Aryo Danusiri, Universitas Indonesia

Kampanye pemerintah baru-baru ini untuk mempromosikan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX yang akan diselenggarakan di Papua pada Oktober nanti dengan menampilkan selebriti Nagita Slavina, istri aktor Raffi Ahmad, memakai kostum adat Papua menuai kontroversi.

Beberapa pihak mengkritik penunjukan Nagita. Misalnya, mereka menuduh pemerintah merampas budaya (cultural appropriation) karena memilih selebriti Instagram Jawa berkulit putih sebagai duta acara tersebut dengan mengenakan topi bulu Kasuari dan pakaian adat Papua. 

Kampanye bermasalah ini menunjukkan bahwa negara, dengan lebih dari 1.300 kelompok etnis, masih berjuang dalam memastikan politik keterwakilan yang setara dari keberagaman masyarakatnya. 

Salah satu protes paling vokal datang dari Arie Kriting, komedian Sulawesi Tenggara. 

Serangan balik terhadap protes Arie Kriting tidak dapat terhindarkan, yang menuduh bahwa dia hanya mencari sensasi saja.

Banyak rekan-rekan selebriti Arie justru membela dan membenarkan protest tersebut.

Saya mengkaji dan meneliti media, teknologi, dan politik. Saya bisa memahami kegelisahan dari Arie.

Melalui strategi publisitas semacam itu, pemerintah mempromosikan apa yang disebut antropolog sebagai “keragaman dangkal” (banal diversity). Hal itu terjadi ketika penguasa memanipulasi kelompok etnis yang terpinggirkan untuk menyampaikan pesannya dengan merampas budaya mereka dengan anggota mayoritas.

Rasisme terhadap Papua di Indonesia

Orang bisa saja memahami bahwa kritik yang dilancarkan oleh Arie Kriting terlalu keras. Namun, Papua telah lama menjadi sasaran diskriminasi ekonomi dan budaya.

Diskriminasi ini berasal dari sejarah rumit atas konflik antara Jakarta dan orang lokal. Indonesia selalu memiliki tingkat rasisme terhadap kelompok etnis minoritasnya. Dalam kasus Papua, suku mayoritas selalu meremehkan orang Papua berdasarkan warna kulit atau akar etnis mereka.


Baca juga: Let`s talk more about racism in Indonesia


Selama beberapa dekade, pemerintah telah menyalahgunakan Papua karena sumber daya alamnya yang kaya. Orang Papua menderita secara ekonomi dari eksploitasi berkepanjangan.

Sejumlah gerakan menuntut kemerdekaan Papua dari Indonesia telah diluncurkan, termasuk Gerakan Papua Merdeka yang terkenal.

Untuk menjinakkan narasi separatis dari kelompok pemberontak, pemerintah sering mengaitkan orang Papua dengan citra negatif; baik sebagai teroris atau sebagai orang primitif.

Rasisme semacam ini adalah kenyataan sehari-hari bagi orang Papua, di media, dan dalam kehidupan nyata. Mereka sering menghadapi cercaan rasis seperti “monyet”.

Kerusuhan tahun 2019 di seluruh Papua dipicu oleh bahasa rasis semacam ini.

Pendekatan terbaru pemerintah dalam mendandani Nagita dalam kampanye acara olahraganya adalah strategi lain untuk melemahkan nilai dan narasi Papua.

Perspektif Papua

Jika pemerintah ingin memenangkan hati orang Papua, maka mereka harus fokus pada perspektif orang Papua.

Nagita berbusana nuansa Papua tidak menunjukkan bahwa pemerintah menghargai orang Papua, itu hanya merampas budaya mereka. Kampanye tersebut adalah serangan terhadap Papua karena mereproduksi hierarki dominan subjek yang-berkulit-terang sebagai yang berdaulat atas subjek yang-berkulit-gelap sebagai perhiasan.

Keputusan pemerintah untuk menggunakan tokoh masyarakat berkulit terang dan berambut lurus membuat nilai-nilai lokal yang gelap dan keriting tidak terlihat.

Seharusnya pemerintah harus menggunakan tokoh masyarakat Papua, seperti penyanyi Nowela Elizabeth Auparay, atlet angkat besi Lisa Rumbewas atau selebriti Putri Nere.The Conversation

Aryo Danusiri, Assistant Professor, Universitas Indonesia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: