JAKARTA, GRESNEWS.COM - Saban kali terjadi bencana, khususnya bencana alam seperti banjir, letusan gunung berapi, ataupun gempa bumi, sering kali kita dengar di media massa berbagai bantuan yang mengalir ternyata tak terdistribusikan dengan baik. Penumpukan barang bantuan baik makanan, pakaian maupun obat-obatan kerap terjadi di fase-fase awal terjadinya bencana.

Memang pada fase ini, selain bantuan berupa tenaga relawan untuk menolong korban, bantuan berupa material terutama bahan makanan pokok, pakaian, obat-obatan dan lain-lain juga mulai membanjir ke wilayah bencana. Sayangnya dalam kondisi ini, seringkali datangnya bantuan material yang cukup besar ini kerap kurang tertangani dengan baik. Lantaran kondisi masih belum normal seringkali penumpukan bahan bantuan terjadi di posko-posko bencana.

Padahal, di sisi lain, korban atau para penyintas bencana, sangat menantikan barang-barang kebutuhan pokok itu dapat didistribusikan untuk membantu mereka bertahan hidup. Nanang S Dirja, the Rights in Crisis Lead of Oxfam Indonesia mengatakan, situasi seperti ini mendorong Oxfam untuk melakukan serangkaian analisa agar pola pengelolaan bantuan kemanusiaan bisa berjalan lebih baik.

"Pola pengelolaan bantuan kemanusiaan memang harus berubah, kita harus bisa memberikan bantuan lebih cepat, tepat, aman dan nyaman," kata Nanang kepada Gresnews.com, Selasa (7/4).

Nanang bercerita, dari beberapa studi yang dilakukan Oxfam saat terjadi bencana di Lombok Utara, Gempa Yogyakarta, hingga banjir di Jakarta, ada beberapa permasalahan terkait bantuan yang kerap terjadi. "Selain penumpukan, ada juga masalah salah sasaran, penyimpangan dan lain-lain," ujar Nanang.

Untuk mengatasi masalah-masalah ini, Nanang mengatakan, sebenarnya ada satu solusi yaitu penanganan bencana dengan memanfaatkan teknologi dan melibatkan multi pihak. Karena itulah, Oxfam mengembangkan sistem bantuan kemanusiaan pasca bencana via pasar dan teknologi mobile.

Oxfam sendiri telah menghelat sebuah workshop terkait hal itu bersama mitra-mitranya pada tanggal 30-31 Maret lalu di Jakarta. Dalam kesempatan itu berbagai pihak baik dari pihak pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat, daerah dan badan penanggulangan bencana nasional serta daerah ikut serta. Demikian pula dengan pihak swasta dalam hal ini perbankan, penyedia jasa keuangan, juga pihak lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat serta penyedia barang bantuan.

Sistem yang dirancang Oxfam dengan memanfaatkan pasar dan teknologi untuk penanggulangan bencana ini, kata Nanang, sebenarnya sederhana. Dalam konteks ini, bantuan yang datang diharapkan bukan lagi berupa barang apalagi makanan instan melainkan dalam bentuk uang.

Uang ini, nantinya akan disetorkan ke pihak bank, dan pihak bank akan mengeluarkan sebuah kartu semacam e-money, mirip kartu atm yang bisa digunakan korban bencana untuk berbelanja barang kebutuhan mereka untuk bertahan pasca bencana. "Kartu ini hanya bisa dibelanjakan pada tempat tertentu dan untuk membeli kebutuhan pokok yang dibutuhkan dan tidak bisa diuangkan," ujar Nanang.

Bagaimana sistem ini nantinya berjalan? Pertama, kata Nanang, tentu diperlukan pendataan yang akurat terkait para penyintas atau korban yang selamat dari bencana dan membutuhkan bantuan. Di sini teknologi juga berperan. Caranya, Oxfam bersama mitra sudah melakukan simulasi yaitu dengan melatih semacam tim reaksi cepat yang berkoordinasi dengan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah).

Tim ini, dengan cepat turun ke lapangan pasca bencana dan melakukan pendataan terhadap para warga yang selamat dari bencana. Pendataan dilakukan melalui peranti telepon genggam yang terkoneksi dengan pusat data di BPBD, atau kelurahan atau posko bencana setempat.

Tim reaksi cepat ini nantinya akan mendata mulai dari nama, alamat, kondisi korban, gender, usia, dan data-data penunjang lainnya. Data-data ini kemudian dijadikan basis untuk menentukan siapa yang berhak untuk mendapatkan bantuan dalam bentuk e-money tadi.

Dengan sistem pendataan seperti ini yang dilakukan secara real time, Nanang mengatakan, manipulasi data bisa ditekan seminimal mungkin. "Sehingga bantuan dapat diberikan secara tepat sasaran," ujarnya seraya mengakui sistem ini memang masih perlu perbaikan.

 

Data-data korban tadi kemudian dimasukkan ke server BPBD untuk kemudian dilakukan analisis terkait siapa yang layak atau tidak untuk mendapatkan bantuan. Nantinya, kata Nanang, akan bisa dianalisis pula berapa kebutuhan uang yang diperlukan para penyintas bencana untuk bisa bertahan hidup pasca bencana.

Untuk sementara ini, kata dia, sistem ini sudah diterapkan dengan mengajak pihak perbankan dalam hal ini BRI. Dengan sistem ini, bantuan dana berupa uang tadi akan diserahkan oleh BPBD ke BRI dan oleh BRI akan dibukakan rekening khusus dan dari rekening itu kemudian diterbitkan e-money sesuai dengan data korban yang layak menerima bantuan dengan jumlah dana yang disesuaikan dengan kebutuhan sesuai assesmen atau penilaian tadi.

"Jadi sistem pemberian bantuan secara cepat, tepan dan aman tadi bisa terpenuhi," kata Nanang.

Kemudian, persoalan kedua adalah bagaimana dengan ketersediaan barang dan kemana para korban bisa membelanjakan e-money ini untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya pasca bencana? Dalam konteks ini, kata Nanang, peran para penyedia barang baik pemilik toko eceran atau grosir sangatlah besar.

"Dalam konteks ini tentunya kita akan mendata penyedia barang di sekitar lokasi bencana yang masih hidup dan barangnya tersedia. Pedagang akan dikondisikan para penyintas bencana akan membelanjakan uang elektronik mereka untuk membeli kebutuhan hidup pasca bencana di toko mereka," ujar Nanang.

Dalam kaitan inilah, kerjasama multi pihak menjadi kata kunci yang penting. Dalam konteks ini, para pedagang di sekitar lokasi bencana akan diberi bantuan oleh pihak bank berupa alat EDC atau electronik data capturing untuk membaca kartu e-money.

"Mirip dengan mesin pembaca kartu kredit-lah, hanya saja nantinya dalam EDC maupun e-money itu akan ditentukan barang apa saja yang bisa dibeli, tentunya hanyalah barang kebutuhan pokok. Kalau barang seperti rokok tentunya tidak bisa," kata Nanang.

Para pedagang dan juga para penyintas bencana tentunya juga harus dilatih untuk bisa menjalankan sistem ini dengan baik. Dalam konteks ini, kata Nanang, bank juga bisa menyediakan semacam bank guarantee alias garansi bank, jika para pedagang itu harus berbelanja ke pihak grosir untuk bisa memenuhi ketersediaan barang yang dibutuhkan para korban bencana.

Sayangnya, kerjasama dengan pihak grosir besar ini, kata Nanang, memang belum bisa dilakukan. "Pihak pedagang grosir belum mau untuk itu," katanya.

Karena itu, saat ini pihak Oxfam bersama mitra terkait akan mencoba untuk bisa mengajak pihak grosir terutama pasar grosir modern seperti Carrefour, Indomaret dan Alfamart agar mau menjalankan sistem ini agar sistem tersebut bisa berjalan lebih baik.

Selain itu, untuk skenario tertentu misalnya, bencana yang parah seperti tsunami Aceh tahun 2004 atau jika bencana terjadi di wilayah terpencil, juga masih harus diantisipasi bagaimana sistem ini berjalan. Karena itu, Oxfam masih terus mencoba mencari alternatif bagaimana sistem ini diberlakukan dalam kondisi pasar setengah berjalan pasca bencana ataupun ketika lumpuh sama sekali.

"Dalam skenario kami, untuk bencana besar atau di wilayah terpencil nantinya para pedagang dari luar diberi akses masuk dan bisa berdagang di lokasi tertentu yang mudah diakses para penyintas bencana," ujar Nanang.

Tujuan dari sistem ini sendiri, kata Nanang, adalah selain mempermudah pemberian bantuan kepada para korban bencana secara cepat, tepat, aman dan nyaman, juga untuk merangsang agar ekonomi cepat bisa pulih pasca bencana. "Kita berupaya hidupkan lagi usaha pedagang kecil dengan cara seperti ini," ujarnya.

 

Di Indonesia, sistem ini sendiri sudah dijalankan di Papua, Makassar dan Jakarta. Dalam workshop kemarin, dalam kegiatan simulasi di Papua, meski sistem ini dinilai sudah berjalan baik, memang masih ada beberapa kendala yang masih harus dibenahi. Terkait sistem perbankan misalnya, hanya terdapat satu lembaga perbankan dari empat lembaga perbankan yang dilobi oleh tim logistik, yang memberikan tanggapan positif terhadap kemitraan. Alasan utama, belum tersedianya produk e-money dan keterbatasan sistem transaksi elektronik yang dimiliki

BRI sebagai mitra, juga memiliki keterbatasan dalam mengalokasikan peralatan EDC karena dibatasi oleh kebijakan lembaga. Pedagang yang mengoperasikan EDC harus memiliki surat izin usaha dagang (SIUP) dan surat izin tempat usaha (SITU). Pedagang kecil umumnya belum memiliki dokumen perizinan.

Selain itu, ketrampilan pedagang kecil sebagai pengguna baru mesin EDC masih belum memadai sehingga berisiko terhadap terjadinya kesalahan input dan kesalahan data transaksi.

Sementara itu dari sisi ketersediaan barang, jenis barang yang dapat dibelanjakan memiliki kesamaan dengan barang bantuan yang diberikan oleh pihak lain. Penerima manfaat cenderung untuk membelanjakan barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.

Stok barang di tingkat pedagang lokal tidak cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan barang yang terakumulasi dalam waktu singkat. Pedagang memerlukan waktu untuk pengadaan barang. Kondisi ini memberikan konsekuensi kepada tertundanya penyelesaian proses redemption/pembelanjaan.

Karena proses stok dan redemption dilaksanakan setelah kenaikan harga BBM. Harga dan pengumuman kenaikan harga BBM berpengaruh terhadap harga yang semula disepakati.

Juga ada kendala, pada proses sosialisasi kepada penerima manfaat dan pedagang dilaksanakan dalam waktu yang sangat singkat dan tidak terstruktur. Dikarenakan pelaksananaan simulasi CTP bersamaan dengan pelaksanaan project lain di Papua.

Lokakarya dihadiri oleh sebagian besar organisasi pendukung SIGI kota Jayapura, namun demikian mereka bukan representasi dari para pengambil kebijakan di organisasinya masing-masing, termasuk di BPBD maupun Dinas Sosial.

Juga dari sisi data, ada kendala tidak tersediannya data kependudukan yang memadai di tingkat Posyandu, RT/RW, bahkan di tingkat pemerintah kelurahan. Posyandu hanya memiliki data terkait dengan presensi ibu dan balita di posyandu yang hanya mencapai sekitar 30% dari populasi bayi balita dan ibu hamil di wilayah sasaran simulasi.

Selain itu ada juga masalah kependudukan dimana penduduk Kelurahan Gurabesi kota Jayapura (tempat dilakukannya simulasi) didominasi oleh pendatang yang berpindah pindah dalam waktu tertentu. Hal tersebut merupakan tantangan tersendiri dalam proses pendataan.

Sementara, untuk di Makassar sendiri sepertinya sistem ini berjalan cukup lancar tanpa kendala berarti. Dalam menerapkan sistem ini untuk mengatasi bencana banjir di Romang Tangngaya RW VI RT IV Kelurahan Tamangapa Kecamatan Manggala Kota Makassar, sistem ini bisa berjalan baik.

Hasil ini diukur dari adanya peningkatan kualitas pelayanan kegiatan tanggap darurat bencana oleh BPBD Kota Makassar dalam mengurangi penderitaan para penyintas bencana. Selain itu sistem ini juga dapat mempercepat pulihnya penghidupan pedagang Kecil di wilayah terdampak.

Dalam konteks ini, tim yang mengelola sistem yang terintegrasi antara kaji cepat di lapangan dengan sistem pengolahan data dan sistem perencanaan sudah berjalan. Dengan demikian pengelolaan tanggap darurat, pemberian bantuan darurat dan sistem monitoring dan evaluasi dengan menggunakan teknologi informasi, perbankan dan pasar di BPBD kota Makassar bisa berjalan.

Selain itu kemampuan pedagang kecil mengoperasikan EDC atau alat lain yang berfungsi sama sudah memadai. Juga terdapat pedagang besar yang siap memberikan bantuan barang kepada pedagang kecil dengan sistem pembayaran garansi bank.

Juga sudah terdapat bank yang siap memberikan pelayanan cash management system kepada BPBD kota Makassar termasuk peningkatan kapasitas seluruh fasilitasnya seperti peminjaman EDC, pemberian garansi bank dan pemberdayaan pedagang kecil.

Melihat situasinya, Nanang yakin sistem ini ke depan akan berjalan baik seperti yang diterapkan di Pakistan dengan sistem watan card-nya. Sistem ini dikembangkan Pakistan saat terjadi krisis akibat banjir tahun 2010 silam. Pemerintah Pakistan bekerjasama dengan pemerintah daerah membangun sistem yang diberi nama Citizens Damage Compensation Program (CDCP).

Sistem ini dibangun dengan tujuan untuk memberikan bantuan finansial kepada rumah tangga yang terdampak bencana di seluruh provinsi. Ketika itu provinsi yang terdampak adalah hyber Pakhtunkhwa, Sindh, Punjab, Balochistan, Gilgit-Baltistan, Azad Jammu and Kashmir. Warga diberi bantuan hingga senilai 20.000 rupee Pakistan.

 

BACA JUGA: