JAKARTA, GRESNEWS.COM - Greenpeace, Rabu (3/12) meluncurkan laporan berjudul "Terungkap: Tambang Batubara Meracuni Air di Kalimantan Selatan". Laporan itu menjelaskan betapa aktivitas pertambangan batubara yang luas di Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia, telah merusak sumber air, membahayakan kesehatan dan masa depan masyarakat setempat.

Laporan yang merupakan hasil investigasi lapangan Greenpeace selama kurang lebih enam bulan ini juga menyajikan bukti kuat betapa perusahaan-perusahaan tambang batubara itu telah menggelontorkan limbah berbahaya ke dalam sungai dan sumber-sumber air masyarakat. Perusahaan-perusahaan itu telah melanggar standard nasional untuk pembuangan limbah di pertambangan.

"Ini masalah serius yang harus segera diatasi. Sepertiga wilayah Kalimantan Selatan telah menjadi wilayah tambang batubara. Badan Lingkungan Hidup setempat telah gagal menghentikan atau mencegah pelanggaran. Karena jumlah pertambangan batubara sangat banyak, hampir setengah dari jumlah sungai di Kalimantan Selatan berisiko terpapar dampak pencemaran air dari pertambangan," tegas Arif Fiyanto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara.

Dalam laporan ini tercatat, 22 dari 29 sampel yang diambil oleh Greenpeace dari kolam penampungan limbah dan lubang-lubang bekas tambang dari lima konsesi pertambangan batubara di Kalsel ditemukan memiliki derajat keasaman (pH) yang sangat rendah. Jauh di bawah standar yang ditetapkan pemerintah.

Dari seluruh sampel, 18 diantaranya memiliki derajat keasaman (pH) di bawah 4. "Seluruh sampel yang diambil juga terdeteksi mengandung konsentrasi logam berat, kata Arif.

Kebocoran dan potensi melimpahnya air dari kolam-kolam yang terkontaminasi limbah berbahaya di konsesi pertambangan batubara menimbulkan bahaya pada rawa-rawa, anak sungai dan sungai di sekitarnya. Dari temuan itu, kata Arif, Greenpeace yakin terdapat bahaya yang nyata dari limbah berbahaya yang dilepaskan oleh perusahaan pertambangan ke badan-badan air dan lingkungan di sekitar konsesinya.

"Ketika anda membaca laporan ini, masyarakat di sekitar konsesi pertambangan batubara mungkin sedang menggunakan air yang berpotensi tercemari limbah berbahaya untuk  mandi, mencuci dan mengairi lahan pertanian mereka. Risiko-risiko yang mereka hadapi sangat tidak bisa diterima," ujarnya.

Sementara itu, peneliti air Greenpeace, Hilda Meutia mengatakan, ancaman kiamat ekologi di Kalimantan Selatan saat ini sudah semakin nyata. Menurutnya, dari hasil observasi dan penelitian dari beberapa lembaga lain menunjukkan, operasi tambang skala besar di Kalsel telah mengubah bentang alam Kalsel secara ekstrem yang mengakibatkan hilangnya banyak spesies tumbuhan dan hewan.

Pengerukan lapisan subur tanah untuk menambang batubara, telah membuat spesies cacing tanah yang berfungsi menjaga kesuburan tanah hilang dan tanah tidak lagi bisa ditanami. "Yang mampu tumbuh hanya tanaman akasia saja, ini membuat ancaman lahan akan hanya bisa ditumbuhi tanaman homogen dan menghilangkan kekayaan hayati," ujarnya.

Selain itu, kata Hilda, air asam tambang yang meracuni sungai juga membuat keberadaan spesies ikan tertentu menjadi terancam. Selain itu, dari beberapa laporan, kondisi ini juga sudah mulai mengancam manusia. "Banyak warga mengaku mengalami berbagai penyakit seperti penyakit kulit dan masalah pernafasan karena mengkonsumsi air yang tercemar," ujarnya.

Terkait hal ini, Greenpeace mengeluarkan beberapa rekomendasi dan tuntutan. Pertama, perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang meraup untung dari aktivitas pertambangan yang kotor dan ilegal ini, harus bertanggung jawab secara hukum dan moral untuk memulihkan lingkungan dari aktivitas ilegal mereka, untuk mengurangi limbah dari badan-badan air, atau ijin dari perusahaan tersebut harus dicabut.

Kedua, perusahaan yang terbukti melanggar hukum harus bertanggung jawab membiayai operasi pembersihan , bahkan jika ijin pertambangan mereka sudah selesai atau dicabut, karena masalah  air asam tambang akan bertahan selama beberapa dekade. Pemerintah tidak boleh memberi perusahaan pertambangan batubara "izin untuk meracuni" lingkungan dan masyarakat Kalimantan Selatan.

Ketiga, Otoritas pemerintahan yang terkait harus memantau dan melakukan investigasi secara lebih mendalam perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang melanggar standard nasional, dan mencemari lingkungan. Penegakan hukum harus diperketat, sanksi harus dipertegas, dan celah-celah regulasi harus ditutup.

"Masyarakat Kalimantan Selatan layak mendapatkan kehidupan dan penghidupan yang lebih baik, seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan keadilan, masa depan yang sehat dan lebih cerah dengan akses air bersih untuk mereka dan anak cucu mereka," kata Arif.

BACA JUGA: