JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejadian tanggal 26 Desember 2004 itu masih melekat kuat di benak Zuhra (40), warga Lhok Seudu, Aceh Besar, Provinsi Aceh. Ketika itu, waktu menunjukkan pukul 07.45 dan Zuhra tengah menyiapkan sarapan pagi buat keluarganya seperti biasa. Tiba-tiba terdengar suara guncangan. "Mula-mula saya pikir itu suara tikus di bawah meja, tetapi kemudian kami sadar itu adalah gempa bumi," kata Zuhra dalam keterangan tertulis yang diterima Gresnews.com, Kamis (18/12).

Setelah itu, kata Zuhra, suasana mendadak hening dan dia bersama keluarganya kemudian pergi ke luar rumah. Dia melihat seluruh buah mangga yang ditanamnya, telah berjatuhan dari pohon. "Kami melihat sekitar semuanya tampak diam dan kami duduk lalu berdoa semoga semuanya baik saja. Tetapi kemudian air laut terlihat surut dan tsunami datang," ujarnya.

Zuhra mengaku dapat melihat gelombang pasang itu datang. "Tetapi kami tidak tahu apa yang harus dilakukan. Itu sangat mengerikan. Saya harus menolong ayah saya yang menyandang disabilitas untuk pergi ke perbukitan, sehingga kami agak lambat tetapi kami mampu mencapainya," ujarnya.

Hantaman gelombang mencapai ketinggian 15 meter di bawah tempat dimana Zuhra dan ayahnya berdiri. "Suami saya tiba di bukit terlebih dahulu dan kemudian turun ke bawah untuk menolong kami tepat waktu," ujarnya.

Zuhra adalah salah satu dari ribuan orang yang mampu menyelamatkan diri dari bencana tsunami 10 tahun lalu. Kini dia bersama suaminya tetap tinggal di kawasan pantai dan mencari nafkah dengan berjualan ikan. Mereka menjual ikan-ikan kecil yang sekalengnya dijual Rp40 ribu. Zuhra juga menjual ikan-ikan kering seharga antara Rp35 ribu hingga Rp80 ribu dan gurita kering seharga Rp150.000 per ekor.

"Ketika para nelayan membawa hasil tangkapan, masyarakat datang ke Lhok Seudu untuk membeli ikan kami atau kami menggunakan kendaraan berkeliling mengirimkan ikan seperti tuna ke pasar terdekat dimana kami bisa mendapatkan harga yang bagus. Perempuan di sini, menjual ikan segar dan ikan kering di kedai pinggir jalan kepada orang-orang yang melintas melalui desa kami. Kami mendapatkan uang lebih untuk ikan segar tetapi cukup baik juga menjual ikan kering karena lebih awet dan bisa dipakai untuk beragam masakan," ujarnya.

Zuhra, bersama suaminya T Buhari (40) kini menjalani kehidupan normal sebagaimana sebelum tsunami terjadi. "Anak-anak kami bersekolah di desa tetangga, Layeun, dan kami merasa kami memiliki kehidupan yang baik kembali di sini. Dalam waktu singkat setelah tsunami, kami ingin pergi dari sini, tetapi kami kemudian sadar bahwa ini adalah hidup kami. Kami tidak ingin pindah, kami ingin tinggal dan membangun kembali di sini," ujarnya.

Buhari juga mengaku sangat beruntung bisa bangkit dari bencana itu. Di kampungnya, hanya ada tiga korban meninggal dunia, meski wiayah itu terhantam gelombang sangat buruk. Sementara di wilayah lain, dari 1000 penduduknya, jatuh sekitar 300 korban jiwa.

Beberapa saat setelah bencana, warga pun mulai pergi ke kota mencari bantuan. "Setelah gelombang surut, beberapa dari kami pergi ke Banda Aceh untuk mencari pertolongan. Saya berada di salah satu tenda pengungsian dan bertemu Habiba yang bekerja untuk Oxfam," kata Buhari.

Oxfam lah yang kemudian datang dan memberikan bantuan di desa tempat Buhari tinggal. Di kampung itu Oxfam bekerja selama 3 tahun dan membangun sekitar 50 rumah untuk tempat tinggal penduduk yang berprofesi sebagai nelayan. Selain rumah, Buhari dan warga lainnya juga mendapatkan bantuan berupa sanitasi dan fasilitas air minum serta keperluan lainnya.

Bencana tsunami memang masing menakutkan bagi kebanyakan warga Lhok Seudu. Namun mereka, kata Buhari, kini bisa hidup lebih tenang karena mereka pun sudah belajar banyak untuk mengetahui apa yang harus dilakukan ketika bencana serupa nantinya terjadi.

"Kami sadar dan memiliki rencana evakuasi ke wilayah aman. Kami terkena tsunami kecil bulan lalu, hanya satu meter tingginya dan kami tahu apa yang harus kami lakukan. Kami berkumpul di pusat evakuasi dan segera bergerak ke bukit. Kami tidak punya sirene atau sistem peringatan dini, tetapi kami punya pengalaman dan dapat menggunakannya untuk mencapai tempat yang aman," kata Buhari.

Zuhra dan Buhari hanyalah satu dari sekian penyintas tsunami Aceh yang mampu bertahan hidup dan memulihkan kembali kehidupannya setelah mendapatkan bantuan yang tepat dalam tahap awal terjadinya bencana. Dari hasil penelitian Oxfam terungkap, kemurahan hati banyak pihak di dunia untuk menolong masyarakat yang terkena bencana tsunami tahun 2004 lalu memang telah menyelamatkan banyak nyawa dan berdampak pada kemampuan masyarakat untuk kembali pulih dalam jangka panjang.


Dalam laporan terbarunya, tsunami yang melanda tak hanya kawasan Aceh tetapi juga negara di sekitar Lautan Hindia lainnya menjadi titik balik penting bagi sektor kemanusiaan internasional setelah memetik pelajaran dan membangkitkan kekuatan sebagai hasilnya. Bencana tsunami tersebut memakan korban jiwa sebanyak 230.000 orang dan membuat 1,7 juta orang lainnya kehilangan tempat tinggal. Sekitar 5 juta orang di 14 negara di kawasan itu juga ikut terdampak.  

Komunitas internasional mengumpulkan dana sebesar US$13,5 juta dimana sebesar 40 persennya berasal dari individu, yayasan, dan perusahaan. Angka itu merupakan rekor dunia angka sumbangan swasta dan individu tertinggi dalam merespons krisis. Oxfam menerima sebesar US$294 juta dan 90 persen berasal dari pendonor swasta dalam bulan pertama. Dengan dana itu Oxfam mampu memberikan bantuan di Indonesia, Sri Lanka, India, Maladewa, Thailand dan Somalia.

Oxfam International Executive Director, Winnie Byanyima, mengatakan apa yang dicapai oleh respons kemanusiaan atas bencana tsunami tidak akan mungkin dicapai tanpa solidaritas dan kemurahan hati para penduduk di dunia. "Ratusan ribu orang dapat membangun kembali kehidupan mereka dengan kebanggaan," katanya dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Kamis (18/12).

Antara tahun 2004 dan 2009, Oxfam dan para mitranya telah menolong sekitar 2,5 juta orang. Oxfam membangun tempat perlindungan, menyediakan selimut, air bersih kepada lebih dari 40 ribu orang segera setelah bencana terjadi. Oxfam dan mitranya juga membangun sekitar 11.000 sumur dan sistem pengairan kota untuk 10 ribu penduduk di Aceh yang hingga kini masih berjalan dikelola oleh relawan setempat.

Untuk itu, Oxfam telah mempekerjakan sekitar 960.000 orang dari wilayah terdampak di Somalia dan Sri Lanka untuk proyek pembersihan dan konstruksi termasuk membangun dermaga dan memperbaiki perahu penangkap ikan serta memperbaiki 100 sekolah di Indonesia dan Myanmar. Sebagai bagian dari lembaga kemanusiaan di dunia, Oxfam dapat menolong anak-anak kembali ke sekolah dalam jangka 6 bulan di 14 negara yang terhantam tsunami.

Oxfam mengatakan, meskipun kucuran bantuan dana yang besar sangat penting untuk membantu kehidupan dan membangun kembali kehidupan, perlu dicatat, bahwa respons yang memadai terhadap krisis kemanusiaan masih sangat langka hingga hari ini. Selama lebih dari satu dekade belakangan, pendanaan internasional telah gagal memenuhi sepertiga dari kebutuhan dana yang dibutuhkan untuk bantuan kemanusiaan yang ditetapkan PBB.

Laporan itu mengatakan, faktor-faktor di luar kebutuhan kemanusiaan seperti strategi geopolitik dan faktor ekonomi, tekanan internasional dan liputan media, terus mempengaruhi bantuan dana pemerintah. Pendonor swasta seringkali terpengaruh, dalam hal tsunami, terkait dengan jenis kegentingan yang terjadi, kemampuan mereka untuk mengidentifikasikan diri dengan masyarakat yang terdampak dan dengan kesadaran akan dampak yang akan dirasakan masyarakat dari sumbangan mereka, akan membuat perbedaan.

Bencana tsunami telah menarik perhatian media selama dua bulan dibandingkan 10 bencana besar yang terlupakan di dunia sejak tahun 2003 termasuk krisis Darfur, gempa bumi di Iran yang menewaskan 25 ribu orang. Sebuah studi di Amerika Serikat memngungkapkan dari setiap menit berita jaringan televisi terkait tsunami, meningkatkan donasi online sebesar 13 persen.

Hal penting yang bisa dipelajari dari bencana tsunami ini adalah kebutuhan untuk investasi dalam mengurangi risiko bencana di masa depan. Ini menuntun kita pada pembangunan kerangka kerja "membangun kembali lebih baik" yang lebih terfokus pada menggantikan atau memperbaiki infrastruktur lebih baik dalam menghadapi bencana alam. Sudut pandang ini didukung oleh komunitas yang mendapatkan akses yang lebih baik terhadap kesehatan dan sumber daya.

Pelajaran penting lainnya adalah ketiadaan sistem peringatan dini yang dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa. Sistem tersebut telah dirancang dan meraih sukses saat diujicoba saat terjadi bencana gempa bumi tahun 2012.

Bencana tsunami Samudera Hindia juga lebih mempertajam sektor kemanusiaan dalam derajat tertentu ketika sebagai sebuah organisasi mereka menyadari mereka bisa lebih berkoordinasi pada aspek apa dari respons kegentingan yang bisa mereka ambil seperti penyediaan air, sanitasi, logistik dan tempat perlindungan.

BACA JUGA: