Jokowi tidak perlu tunggu judicial review untuk mengeluarkan perppu KPK
Agil Oktaryal, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)
Hingga kini Presiden Joko “Jokowi” Widodo belum menanggapi desakan publik untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) untuk membatalkan revisi undang-undang (UU) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Desakan itu muncul karena revisi UU KPK dinilai akan membuat lembaga anti-rasuah itu tidak efektif lagi mencegah dan memberantas korupsi.
Namun menurut konstitusi, presiden tetap dapat mengeluarkan perppu sebagai bagian dari kewenangan independen presiden yang tak terpengaruh dengan proses yudisial yang berlangsung di MK.
Kekuasaan legislasi presiden
Dalam norma-norma yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 tercantum dua bentuk kekuasaan legislasi atau pembentukan undang-undang oleh presiden.
Pertama, kekuasaan legislasi dependen atau yang bergantung pada lembaga negara lain. Ini misalnya pembentukan undang-undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang pembentukannya juga perlu persetujuan DPR.
Kedua, kekuasaan legislasi independen atau yang tidak bergantung pada lembaga negara lain. Hal ini diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Pasal ini memberikan hak darurat kepada presiden untuk menerbitkan peraturan pemerintah dengan substansi sama dengan undang-undang.
Perppu itu dikeluarkan guna menjamin keselamatan negara dalam keadaan genting yang memaksa pemerintah bertindak cepat. Bahkan, keadaan genting itu ditentukan berdasarkan subjektifitas seorang presiden, tidak tergantung pada kekuasaan lain atau menunggu persetujuan lembaga lain baik legislatif maupun yudikatif.
Kapanpun presiden mau terbitkan, perppu bisa dikeluarkan.
Perppu KPK memenuhi syarat
Sebagai bagian dari kekuasaan independen presiden, penerbitan perppu memang sering kali menimbulkan pro-kontra.
Pada 8 Februari 2010 melalui Putusan No. 138/PUU-VII/2009, MK telah memberi syarat atau batasan keadaan memaksa sehingga presiden bisa mengeluarkan Perppu. MK mengeluarkan batasan ini agar perppu yang dikeluarkan seorang presiden memenuhi alasan-alasan objektif dan agar publik mengetahui alasan sebuah perppu dikeluarkan. Selain itu, batasan ini ditujukan agar presiden tidak menyalahgunakan kekuasaan dalam menerbitkan perppu.
Syarat pertama untuk mengeluarkan perppu adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Selain itu, ahli hukum asal Belanda, Van Dullemen dalam bukunya Staatsnoodrecht en Democratie juga menyebutkan empat syarat yang membenarkan hadirnya hukum darurat seperti perppu: eksistensi negara tergantung tindakan darurat; tindakan itu amat diperlukan dan tidak bisa digantikan dengan yang lain; bersifat sementara (berlaku sekali dalam waktu singkat untuk sekedar menormalkan keadaan); dan saat tindakan diambil, parlemen tidak dapat bersidang secara nyata dan bersungguh-sungguh.
Keempat syarat itu menurut Van Dullemen berlaku komulatif atau semua harus terpenuhi, satu saja yang tidak, perppu tidak bisa dikeluarkan. Meski demikian, pendekatan utama dalam mengeluarkan hukum darurat seperti perppu ini adalah salus populi suprema lex - keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.
Jika dikaitkan dengan perppu KPK, syarat-syarat di atas telah terpenuhi.
Terdapat kebutuhan hukum mendesak: pasca UU KPK direvisi, pimpinan KPK tidak lagi berstatus sebagai penyidik dan penuntut tapi menjadi pegawai biasa yang berstatus pimpinan. Bahkan dewan pengawas yang ditunjuk presiden akan mengambil alih tugas dan fungsi penyidikan dan penuntutan dari pimpinan KPK tersebut. Hal ini membuat kerja KPK dipastikan terhambat.
Revisi UU KPK juga tidak memadai untuk memberantas korupsi. Misalnya, KPK dimasukkan ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif–sebelumnya KPK tidak masuk dalam rumpun manapun (independen). Implikasinya KPK bisa diawasi oleh DPR melalui hak angket, padahal DPR adalah salah satu lembaga terkorup yang mesti dibersihkan oleh KPK.
Selain itu, KPK diberi kewenangan untuk menghentikan penyidikan kasus korupsi, padahal sebelumnya KPK tidak mememiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Kewenangan ini membuat cara pemberantasan korupsi di KPK tidak lagi istimewa dan sama dengan apa yang dilakukan di kepolisian dan kejaksaan.
Semua keadaan di atas tidak mungkin diatasi dengan jalur normal atau perubahan UU KPK melalui DPR. Karenanya perlu penanganan luar biasa oleh presiden melalui perppu untuk mengatasi keadaan genting tersebut.
MK tak menghalangi presiden
Jelas bahwa sikap Jokowi terkait perppu KPK ini tidak mememiliki pijakan konstitusional yang kuat.
Meskipun MK sedang melakukan peninjauan terhadap UU KPK, presiden secara konstitusional tetap bisa mengeluarkan perppu untuk membatalkan UU KPK karena kewenangan itu adalah kewenangan independen presiden yang tak terpengaruh dengan kerja-kerja yudisial yang berlangsung di MK, apalagi syarat untuk mengeluarkan perppu juga telah terpenuhi.
Bahkan UU tentang MK tidak melarang presiden mengeluarkan perppu, UU MK hanya menyatakan apabila di MK sedang berlangsung judicial review, maka pemeriksaan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di Mahkamah Agung harus dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian di MK. Pemeriksaan itu harus dihentikan sampai adanya putusan dari MK.
Dengan logika tersebut, apabila presiden mengeluarkan perppu yang membatalkan UU KPK, maka akibatnya pengujian UU KPK di MK otomatis gugur (niet ontvankelijke verklaard) karena MK kehilangan obyek pengujiannya.
Dua pilihan untuk perppu
Menurut saya ada dua pilihan bagi Jokowi dalam mengeluarkan perppu untuk mengakhiri kisruh revisi UU KPK ini.
Pertama, meminta DPR yang baru terbentuk di periode sekarang untuk menilai dan menyetujui perppu menjadi undang-undang. Dengan dukungan lebih 60 persen kursi di parlemen,, Jokowi bisa meminta partai-partai koalisinya menyetujui perppu menjadi undang-undang.
Atau kedua, meminta MK menilai subjektifitas presiden dalam mengeluarkan perppu melalui jalur judicial review perppu KPK ke MK. Jika MK menyatakan bahwa perppu tersebut konstitusional, maka tidak ada alasan lagi bagi DPR untuk menolak Perppu menjadi undang-undang. Dengan cara itu, KPK akan bisa terselamatkan.
Agil Oktaryal, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
- COVID 19 Indonesia pecahkan rekor: masyarakat menjadi kunci agar rumah sakit tidak ambruk
- Ini penyebab varian delta begitu dominan dalam ledakan Covid 19 Mampukah vaksin melawannya?
- Mitos keliru soal sifat anak tunggal
- Mengapa El Salvador mengadopsi bitcoin menjadi alat pembayaran yang sah
- Penunjukan Nagita Slavina sebagai Duta PON 2021 merampas budaya Papua
- Tiga alasan mengapa Cina bisa jadi mediator dalam konflik Israel-Palestina
- Amerika akan lepaskan paten vaksin COVID 19, apa dampaknya bagi Indonesia dan negara berkembang