JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kondisi Indonesia masih dalam darurat asap akibat pembakaran hutan dan gambut di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Pemerintah hingga kini masih berupaya memadamkannya dengan berbagai cara. Namun yang tak kalah penting untuk mengatasi masalah ini adalah menegakan hukum bagi perusahaan yang ikut andil membakar hutan. Penegakan hukum harus multi door agar bisa memberikan efek jera.

Data Bareskrim Polri hingga tangga 12 Oktober, tercatat sebanyak 244 laporan kasus kebakaran hutan dan lahan diterima jajaran Polri dengan rincian 194 perorangan dan 50 korporasi. 38 kasus di antaranya dengan tersangka perorangan disampaikan Kabareskrim Komjen Anang Iskandar telah tahap II dan siap dibawa ke meja hijau.

Hingga saat ini Polri telah menetapkan 233 tersangka dalam kasus kebakaran lahan dan hutan, dimana dan 16 diantaranya merupakan tersangka koorporasi. Dari jumlah tersangka tersebut, 72 orang perseorangan dan 5 tersangka korporasi telah ditahan.

Koordinator Gerakan Anti Asap Kalimantan Tengah Aryo Nugroho menyampaikan harus ada tindakan tegas dari pemerintah kepada pelaku pembakaran hutan dan gambut, khususnya korporasi. Korporasi yang terbukti membakar hutan dan gambut harus dicabut izinnya. Selain itu penegak hukum harus berani menyasar pemilik perusahaan bukan hanya menetapkan tersangka pada jajaran direksi. Para direksi hanya pekerja yang melaksanakan perintah pemilik perusahaan semata.

"Penegakan hukum belum sasar pemilik perusahaan-perusahaan besar, tapi memang ada hambatan karena dalam UU PT belum bisa menjerat ownernya," kata Aryo kepada gresnews.com, Sabtu (17/10).

Aryo yang juga Manajer Kampanye dan Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah mengatakan dalam memberikan efek jera kepada pembakar hutan semua penegak hukum, mulai dari penyidik, jaksa dan hakim harus memiliki perspektif yang sama tentang lingkungan. Penegakan hukum tidak hanya dilarikan ke soal pidana, namun sebagai kejahatan lingkungan.

Khusus bagi para pembakaran tidak bisa dijerat dengan KUHP dan Perda Nomor 5 tahun 2003 semata tetapi dengan penegakan hukum multi door mulai UU Perkebunan, UU Lingkungan dan aturan lain. Dengan demikian hukuman maksimal kepada pelaku bisa diterapkan.

Aryo mendukung pemerintah melakukan gugatan perdata. Kasus kemenangan pemerintah menggugat PT Kalista di Aceh bisa dijadikan yurisprudensi. Perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran dikenai hukuman ganti kerugian dan melakukan rehabilitasi lahan. "Jadi menindak tegas pembakar hutan harus dilihat dari semua aspek, jadi tidak hanya pencitraan. Sudah 18 tahun di Kalimantan Tengah pembakaran hutan terjadi," tegas Aryo.

MENCARI AKAR MASALAH - Seperti diketahui bersama bahwa akar soal dari bencana kabut asap tersebut bersumber dari monopoli penguasaan tanah pada segelintir orang. Pembukaan lahan baru dengan cara pembakaran lahan adalah cara paling terbelakang yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan demi menambah keuntungannya.
Pembakaran sangat ekonomis bagi perusahaan. Sebab hanya dengan mengupah orang antara Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000 untuk membakar lahan maka ratusan hingga ribuan hektar lahan baru dapat segera ditanami. Tentu saja pilihan ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan perusahaan harus mengeluarkan dana sekitar Rp 5-7 juta per hektar untuk membersihkan lahan (land clearing) menggunakan alat berat.

Selama belum menemukan satu pun perusahaan yang mendapat tindakan tegas berupa penutupan/pencabutan izin, memberikan ganti rugi, atau menjebloskannya ke penjara akibat tindakannya membakar lahan dan hutan, pembakaran hutan akan terus terjadi. Hal ini adalah tantangan yang harus dijawab pemerintah Joko Widodo - Jusuf Kalla jika pasangan ini benar-benar memperhatikan nasib mayoritas rakyat Indonesia.

Dari sisi penegakan hukum aparat penegak hukum sebagai perpanjangan pemerintah masih mengunakan pendekatan pola lama yaitu KUHP, dalam menindak pelaku pembakaran. Pendekatan yang digunakan oleh aparat penegakan hukum akhirnya terhenti hanya kepada masyarakat yang lemah dan tidak bisa menyentuh kepada pihak korporasi.

Hal yang sama juga dilakukan oleh pihak kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) dalam aksi penyegelan dilokasi korporasi yang terindikasi melakukan pembakaran. Padahal dalam pembakaran hutan dan lahan, Undang-Undang Perkebunan sudah mensyaratkan tentang tanggung jawab korporasi seperti yang diatur dalam, Pasal 56 Ayat 2 yang berbunyi "Setiap pelaku usaha perkebunan berkewajiban memiliki sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun".

"Hal ini tentunya memudahkan bagi para penegak hukum untuk membidik pihak korporasi yang wilayah konsesinya terbakar," kata Aryo.

SAMAKAN PERSEPSI - Jaksa Agung HM Prasetyo ikut geram dengan bencana asap ini. Dia menekankan perlu adanya kesamaan tindakan dan pikiran antara penegak hukum dan sistem peradilan guna memberikan efek jera dengan vonis maksimal terhadap para pelaku pembakaran, baik perorangan maupun perusahaan.

Berawal dari penyelidikan dan penyidikan baik PPNS Polri maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemberkasan harus sempurna. Bukan hanya jaksa yang kemudian melakukan penuntutan dengan jeratan maksimal, tentunya hakim juga harus punya persepsi yang sama untuk vonis dijatuhkan.

"Penyidiknya harus maksimal, penuntutnya juga maksimal dan tentunya hakim juga," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung Kamis (15/10).

Mantan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) ini mengingatkan peristiwa kebakaran hutan selalu berulang setiap tahunnya. Karenanya, Prasetyo memandang pentingnya penegakan hukum secara konsisten. Bahkan khusus untuk korporasi, dirinya menilai adanya modus dengan selalu menyalahkan kebakaran hutan disebabkan ulah perambah hutan.

"Selama ini perusahaan selalu berdalih ulah perambah yang kemudian apinya meloncat ke wilayah atau areal milik perusahaan. Mestinya suatu pencegahan bisa dilakukan (korporasi), dengan membuat parit atau lainnya," sambung Prasetyo.

Disamping gugatan pidana, Prasetyo menegaskan korporasi yang terlibat dalam pembakaran hutan dapat digugat secara perdata. Hal ini dikarenakan umumnya para pengusaha perkebunan sawit yang kerap menikmati keuntungan dari pembakaran hutan tersebut.

"Itu yang tidak fair, yang menikmati tentunya pengusaha perkebunan sawit. Teliti dengan cermat, tidak ada diskualitas perlakuan, siapapun yang terbukti harus diproses secara hukum. Selain pidana, kita juga bisa melakukan gugatan untuk pertanggungjawaban lingkungan. Intinya penegakan hukum harus dikedepankan," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Jaksa Agung menyoroti masih adanya kelemahan dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana Dalam penjelasan Pasal 69 ayat 2  dinyatakan, pembakaran lahan diperbolehkan dengan luas maksimal 2 hektare (ha).

Aturan ini menurutnya kerap dijadikan celah oleh para pelaku. Semestinya direvisi, tidak perlu ada memperbolehkan. Itu dijadikan alasan, masyarakat membakar alasan membuka lahan, pengusaha beralasan api meloncat ke areal mereka.

"Membakar memang dipandang lebih murah gak usah repot mendatangkan alat berat dan orang untuk mengerjakan pembukaan lahan," urainya.

POLISI AKAN JERAT MAKSIMAL - Kapolri Jendral Badrodin Haiti meyakinkan meski tak bisa mempengaruhi putusan hakim, namun penyidik akan mencantumkan faktor-faktor yang memberatkan pelaku pembakaran hutan di dalam berita acara penyidikan (BAP). Diharapkan hal tersebut dapat menjadi pertimbangan Majelis Hakim.

Dirinya menyebutkan, para pelaku dikenakan Undang-undang Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, UU Kehutanan dan UU Perkebunan dengan ancaman minimal 3 tahun penjara. "Maksimal ada yang 10 tahun, ada yang 15 tahun, atau dan dendanya Rp 5 miliar sampai Rp 15 miliar," kata Badrodin di Mabesl Polri beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) RI Ferry Mursyidan Baldan akan mendorong agar pengelola lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) turut bertanggung jawab mengatasi persoalan kebakaran hutan. Kementerian ATR/BPN RI akan mengevaluasi HGU lahan yang disewa perusahaan terkena kebakaran hutan.

Ferry menyampaikan lembaga yang dipimpinnya akan mengevaluasi seluruh lahan HGU yang terbakar untuk dikembalikan kepada pemerintah. Ada 38 daftar perusahaan pemegang HGU yang dievaluasi. Jika perusahaan tersebut tidak mampu menjaga lahannya terbakar akan diambilalih oleh negara.

BACA JUGA: