JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dalam acara seminar Diversifikasi Energi di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (14/4), tampaknya berbuntut panjang. Dalam pernyataannya, JK mengatakan batubara dipilih sebagai sumber energi karena lebih ekonomis.

Pernyataan tersebut membuat para aktivis lingkungan geram. Mereka menilai, pernyataan JK membuktikan bahwa nilai ekonomis dan murah lebih diutamakan pemerintah ketimbang keselamatan masyarakat dan lingkungan.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Hendrik Siregar mengkritik pernyataan JK dan menunding pemerintah abai terhadap isu lingkungan dan keselamatan rakyat.

"Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah ingin rakyatnya mati secara pelan-pelan. Sudah tahu batubara itu kotor dan beracun tetapi masih dipakai karena alasan murah. Artinya, persoalan bangsa ini hanya dihitung dalam nilai ekonomis tetapi bukan mementingkan keselamatan rakyatnya," kata Hendrik saat dihubungi Gresnews.com, Selasa (14/4).

Hendrik menilai, pengelolaan sumber daya alam hingga kini diukur dalam konteks statistik. Artinya, nilai pendapatan yang besar menjadi prioritas tanpa memperhatikan dampak sosiologis dan ekologis.

Hendrik menilai, pemerintah selalu menggunakan alasan klasik dan berdalih bahwa investasi untuk program energi terbarukan mahal dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadi salah satu alasan belum terwujudnya pembangunan energi terbarukan di Indonesia.

Bagaimanapun, Hendrik bersikukuh menolak keberlanjutan pengelolaan energi batubara di Indonesia. Alasannya, batubara adalah energi kotor dan mengancam kelestarian lingkungan dan kehidupan masyarakat. Menurutnya, paradigma pemerintah terkait batubara murah dan ekonomis segera diubah. Selama ini pemerintah menggunakan batubara sebagai bahan bakar untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Kini hampir sebagian besar proyek pembangkit listrik menggunakan batubara.

"Seharusnya pemerintah segera beralih dari batubara ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Kini, energi terbarukan bukan lagi sebagai isu pinggiran atau alternatif melainkan energi utama bagi masa depan," tegas Hendrik.

Hendrik menilai sejauh ini pemerintah tidak menunjukan niat serius mengembangkan energi terbarukan sebagai program ramah lingkungan. Indikator tersebut dilihat dari upaya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memotong anggaran 31 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di pulau-pulau terluar Indonesia.

Diketahui, pemerintah memotong anggaran Kementerian ESDM sebesar Rp 4 triliun dari total anggaran Rp 16 triliun. Pemangkasan itu berdampak pada sejumlah proyek yang digarap Kementerian ESDM termasuk pembangunan 31 PLTS tersebut.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana berdalih, alasan pemotongan anggaran PLTS pulau terluar disebabkan oleh minimnya kesiapan masing-masing daerah. Selain itu, PLTS diklaim tak bisa berjalan karena faktor teknis dan administrasi.

"Awalnya, proyek itu masuk prioritas namun pemerintah kabupaten belum siap secara teknis dan administratif," kata Rida.

Rida menuturkan, alasan lain pemerintah memotong anggaran proyek PLTS di 31 pulau terluar karena dikhawatirkan tidak mampu memenuhi target capaian mengingat pembangunan PLTS di pulau terluar bukan persoalan mudah. "Selain kendala teknis dan administratif, proyek itu mengharuskan peningkatan kapasitas masyarakat terkait sistem operasional dan perawatan PLTS," jelas Rida.

BACA JUGA: