Teguh Haryo Sasongko, Perdana University

Dalam beberapa pekan terakhir, jumlah kasus COVID-19 di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara menunjukkan tren peningkatan.

Untuk melihat dinamika pandemi di Asia Tenggara, kita melihat parameter kenaikan jumlah kasus baru dan kematian dalam periode tertentu.

Thailand sepanjang April 2021 mencatatkan kenaikan kasus 8 kali lipat pada pertengahan bulan tersebut (perhitungan rerata 7 hari untuk kasus baru harian). Kasus di Malaysia juga meningkat lebih dari dua kali lipat untuk rerata 7 hari kasus baru harian per sejuta penduduk sepanjang kurun 1 Mei (94,2 per sejuta penduduk) hingga 1 Juni (236,46 per sejuta).

Dengan total penduduk hampir 10 kali lipat Malaysia, kasus di Indonesia belum naik secara signifikan pada parameter kenaikan kasus ini untuk kurun 1 Mei (18,85 kasus baru per sejuta) hingga 30 Mei (21,32 kasus baru per sejuta).

Namun, Indonesia juga mulai menunjukkan tren peningkatan kasus) dengan ledakan sporadis di beberapa daerah seperti Kudus (Jawa Tengah), Riau, Bangkalan (Jawa Timur), dan Bandung (Jawa Barat).

Di Jawa Tengah, Demak yang bertetangga dengan Kudus juga telah ikut menunjukkan lonjakan kasus. Menteri Kesehatan Indonesia memperkirakan peningkatan kasus ini akan terus terjadi hingga 5–7 minggu setelah Lebaran.

Peningkatan kasus ini berisiko meningkatkan angka kematian.

Penyebab meningkat

Saya mencatat dua faktor utama yang menyebabkan angka kasus-kasus COVID-19 di sejumlah negara meningkat.

Faktor pertama, meningkatnya pergerakan, aktivitas, dan interaksi penduduk. Jika kita mengambil parameter transportasi publik dan tempat kerja (perkantoran dan pabrik), secara konsisten terlihat bahwa peningkatan jumlah kasus selalu didahului oleh peningkatan aktivitas dan pergerakan manusia.

Peningkatan kasus secara drastis di Thailand pada April 2021 didahului dengan peningkatan aktivitas di tempat kerja yang mencapai puncaknya sejak pandemi pada Maret 2021.

Di Malaysia dan Indonesia sebagian besar masyarakatnya merayakan Idul Fitri Mei lalu serta menjunjung tinggi budaya mudik. Peningkatan kasus saat ini tidak terlepas dari pergerakan manusia sepanjang Lebaran Mei 2021.

Dalam konteks ini, peningkatan kasus juga terkait sangat erat dengan upaya pemulihan aktivitas perekonomian yang hancur sepanjang 2020.

Di Malaysia, dari 9.316 kasus baru sepanjang Februari hingga April 2021, lebih separuhnya (59%) ditemukan di kalangan pekerja pabrik dan pekerja bangunan.

Kedua, faktor varian baru virus corona. Munculnya varian-varian baru dengan daya tular tinggi dan kemampuan menembus sistem imun (immune evasiveness) memberi kontribusi signifikan dalam gelombang penularan terbaru yang jauh lebih tinggi daripada gelombang-gelombang sebelumnya, seperti gelombang besar di India.

Dari keempat varian yang harus diwaspadai, yang ditetapkan WHO yakni Alpha (B.1.1.7), Beta (B.1.351), Gamma (P.1), dan Delta (B.1.617.2)), semuanya telah ditemukan di Asia Tenggara, terutama di Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, dan Indonesia yang saat ini mengalami kenaikan kasus.

Kematian juga bertambah banyak

Peningkatan jumlah kasus COVID-19 di kawasan ini juga dibarengi dengan peningkatan tajam angka kematian.

Rerata mingguan kasus kematian baru harian di Thailand mencatatkan kenaikan 48 kali lipat sepanjang kurun 1 April 2021 (< 0,01 kematian per sejuta penduduk) hingga 30 Mei 2021 (0,48 kematian per sejuta penduduk).

Untuk parameter dan kurun waktu yang sama, Malaysia mencatatkan kenaikan 16 kali lipat (0,13 kematian per sejuta penduduk pada 1 April vs 2,12 kematian per sejuta penduduk pada 30 Mei).

Walau untuk parameter ini pada kurun yang sama Indonesia tidak mengalami kenaikan signifikan (0,51 vs 0,56), tingkat kematian kasus Indonesia dengan 2,77 kematian untuk setiap 100 kasus terkonfirmasi COVID19 tetap yang tertinggi di Asia Tenggara (Malaysia 0,48%; Thailand 0,65%).

Perbandingan antara Indonesia dan Malaysia menunjukkan bahwa penduduk Malaysia memiliki risiko 11 kali lipat lebih tinggi terinfeksi COVID-19 dibandingkan penduduk Indonesia (21,32 -Indonesia- vs 236,46 -Malaysia- kasus baru per sejuta penduduk).

Namun, jika sudah terinfeksi, pasien COVID19 di Indonesia memiliki risiko kematian 5,8 kali lipat lebih tinggi daripada pasien COVID-19 di Malaysia (2,77% -Indonesia- vs 0,48% -Malaysia-).

Perbedaan ini perlu kita pahami dalam konteks perbedaan jumlah tes yang dilakukan kedua negara. Dalam kurun 1 April (48 ribu tes per hari) hingga 30 Mei 2021 (110 ribu tes per hari), Malaysia telah melipatgandakan jumlah tesnya.

Pada kurun waktu yang sama (45 ribu tes per hari menjadi 61 ribu tes per hari) Indonesia hanya meningkatkan jumlah tesnya 35%.

Dengan demikian, untuk setiap 1000 penduduknya upaya tes dan lacak yang dilakukan Indonesia jauh lebih kecil daripada Malaysia.

Pelacakan genomik virus

Harus kita akui bahwa kapasitas pelacakan genomik di Asia Tenggara masih relatif kecil. Per 6 Juni 2021, dari 1.867.168 pengurutan (sekuens) genomik virus corona seluruh dunia yang dimasukkan dalam database GISAID, Indonesia hanya berkontribusi 1.898 sekuens (0,1%), Malaysia 985 sekuens (0,05%), Thailand 1.405 (0,07%), Filipina 4.295 (0,2%), dan Singapura 2.576 (0,13%).

Gambar di bawah ini menunjukkan persentase pelacakan genomik terhadap jumlah kasus nasional masing-masing negara di kawasan Asia Tenggara, Inggris dan Amerika Serikat.

Dilihat dari proporsi kasus terkonfirmasi positif masing-masing negara kawasan Asia Tenggara, Indonesia termasuk yang paling sedikit dalam pelacakan genomik dengan hanya 0,1% dari total kasus nasional dan Singapura yang paling besar, 4,2%.

Indonesia dan Malaysia memiliki cakupan pelacakan genomik yang sangat rendah. Dalam situasi ini, sulit sekali untuk melakukan monitoring yang memadai atas varian-varian baru yang menyebar dan berkembangbiak di masyarakat.

Dengan cakupan yang sangat rendah, sementara sudah terdapat temuan varian Delta (varian baru dari India) dari sebagian besar kasus yang dikirimkan dari RSUD Kudus baru-baru ini kemungkinan besar menunjukkan bahwa varian yang terbilang ganas ini sudah mengalami transmisi lokal yang luas.

Vaksinasi mujarab turunkan kasus

Dari kasus beberapa negara tampak jelas bahwa vaksinasi adalah langkah paling efektif dalam menghentikan pandemi.

Hal ini terlihat dari turunnya kasus baru harian, kasus-kasus yang memerlukan rawatan rumah sakit (hospitalisasi), dan kasus kematian di negara-negara yang telah mencapai cakupan vaksinasi yang signifikan, meski negara-negara tersebut juga mendeteksi varian-varian baru.

Per 3 Juni 2021, delapan negara telah memvaksinasi lebih dari 50% populasinya untuk paling tidak 1 dosis vaksin: Israel (63%), Canada (60%), Inggris (59%), Chile (58%), Bahrain (57,6%), Mongolia (57%), Hungaria (54%), Amerika Serikat (50,6%).

Jika kita ambil contoh Inggris dan Amerika Serikat yang mengalami gelombang kasus, hospitalisasi dan kematian yang sangat tinggi pada awal 2021, kini menurun signifikan untuk ketiga parameter tersebut.

Kasus COVID-19 dan kematian di Amerika Serikat dan Inggris turun setelah vaksinasi lebih dari separuh penduduk. Ourworldindata | Teguh H. Sasongko

Padahal, hingga Maret 2021, varian B.1.1.7 terdeteksi dalam lebih dari 90% kasus terkonfirmasi positif di Inggris dan 35% kasus terkonfirmasi positif di Amerika Serikat.

Bahkan, data terbaru menunjukkan 75% dari kasus yang saat ini ditemukan di Inggris membawa varian Delta B.1617.2.

Pada 28 Mei 2021, Center for Disease Control (CDC) di Amerika Serikat mengeluarkan beberapa rekomendasi yang terbilang berani untuk mereka yang telah divaksinasi lengkap 2 dosis. Salah satunya, mereka mencabut kewajiban penggunaan masker, menjaga jarak dan karantina setelah bepergian dari luar negeri bagi mereka yang sudah divaksin 2 dosis.

“Metode klasik” tapi manjur

Strategi Tes-Lacak-Isolasi adalah kunci pengendalian wabah dalam situasi apa pun.

Prinsip dari upaya ini adalah mendeteksi sebanyak mungkin dan secepat mungkin kasus yang berpotensi menjadi sumber penyebaran virus. Jika sudah terdeteksi, pasien dipisahkan dari masyarakat umum dan diberi perawatan medis jika diperlukan.

Pemerintah wajib memenuhi target WHO bahwa maksimum positivity rate 5% dan itu dijadikan penanda kecukupan jumlah tes. Jika positivity rate masih di atas 5%, artinya jumlah tes harus ditingkatkan.

Pada tingkat individu dan komunitas, kita wajib menegakkan 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan membatasi mobilitas) agar dapat mengendalikan pandemi sementara cakupan vaksinasi belum optimal.

Pemerintah perlu terus meningkatkan upaya pengawasan dan pelacakan genomik untuk mendeteksi mutasi virus dan memonitor varian-varian virus yang beredar di tengah masyarakat.

Di samping kewaspadaan terhadap varian-varian dari luar negeri, kita perlu mewaspadai juga kemungkinan munculnya varian lokal dengan daya tular dan daya tembus imun yang tinggi.

Dengan keterbatasan kapasitas, dalam konteks Indonesia prioritas paling utama adalah melacak genomik dalam klaster-klaster dengan reproduksi kasus yang melonjak dalam waktu relatif singkat, seperti yang saat ini terjadi di Kudus, Riau, Bangkalan, dan Bandung.

Jika upaya karantina dan penjagaan di pintu-pintu masuk internasional dilakukan secara ketat dan konsisten, kelompok pendatang luar negeri ini bukan lagi prioritas pelacakan genomik.The Conversation

Teguh Haryo Sasongko, Peneliti The Cochrane Collaboration; Associate Professor, Royal College of Surgeons in Ireland (RCSI) School of Medicine, Perdana University; Deputy Director, Center for Research Excellence, Perdana University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: