JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membuka fakta penting bahwa kasus dugaan suap yang berawal dari penangkapan Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Edy Nasution dan selanjutnya merembet kepada dugaan keterlibatan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, berkaitan dengan "pengurusan" perkara perusahaan Grup Lippo di MA.

Kendati menyebut masih ada dugaan keterkaitan suap dengan pengurusan perkara lain, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menyebutkan salah satu perkara yang diduga berkaitan dengan pemberian suap itu adalah perkara Peninjauan Kembali (PK) antara PT First Media Tbk (KBLV) dan PT Direct Vision melawan Astro Group (perusahaan induk asal Malaysia). "Iya, benar itu salah satu kasusnya (PK Lippo Group melawan Astro), yang lain sedang didalami," kata Syarif, kemarin.

Sebelumnya gresnews.com telah melansir berita yang intinya menduga keterkaitan antara kasus suap Edy dan "pengurusan" perkara perusahaan Lippo Group di tingkat MA. Sumber gresnews.com di MA dan KPK mengungkapkan fakta itu. Bahkan sumber di MA menyebutkan sudah menjadi rahasia umum tentang adanya kedekatan khusus antara Nurhadi dengan eksekutif puncak Lippo Group.

BACA: Rumor Lippo di Balik Kasus Suap Panitera PN Jakpus

Sumber di KPK mengungkapkan pemberian Rp50 juta kepada Edy yang jadi barang bukti saat operasi tangkap tangan (OTT) KPK adalah hanya untuk urusan administrasi permohonan PK di PN Jakpus. Sementara pemberian Rp100 juta di Hotel Acacia, Kramat, pada Desember 2015, adalah uang muka untuk urusan perkara lain. Sedangkan uang berjumlah miliaran rupiah yang didapat dari penggeledahan di kediaman Nurhadi di Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, adalah untuk urusan perkara yang lain lagi. "Jadi ada yang melalui perantara (Edy), ada yang langsung (Nurhadi). Tidak hanya urusan satu perkara," kata sumber tersebut.

Sebagai catatan, selain Edy, penyidik KPK juga menangkap seseorang bernama Doddy Aryanto Supeno, yang disebut-sebut pihak swasta dari PT Paramount Enterprise International (Paramount Group). Sementara itu kantor Paramount di Gading Serpong sudah digeledah KPK.

Bagaimana keterkaitan antara Paramount dan Lippo?

Wakil Ketua KPK Thony Saut Situmorang kemarin menyatakan penangkapan Edy dan Doddy hanyalah "gunung es". Keduanya hanya perantara. Ada perkara lebih besar di balik itu semua.

"Saya selalu bilang, melihat sesuatu itu jangan lihat permukaannya saja tapi di bawahnya. Korupsi tidak pernah berdiri sendiri," kata Saut yang mantan staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) itu.

Kata Saut, media seharusnya bisa menangkap ke arah mana kasus ini akan bergulir. "Kalau kalian (wartawan) bisa nangkap sinyal itu ya tangkaplah. Kalau tidak bisa tangkap, gak usah nulis kalian," tuturnya.

BACA: Sinyal KPK Jerat Konglomerat di Balik Suap Pansek PN Jakpus

Gresnews.com melakukan penelusuran dan menanyai berbagai sumber. Pengendali Paramount Group adalah Elizabeth Sindoro. Dia mengambil alih kendali perusahaan dari mantan suaminya, Handiman Tjokrosaputro, yang meninggal dunia. Majalah Globe Asia 2014 menobatkan Elizabeth dalam daftar 150 orang terkaya Indonesia dengan total kekayaan US$255 juta (Rp3,35 triliun).

Sementara itu, adik Elizabeth, Eddy Sindoro, adalah Chairman Paramount Enterprise International. Sebelumnya Eddy pernah menjabat sejumlah posisi direksi dan komisaris di perusahaan grup Lippo antara lain CEO Lippo Cikarang Tbk (1992-1997), Presiden Komisaris PT Lippo Cikarang Tbk (2000-2009). Pernah pula berkiprah di PT Lippo Karawaci Tbk, PT Bank Lippo Tbk, PT Siloam Healthcare Tbk, PT Lippo Land Development Tbk, dan PT Matahari Department Store Tbk.

Adik Eddy adalah Billy Sindoro yang juga pernah punya "pengalaman" berkasus korupsi. Billy divonis 3 tahun penjara pada 2009 di tingkat Peninjauan Kembali dalam kasus suap Rp500 juta kepada Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M. Iqbal. Majelis hakim PK saat itu diketuai Artidjo Alkostar. Kapasitas Billy saat itu adalah Direktur Utama PT First Media Tbk (Lippo Group). Lippo adalah imperium bisnis yang dikendalikan oleh Mochtar Riady.

Billy memiliki jejak karier yang panjang di perusahaan grup Lippo. Antara lain ia pernah menjadi CEO PT Siloam Health Care Tbk, Direktur PT Lippo Karawaci Tbk, Presiden Direktur Lippo Telecom, Direktur Utama PT Bank Lippo Tbk, Presiden Direktur AIG Lippo Life, Presiden Komisaris PT Lippo General Insurance Tbk, dsb. Billy bekerja di Lippo sejak 1986.

Lantas perkara apa saja di MA yang diduga hendak "diurus" itu?

GUNUNG ES PERKARA - Gresnews.com menelusuri dugaan sejumlah perkara perusahaan Lippo Group yang tengah "diurus" oleh sejumlah pihak di MA, yang saat ini dugaan korupsi/suapnya sedang diusut oleh KPK. Kepada gresnews.com, Sabtu (23/4), melalui saluran Whatsapp, Wakil Ketua KPK Thony Saut Situmorang membenarkan bahwa perkara suap Edy dan Doddy serta diduga melibatkan Nurhadi, berkaitan dengan pengurusan perkara PK perusahaan Lippo Group di MA.

PENINJAUAN KEMBALI PAILIT ACCROSS ASIA LIMITED (AAL)
AAL mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan MA Nomor 214 K/Pdt.Sus-PKPU/2013 tertanggal 31 Juli 2013. Kuasa hukum AAL adalah kantor advokat Cakra & Co. Di tingkat kasasi, MA menolak permohonan AAL. Artinya AAL dalam keadaan pailit saat ini.

Dikutip dari keterbukaan informasi publik di Bursa Efek Indonesia (BEI), pada 8 Maret 2016, pihak First Media Tbk menerima surat pemberitahuan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 3 Maret 2016 bahwa AAL telah memasukkan permohonan PK atas putusan MA tersebut.

Inti permohonan PK AAL adalah bahwa AAL adalah perusahaan asing berbadan hukum Cayman Islands dan bukan perusahaan Indonesia. Oleh karena itu, sesuai UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), AAL tidak dapat diajukan PKPU atau dipailitkan di Pengadilan Niaga Indonesia melainkan yang berhak adalah pengadilan di Cayman Islands sesuai tempat kedudukan pemohon PK.

Asal tahu saja, AAL (dalam pailit) adalah pemegang saham mayoritas PT First Media Tbk (KBLV) sebesar 55,1% (959.976.602 lembar). Pemegang saham lainnya adalah PT Reksa Puspita Karya sebesar 33,76% (588.167.378 lembar) dan masyarakat sebesar 11,14% (194.023.927 lembar). Dalam susunan direksi perusahaan terdapat nama Ali Chendra (Presiden Direktur), Irwan Djaja (Wakil Presiden Direktur), dan Direktur antara lain Harianda Noerlan, Dicky Setiadi Moechtar, Edward Sanusi, Maria Clarissa Fernandes Joesoep, dan Johannes Tong. Sementara dalam susunan komisaris terdapat nama Theo L. Sambuaga (mantan Menteri Perumahan Rakyat dan Menteri Tenaga Kerja, politisi Golkar), Didik Junaidi Rachbini (ekonom), H. Muladi (mantan Menteri Hukum dan HAM), Nanan Soekarna (mantan Wakapolri), dan Ito Sumardi (mantan Kabareskrim Polri).

First Media adalah anggota dari Lippo Group. First Media adalah pemegang mayoritas saham di PT Ayunda Prima Mitra. Ayunda Prima Mitra adalah pengendali (80% saham) di PT Direct Vision. Direct Vision adalah operator televisi satelit Astro Nusantara yang sudah tidak beroperasi lagi sejak 20 Oktober 2008.

PENINJAUAN KEMBALI ARBITRASE ASTRO DKK VS FIRST MEDIA DKK
Perkara peninjauan kembali (PK) ini terdaftar dengan nomor 26 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016. Pemohon PK adalah Astro Nusantara International B.V, dkk. Termohon PK adalah PT Ayunda Prima Mitra dkk. Pengadilan pengaju adalah PN Jakarta Pusat. Perkara ini masuk MA pada 15 Februari 2016 dan didistribusikan pada 18 Februari 2016. Posisi perkara saat ini dalam pemeriksaan Tim Yudisial KHS. Majelis hakim adalah Abdurrahman (P1), I Gusti Agung Sumanatha (P2), dan Syamsul Ma´arif (P3). Panitera Pengganti Endang Wahyu Utami.

Sejarah perkara ini cukup panjang dan berkaitan dengan nilai uang yang besar.

Pihak Astro mengajukan PK atas putusan kasasi MA No 01 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 24 Februari 2010. Inti perkara ini adalah mengenai pelaksanaan Keputusan Arbitrase Interim Singapore International Arbitration Centre (SIAC)/Pengadilan Arbitrase Singapura. Oleh Ketua PN Jakarta Pusat pada 28 Oktober 2009, Keputusan Arbitrase Interim itu dinyatakan tidak dapat dilaksanakan (non-eksekutorial). Penetapan PN Jakpus itulah yang dikuatkan hingga ke tingkat kasasi.

Sidang di Pengadilan Arbitrase Singapura itu berlangsung sejak 6 Oktober 2008 antara pihak Astro Group (Astro Nusantara International B.V., Astro Nusantara Holdings B.V., Astro Multimedia Corporation N.V., Astro Multimedia N.V., (v) Astro Overseas Limited (sebelumnya bernama AAAN (Bermuda) Limited), Astro All Asia Networks PLC, Measat Broadcast Network Systems SDN BHD, dan All Asia Multimedia Networks FZ-LLC melawan PT First Media Tbk, PT Ayunda Prima Mitra, dan PT Direct Vision.

Pada 16 Februari 2010, SIAC mengeluarkan Keputusan Arbitrase Final yang isinya adalah memerintahkan kepada PT First Media Tbk, PT Ayunda Prima Mitra, dan PT Direct Vision secara tanggung renteng untuk: 1) Membayar restitusi kepada Astro All Asia Network PLC sebesar 103.334.000 Ringgit Malaysia atau setara Rp349,3 miliar; 2) Membayar restitusi kepada Measat Broadcast Network Systems SDN BHD sebesar US$5.773.000 (Rp72,6 miliar); 3) Membayar restitusi kepada All Asia Multimedia Network FZ-LLC sebesar US$59.327.000 (Rp783,5 miliar).

Selain itu, First Media dkk juga diminta untuk membayar biaya yang timbul atas adanya gugatan perdata di Indonesia kepada Astro Nusantara International BV dan Astro Nusantara Holdings BV sebesar US$608.000 (Rp8 miliar), 23.000 Pound Sterling, dan 65.000 Dolar Singapura (Rp633,8 juta).

Namun, Keputusan Arbitrase Final itu diperbaiki pada 23 Maret 2010 oleh SIAC. Perubahan antara lain menyangkut nilai pembayaran restitusi kepada All Asia Multimedia Networks FZ-LLC dari semula US$59.327.000 (Rp783,5 miliar) menjadi US$59.459.000 (Rp785,3 miliar).

Dengan demikian, berdasarkan Keputusan Arbitrase Final SIAC Singapura, total restitusi yang harus dibayar oleh First Media dkk kepada Astro Group tersebut adalah Rp1,207 triliun (dengan kurs saat ini). Nah keputusan SIAC inilah yang oleh MA di tingkat kasasi dikuatkan sebagai keputusan yang tidak bisa dilaksanakan di Indonesia (non-eksekutorial) sampai saat ini.

Rupanya First Media dkk melakukan upaya hukum lain untuk membatalkan Keputusan SIAC. Pada 23 Juni 2010, PT Ayunda Prima Mitra dan PT Direct Vision mengajukan gugatan pembatalan atas Keputusan Arbitrase Final, Partial Costs Award dan Perbaikan Keputusan Arbitrase Final di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor Perkara No: 300/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst. Argumennya Keputusan SIAC itu bertentangan dengan ketertiban umum, sehingga keputusan-keputusan Arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Pihak yang digugat adalah Astro Group. Namun PN Jakpus mengeluarkan putusan sela yang menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa gugatan itu. Lalu dilakukan upaya hukum banding ke MA pada 19 Mei 2011. Hasilnya pada 21 Juli 2014, MA menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

Tapi, kemudian PT Direct Vision menggugat Astro Group untuk tidak dikeluarkannya eksekuatur atas Keputusan Arbitrase Final SIAC. Lagi-lagi gugatan diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor Perkara: 301/PDT.G/2010/PN.Jkt.Pst pada 23 Juni 2010. PN Jakpus pada 25 Agustus 2011 memutus tidak diterima gugatan itu dengan alasan gugatan prematur. Tapi Direct Vision mengajukan banding ke MA. Hingga saat ini belum ada putusan MA.

Dengan demikian sampai saat ini Keputusan Arbitrase SIAC terhadap First Media dkk tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.

WANPRESTASI ACCROSS ASIA LIMITED (AAL)
Pada 30 Agustus 2012, First Media mengajukan permohonan arbitrase terhadap tindakan wanprestasi AAL ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Putusan BANI keluar pada 12 September 2012 yakni menghukum AAL untuk membayar kepada First Media utang pokok berikut bunga sebesar US$46.774.000 (Rp617,7 miliar) selambat-lambatnya 45 hari sejak putusan dikeluarkan. Lalu permohonan teguran (Aanmaning) didaftarkan, lagi-lagi, di PN Jakarta Pusat. Lalu keluarlah Penetapan dari PN Jakarta Pusat pada 26 September 2012 yang menyatakan putusan BANI dapat dilaksanakan dan memerintahkan panitera untuk memanggil pihak AAL.

Pada 27 Nopember 2012, kedua belah pihak, First Media dan AAL, menghadap di PN Jakarta Pusat. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa acara teguran atau aanmaning dalam perkara ini telah selesai dan menyampaikan agar AAL dalam waktu 8 hari setelah aanmaning dapat melakukan kewajibannya dengan sukarela yakni membayar Rp617,7 miliar kepada First Media.

KONFIRMASI PIHAK LIPPO DAN FIRST MEDIA
Dimintai pendapatnya tentang kasus suap yang sedang disidik KPK dan dugaan keterkaitan dengan perusahaan Lippo Group, Humas Lippo Group, Paulus Pandiangan, menyatakan tidak tahu. "Hubungi First Media saja," kata Paulus kepada gresnews.com, melalui sambungan selular, Sabtu (23/4).

Direktur PT First Media Tbk, Dicky Setiadi Moechtar, yang dikontak gresnews.com, Sabtu (23/4) malam, tidak membalas panggilan telepon maupun pesan singkat.

Sebagai informasi, berdasarkan paparan publik pada 15 April 2016, pendapatan First Media pada 2015 mencapai Rp1,06 triliun, mengalami penurunan dibandingkan tahun 2014, dikarenakan First Media sudah tidak lagi mengkonsolidasi PT Link Net Tbk (LN) sejak 1 November 2014.

EBITDA tahun 2014 sebesar Rp805 miliar terutama diperoleh dari konsolidasi laporan keuangan LinkNet. EBITDA tahun 2015 rugi sebesar Rp1,03 triliun, terutama disebabkan karena adanya beban sewa menara BTS, beban perolehan pelanggan, perangkat komunikasi dan beban operasional dari bisnis broadband internet 4G LTE dan bioskop.

Rugi tahun berjalan pada 2015 sebesar Rp1,51 triliun, mengalami penurunan dibandingkan laba tahun berjalan pada tahun 2014 sebesar Rp7,94 triliun. Hal ini disebabkan pada tahun 2014 terdapat keuntungan dari divestasi sebagian saham LinkNet dan keuntungan pencatatan investasi pada entitas asosiasi dengan nilai wajar.

Kenaikan jumlah aset dari Rp12,95 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp13,71 triliun pada tahun 2015 dikontribusikan oleh penambahan Aset Tidak Lancar. Peningkatan tersebut terutama dikarenakan adanya peningkatan saldo Aset Tetap sebesar Rp869 miliar dan peningkatan saldo Investasi pada Entitas Asosiasi dari investasi perseroan di LinkNet sebesar Rp217 miliar.

Kenaikan jumlah liabilitas dari Rp3,59 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp5,25 triliun pada tahun 2015, terutama dikontribusikan oleh adanya penambahan pinjaman jangka pendek dan jangka panjang pada tahun 2015. (dtc)

BACA JUGA: