JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, pemerintah tidak mampu membaca dinamika ekonomi rumah tangga atau individu secara keseluruhan. Hal itu dibuktikan dengan masih mudah ditemukannya kemiskinan di berbagai daerah terpencil di Indonesia. Selama ini, kata Fahri, penilaian atas capaian pemerintah yang selalu mengandalkan data makro sebagai rujukan capai pembangunan.

Menurut Fahri, diperlukan ragam indikator baru untuk membaca tingkat kesejahteraan rakyat yang lebih konkret, dan dalam dua tahun ini, menurut Fahri, dia tengah menyusun kerangka tersebut. "Kami sedang menyusun atau membangun indikator kesejahteraan rakyat yang lebih konkrit. Kita sedang diskusi selama dua tahun dalam menyusun kerangka. Seiring berjalan waktu banyak yang diupdate," ujar Fahri dalam acara Coffee Morning dengan tema ‘Menurunnya Daya Beli Masyarakat’ di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (14/8) seperti dikutip dpr.go.id.

Fahri mengatakan, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,01 persen di kuartal dua tidak sejalan dengan tingkat daya beli masyarakat yang menurun. Karena itu, Fahri menyebut ada satu anomali yang terjadi dalam konsumsi masyarakat. "Hari ini kita menemukan satu persoalan tengah ramai yaitu perdebatan yaitu menurunnya daya beli yang dibandingkan dengan angka makro," ungkap Fahri.

Meskipun seringkali pemerintah meliris optimisme kinerja makro ekonomi, namun hal itu nampaknya tidak berdampak banyak terhadap fakta lapangan yang menurut kacamata mikro sangat mudah kemiskinan dijumpai di pelosok daerah. Fahri Hamzah mengaku, dia berkomitmen ingin membuat sebuah metode penghitungan kesejahteraan untuk masyarakat yang lebih konkret melihat kenyataan real.

"Kita sedang memotret kenapa kinerja makro sering gagal membaca dinamika rumah tangga atau individu masyarakat kita. Nah kita fokus pada penurunan daya beli," tegas Fahri.

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Komisi IX Saleh P. Daulay. Dia mengungkapkan, usai berkeliling ke daerah pemilihan, masih sangat mudah menemukan kemiskinan. Alokasi dana dari pusat ke daerah dinilai tidak mampu menciptakan kesejahteraan dan daya beli baru, sehingga hal ini menjadi pertanyaan besar tentang sistem kerja pemerintah.

"Uang sudah banyak habis tapi kok tingkat pendapatan rendah. Dana desa Rp800 juta tidak menciptakan lapangan kerja baru. Ini tidak menciptakan kesejahteraan yang mencipatakan daya beli baru," ujar Saleh. (mag)

BACA JUGA: