Ana Aznar, University of Winchester

Anak tunggal sering mendapat anggapan jelek. Mereka sering dianggap egois, manja, sering cemas, tidak mudah bergaul, dan kesepian.

Bidang ilmu saya, yaitu psikologi, mungkin bertanggung jawab atas sebagian stereotip negatif ini. Bahkan, Granville Stanley Hall, salah satu psikolog paling berpengaruh dalam seratus tahun terakhir dan juga presiden pertama Asosiasi Psikologi Amerika (American Psychological Association atau APA) sempat berujar bahwa “menjadi anak tunggal adalah penyakit”.

Untungnya, kita telah memiliki banyak kemajuan. Penelitian pada hampir 2.000 orang dewasa di Jerman menemukan bahwa anak tunggal tidaklah lebih narsis dibanding mereka yang bersaudara. Penelitian itu diberi judul “Mengakhiri Stereotip”.

Namun banyak stereotip lain masih bertahan. Mari kita tengok bagaimana penelitian yang ada terkait itu.

Stanley Hall memiliki pandangan buruk soal anak tunggal. Frederick Gutekunst/Wikimedia Commons

Dari sisi kepribadian, tidak ada perbedaan antara anak tunggal dan anak yang memiliki saudara dalam hal ekstroversi, kedewasaan, kemampuan kerja sama, otonomi, kontrol diri, dan kepemimpinan.

Bahkan, anak tunggal cenderung memiliki motivasi lebih tinggi untuk meraih sesuatu (diukur dari aspirasi, usaha, dan keteguhan) dan kemampuan menyesuaikan diri (menyesuaikan dengan lingkungan baru) dibanding orang yang memiliki saudara.

Motivasi yang lebih tinggi pada anak tunggal dapat menjelaskan mengapa mereka cenderung menempuh pendidikan lebih banyak dan menduduki pekerjaan berstatus lebih tinggi.

Lebih pintar dalam masa tertentu

Beberapa penelitian menemukan bahwa anak tunggal cenderung memiliki kecerdasan lebih dan meraih prestasi akademik lebih tinggi.

Kajian 115 penelitian yang membandingkan intelegensi orang dengan atau tanpa saudara menemukan bahwa anak tunggal memiliki nilai tes IQ lebih tinggi dan lebih berprestasi dibanding orang yang memiliki banyak saudara atau memiliki satu saudara lebih tua.

Satu-satunya kelompok yang memiliki performa lebih baik dalam hal intelegensi dan capaian akademik adalah anak pertama dan mereka yang hanya punya satu kakak.

Penting digarisbawahi bahwa perbedaan ini cenderung ditemukan pada usia prasekolah, dan berkurang pada usia kuliah. Ini menyiratkan bahwa perbedaan yang ada semakin berkurang seiring bertambahnya usia.

Kesehatan mental juga diteliti. Lagi-lagi, tidak ada perbedaan di antara kedua kelompok dalam tingkatan kecemasan, rasa harga diri, dan masalah perilaku.

Anak tunggal telah lama dianggap merasa kesepian dan kesulitan berteman. Penelitian telah membandingkan hubungan sebaya dan pertemanan selama sekolah dasar antara anak tunggal, anak pertama dengan satu saudara, dan anak kedua dengan satu saudara.

Temuan menunjukkan bahwa anak tunggal memiliki jumlah teman yang sama dan kualitas pertemanan serupa dengan kelompok lain.

Anak tunggal lebih baik?

Secara keseluruhan, temuan-temuan ini tampaknya menunjukkan bahwa memiliki kakak atau adik tidak berpengaruh besar dalam pertumbuhan kita. Bahkan saat ada perbedaan, justru kemungkinan anak tunggal lebih baik. Mengapa demikian?

Tidak seperti anak dengan saudara, anak tunggal menerima perhatian penuh, cinta kasih dan sumber daya materi dari orang tua selama hidupnya. Situasi ini selalu diasumsikan membawa dampak negatif bagi anak tunggal karena membuat mereka manja dan tidak mudah menyesuaikan diri.

Namun, situasi ini juga menunjukkan tidak adanya kompetisi untuk memperebutkan sumber daya dari orang tua yang mungkin justru menguntungkan bagi anak-anak.

Karena jumlah keluarga dengan satu anak meningkat di seluruh dunia, sudah waktunya untuk menghentikan stigma pada anak tunggal dan orang tua yang memilih untuk punya hanya satu anak.

Anak tunggal tampaknya menjalani hidup baik-baik saja, bahkan lebih baik, dibanding mereka yang memiliki kakak atau adik.The Conversation

Ana Aznar, Lecturer in Psychology, University of Winchester

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: