangka. Seiring berjalan waktu banyak yang diupdate," ujar Fahri dalam acara Coffee Morning dengan tema ‘Menurunnya Daya Beli Masyarakat’ di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (14/8) seperti dikutip dpr.go.id.
Fahri mengatakan, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,01 persen di kuartal dua tidak sejalan dengan tingkat daya beli masyarakat yang menurun. Karena itu, Fahri menyebut ada satu anomali yang terjadi dalam konsumsi masyarakat. "Hari ini kita menemukan satu persoalan tengah ramai yaitu perdebatan yaitu menurunnya daya beli yang dibandingkan dengan angka makro," ungkap Fahri.
Meskipun seringkali pemerintah meliris optimisme kinerja makro ekonomi, namun hal itu nampaknya tidak berdampak banyak terhadap fakta lapangan yang menurut kacamata mikro sangat mudah kemiskinan dijumpai di pelosok daerah. Fahri Hamzah mengaku, dia berkomitmen ingin membuat sebuah metode penghitungan kesejahteraan untuk masyarakat yang lebih konkret melihat kenyataan real.
"Kita sedang memotret kenapa kinerja makro sering gagal membaca dinamika rumah tangga atau individu masyarakat kita. Nah kita fokus pada penurunan daya beli," tegas Fahri.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Komisi IX Saleh P. Daulay. Dia mengungkapkan, usai berkeliling ke daerah pemilihan, masih sangat mudah menemukan kemiskinan. Alokasi dana dari pusat ke daerah dinilai tidak mampu menciptakan kesejahteraan dan daya beli baru, sehingga hal ini menjadi pertanyaan besar tentang sistem kerja pemerintah.
"Uang sudah banyak habis tapi kok tingkat pendapatan rendah. Dana desa Rp800 juta tidak menciptakan lapangan kerja baru. Ini tidak menciptakan kesejahteraan yang mencipatakan daya beli baru," ujar Saleh. (mag)
Penurunan Daya Beli Bukan Mitos
Minggu, 30/07/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menegaskan, penurunan daya beli masyarakat memang nyata terjadi dan bukan sebuah mitos. Penurunan daya beli ini, kata Faisal, yang menjadi penyebab terjadinya kelesuan ekonomi saat ini.
Data yang diterbitkan BPS menunjukkan, selama lebih dari satu tahun terakhir terjadi penurunan pendapatan riil, khususnya masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perkotaan. "Buruh bangunan, misalnya, meski secara nominal rata-rata upah mereka mengalami kenaikan, tapi inflasi yang selama semester pertama 2017 mencapai 2,4 persen membuat pendapatan riil mereka tergerus 1,4 persen," kata Faisal dalam keterangan pers yang diterima gresnews.com, Minggu (30/7).
Ini sekaligus mematahkan argumen pemerintah bahwa inflasi tahun ini terkendali. "Benar bahwa inflasi bahan pangan (volatile food) tahun ini sangat rendah, tapi kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang diatur oleh pemerintah (administered prices) seperti tarif dasar listrik, gas elpiji, dan lain lain, justru mendorong inflasi selama 6 bulan pertama tahun ini lebih tinggi dua kali lipat dibanding inflasi di periode yang sama tahun lalu," terang Faisal.
Faisal menegaskan, penurunan penjualan di banyak sektor bukan hanya disebabkan oleh melemahnya daya beli, apalagi oleh golongan berpendapatan bawah yang memang daya belinya lemah. "Penyebab yang lebih penting adalah lantaran golongan kelas menengah menahan belanjanya (delayed purchase). Buktinya, kalau kita melihat data pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan selama 9 bulan terakhir sebenarnya meningkat," ujarnya.
Namun peningkatan DPK ini terjadi pada simpanan jangka panjang (deposito) dan giro, sebaliknya DPK dalam bentuk tabungan jangka pendek melambat. "Artinya, mereka yang menyimpan uang bank cenderung untuk semakin membatasi belanjanya dalam waktu dekat," papar Faisal.
Pertumbuhan DPK dalam valuta asing dalam 9 bulan terakhir juga jauh lebih cepat daripada dalam Rupiah. Ini terjadi sejalan dengan perbaikan ekonomi dunia dan peningkatan harga sejumlah komoditas andalan Indonesia yang mendorong aktivitas ekspor-impor dalam 9 bulan terakhir. Sayangnya, peningkatan pendapatan tersebut tidak lantas ditransmisikan ke konsumsi di dalam negeri.
Mengapa? Salah satu alasannya adalah berkurangnya optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi. Hasil survei Bank Indonesia di bulan Juni menunjukkan kembali melemahnya indeks ekspektasi dan kepercayaan konsumen terhadap kondisi ekonomi dan daya beli selama 6 bulan ke depan, meskipun sempat menguat di awal tahun.
Faisal juga memaparkan, maraknya e-commerce memang berperan terhadap berkurangnya pelanggan di pertokoan dan pusat perbelanjaan. "Tapi kalaulah hanya itu penyebabnya, maka semestinya dampaknya hanya pada sisi hilirnya, yaitu para retailers, tidak sampai ke hulu (produsen). Namun faktanya, bukan hanya pertokoan dan mal-mal, tetapi pabrik-pabrik pengolahan juga menahan produksi," ujarnya.
Perlambatan produksi sudah terjadi di banyak industri, mulai dari industri pakaian, peralatan listrik, sepeda motor, farmasi, plastik, bahkan juga sudah merambah ke sejumlah industri makanan dan minuman. "Artinya, bukan hanya cara membelinya yang bergeser, tetapi permintaan juga melemah, sehingga produksi pun terpaksa ditahan, bahkan dikurangi," katanya.
"Kita semua tentu sangat tidak berharap terjadi penurunan daya beli dan kelesuan ekonomi, namun sebagai analis dan akademisi kita harus menyampaikan fakta dengan jujur agar kebijakan pemerintah yang sedang giat mendorong ekonomi tidak misleading," pungkas Faisal. (mag)
Salah Kebijakan Memperlemah Daya Beli
Rabu, 19/08/2015 15:00 WIBDari data-data yang ada menunjukkan penjualan mobil dan sepeda motor turun. Penjualan semen juga turun begitu pula bisnis ritel. Tapi itu semua tidak otomatis menggambarkan pendapatan rakyat keseluruhan turun.
SBY: Membaiknya daya beli ciptakan peluang ekonomi
Senin, 02/01/2012 19:44 WIBPresiden juga mengimbau untuk terus meningkatkan produksi dan terus menggali serta menciptakan peluang baru dalam perekonomian dunia, utamanya bagi usaha sektor pangan. "Ini merupakan peluang bagus," kata SBY.