JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai kondisi perekonomian saat ini baik-baik saja. Kalau pun belakangan muncul isu penurunan daya beli masyarakat maka ada pihak yang memainkan isu tersebut untuk kepentingan politik tahun 2019.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan pernyataan Presiden Jokowi terkait daya beli masyarakat yang dijadikan banyak pihak sebagai alat politik lantaran mendekati 2019. Menurut Sri Mulyani, jika dilihat dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang secara kumulatif hingga September 2017, tumbuh sekitar 14%. Ini menandakan bahwa penerimaan dari semua sektor masih dalam jalur yang positif.

"Dari semua sektor produksi mulai menunjukkan kegiatan positif. Kami harap ini menunjukkan dalam bentuk masyarakat yang kesempatan kerjanya naik," kata Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (4/10).

Pada dasarnya PPN merupakan instrumen pajak atas transaksi perdagangan. Semakin tinggi PPN artinya, transaksi perdagangan yang terjadi di tengah masyarakat juga makin besar alias masyarakat banyak belanja.

Lanjut Sri Mulyani, dari statistik PPN yang naik 14% juga menandakan adanya kenaikan sisi upah dari para pekerja di Indonesia. Dengan begitu, maka daya beli juga menjadi naik.

"Dilihat dari statistik di dua kuartal di mana kesempatan kerja tercapai dan kenaikan dari sisi upah. Itu akan meningkatkan daya beli," tambah dia. Pemerintah, ke depannya tetap menjaga stabilitas harga-harga komoditas yang berpengaruh langsung terhadap daya beli masyarakat.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah punya pesan untuk Jokowi terkait hal ini. Fahri menegaskan ada yang ingin menjatuhkan Jokowi saat ini dengan memakai isu-isu liar, termasuk soal penurunan daya beli masyarakat. Namun, Fahri memandang memang ada yang mengincar kursi Jokowi melalui Pemilu 2019 mendatang.

"Ya Pak Jokowi jangan menganggap dia nggak punya musuh politik, salah juga dia menganggap orang tidak ingin berkuasa setelah dia, salah juga," ujar Fahri di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (4/10).

"Kalau dia berfikir bahwa setelah 2019 nggak akan ada orang yang berminat dengan kursinya, itu salah juga. Pasti orang ada minat dan semua orang," terang Fahri.

Soal isu daya beli masyarakat yang turun, Fahri menyebut itu merupakan pernyataan dari jajaran kabinet. Fahri mengatakan daya beli masyarakat tak mengalami penurunan.

"Bukan penurunan daya beli, tapi relokasi cara belanja karena perubahan lifestyle karena terjadi pertumbuhan belanja di sektor pariwisata dan kurang di sektor belanja-belanja sehari-hari. Ini omongan kabinet," ucap Fahri.

"Makanya saya bilang hati-hati karena kabinet sendiri menjadi produsen dari berita berita hoax gitu," imbuhnya.

Jokowi bicara hal di atas dalam pidato penutupan Rapat Koordinasi Nasional Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) 2017 di Ballroom Hotel Ritz-Carlton Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (3/10). Ratusan pengusaha berkumpul menyimak pidato Jokowi.

Jokowi memaparkan data-data. Misalnya nilai pertanian naik 23 persen dibanding tahun lalu. Entah nilai hasil pertanian, hasil nilai ekspor, atau nilai spesifik lainnya, Jokowi tidak menjabarkan lebih rinci. Nilai konstruksi terbilang turun dibanding tahun lalu soalnya Jokowi memang menurunkan pajak final.

"Angka-angka seperti ini gimana? Masak angka-angka ini (Anda) nggak percaya?" ujar Jokowi.

Angka-angka tersebut menunjukkan isu daya beli turun sebenarnya kurang tepat. Di sinilah Jokowi menyatakan sebenarnya pembikin isu ini sebenarnya adalah ´orang politik´.

"Angka-angka seperti ini kalau nggak saya sampaikan nanti isunya hanya daya beli turun-daya beli turun. Saya lihat yang ngomong siapa tho? Oh, orang politik. Ya sudah nggak apa-apa," kata Jokowi disambut tawa seisi ruangan.

Bila saja yang mengembuskan isu itu adalah pebisnis, Jokowi tak akan keberatan untuk mengajak berdiskusi. Tapi karena yang mengembuskan isu itu adalah orang politik, Jokowi memaklumi dan membiarkan saja.

"Orang politik tugasnya seperti itu kok, membuat isu-isu untuk 2019. Sudah, kita blak-blakan saja. Orang 2019 tinggal setahun," kata Jokowi santai, semua tertawa.

BANTAHAN GERINDRA DAN DEMOKRAT - Sejumlah partai yang bukan koalisi pemerintah pun menepis pernyataan Jokowi. Waketum Gerindra Arief Poyuono menyebut Jokowi asal bicara alias ngawur. "Pernyataan yang sangat ngawur kalau menuduh lawan politiknya yang menyebarkan isu daya beli menurun," kata Arief di Jakarta, Rabu (4/10).

Menurut Arief, Jokowi seperti lari dari kenyataan dengan melempar pernyataan seperti itu. Arief mengatakan ukuran daya beli masyarakat dipatikan dirilis oleh institusi pemerintah melalui survei angka-angka di lapangan, seperti BPS dan Bank Indonesia, setiap triwulan.

"Nah kalau dikatakan daya beli menurun akibat beralihnya sistem pembelian barang dan jasa ke online, juga ngawur. Apalagi kok yang dipakai kenaikan usaha jasa pengiriman barang jasa JNE dan Pos Indonesia," ucap Arief.

Pernyataan soal daya beli yang dipolitisasi, dipandang Arief, sebagai bentuk ketakutan Jokowi menjelang Pilpres 2019. Arief pun meminta Jokowi bicara berlandaskan data.

"Jadi kalau Joko Widodo sudah menuduh lawan politiknya dengan isu daya beli turun dan menyebabkan elektabilitas turun, terkesan Joko Widodo udah ketakutan. Coba cek ke BPS, tingkat kemiskinan makin turun apa naik? Joko Widodo ngomong pakai data dong, jangan asal nuduh ya," beber Arief.

Wakil Ketua Dewan Pembina Demokrat Agus Hermanto menegaskan daya beli masyarakat di zaman Jokowi memang mengalami penurunan. Agus lalu membandingkan daya beli masyarakat pada zaman Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono.

"Daya beli masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah, itu saat ini dan seterusnya mulai menurun, mulai dari pemerintahan Pak Jokowi. Memang ini kan tidak bisa dibilang dengan rasa-rasanya, dengan perasaan, kan ada indikator ekonomi," ujar Agus di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (4/10).

Agus mengatakan indikator tersebut menunjukkan dengan jelas laju pertumbuhan ekonomi di era Jokowi turun. Agus membandingkan laju ekonomi saat ini dengan masa Susilo Bambang Yudhoyono.

"Zaman pemerintahan Pak SBY, laju pertumbuhan ekonomi 6 persen, bahkan sampai 7 persen. Sekarang ini 4-5 persen. Ini adalah indikator-indikator ekonomi," jelas Agus.

"Kalau daya beli masyarakat adalah efek daripada penurunan laju pertumbuhan ekonomi, kenapa laju pertumbuhan ekonomi ini menurun? Karena salah satunya daya beli masyarakatnya menurun," imbuh Agus.

Jika Jokowi mengatakan isu daya beli masyarakat yang turun merupakan jualan politik menjelang Pilpres 2019, Agus meminta Jokowi membuktikan ucapannya. Agus yakin daya beli masyarakat saat ini memang mengalami penurunan.

"Silakan buktikan bahwa saat ini laju pertumbuhan ekonomi kita menurun. Income per kapita kita kan juga menurun, bahkan yang naik kan utang. Dalam artian utang, seharusnya dengan kenaikan utang akan membuat pertumbuhan ekonomi jadi lebih baik, yang berarti laju pertumbuhan ekonomi menjadi baik," ucap Agus.

"Ini jadi perhatian menteri-menteri yang ada dalam perekonomian. Kita utang nambah, tapi laju pertumbuhan ekonomi nggak nambah," imbuhnya.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira membantah beberapa asumsi yang digunakan pemerintah untuk menunjukkan kekuatan daya beli masyarakat. Seperti realisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tumbuh 14% hingga September 2017.

Pada dasarnya PPN merupakan instrumen pajak atas transaksi perdagangan. Semakin tinggi PPN artinya, transaksi perdagangan yang terjadi di tengah masyarakat juga makin besar alias masyarakat banyak belanja.

"Soal PPN yang naik sampai 14% perlu dicermati apakah ada kenaikan transaksi atau sekedar peningkatan kepatuhan paska tax amnesty dan pemberlakuan e-faktur," ujar Bhima, Rabu (4/10).

Asumsi lainnya adalah peralihan cara belanja masyarakat menuju online, sehingga banyak ritel tradisional mengalami penurunan yang signifikan, bahkan tutup.

"Soal daya beli masyarakat yang sedang turun bukan karena diakibatkan oleh shifting ke online. Memang pertumbuhan bisnis e-commerce sedang meningkat tapi porsinya masih kecil atau kurang dari 1% dari total transaksi ritel nasional. Meskipun ada laporan logistik meningkat tinggi dan omset perusahaan e-commerce ada yang naik 200% tetap saja tidak menggambarkan kondisi nasional," terang Bhima.

Bhima sampai pada kesimpulan bahwa, pelemahan daya beli benar terjadi. Ini dikarenakan kondisi ekonomi yang semakin memburuk.

"Kesimpulannya dari pertumbuhan konsumsi yang rendah selama 1 semester terakhir, penjualan ritel dan mal yang sepi, faktor utamanya karena ekonomi sedang kurang sehat," kata.

Bhima menyarankan agar pemerintah lebih baik mengakui pelemahan daya beli tersebut, ketimbang harus membawa ke ranah politik. "Saran saya Pemerintah sebaiknya mengakui bahwa ada permasalahan daya beli di tengah masyarakat. Kemudian kita gotong royong memberikan solusi yang konstruktif. Ketimbang pemerintah terus denial atau menolak fakta dan melihat isu daya beli sebagai komoditas politik," tegasnya. (dtc)

BACA JUGA: