JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok untuk membangun Gian Sea Wall di teluk Jakarta demi mengatasi banjir kembali menuai kritik. Kalangan masyarakat sipil dan akademisi meragukan efektivitas bendungan yang dibangun untuk mengatasi banjir rob di Jakarta itu.

Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan, proyek bernilai Rp250 triliun itu hanya akan menguntungkan pengusaha properti. Sementara hak warga khususnya nelayan akan wilayah perairan untuk penangkapan ikan dan tempat tinggal akan dilanggar. "Proyek ini juga berpotensi merusak daya dukung lingkungan," kata Halim dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Selasa (7/10).

Dia menilai, Ahok sendiri mulai tidak percaya diri untuk melanjutkan proyek tersebut. Keraguan Ahok, kata Halim, dapat dipahami setelah melihat langsung kegagalan proyek bendungan laut Semaguem di Korea Selatan. "Secara faktual kota tersebut hanya dilalui oleh satu sungai saja dan berakhir dengan kondisi bendungan yang tercemar," ujarnya.

Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan rencana pemerintah untuk menjadikan Giant Sea Wall yang selain sebagai penahan gelombang juga sebagai tempat penampungan bahan baku air minum. Kondisi dimana Teluk Jakarta merupakan muara dari 13 sungai akan semakin memperbesar kemungkinan pencemaran di Teluk Jakarta karena proses sedimentasi secara alami yang terganggu.

Melihat kegagalan Korea Selatan, kata Halim, belakangan Ahok memang memalingkan mukanya dan ingin menjadikan bendungan laut di Rotterdam Belanda sebagai referensi untuk memuluskan proyek yang diklaim bisa mencegah Jakarta dari langganan banjir. Hal inipun dinilai Halim tidak tepat.

Alasannya, pendekatan "keras" terhadap solusi banjir di wilayah pesisir sudah tidak lagi menjadi trend. "Bahkan di Belanda sekalipun yang konon sebagian besar wilayahnya berada di bawah permukaan laut," ujarnya.

Sebuah tulisan berjudul "The Transition in Dutch Water Management" (van der Brugge, et al, 2005) menyebutkan bahwa pendekatan teknis dengan membangun konstruksi untuk melawan air seharusnya diimbangi dengan pendekatan kolaboratif antara aspek teknis dan sosial serta ekologi. Di Belanda sendiri, pernah terjadi banjir besar pada 1953 yang mengakibatkan kerugian hebat khususnya kota Rotterdam. Tercatat kurang lebih 2000 orang meninggal dan 47.300 rumah hancur disapu banjir.

Dalam buku tersebut juga di sebutkan. Merespon bencana tersebut, dibangunlah dam atau bendungan raksasa yang mengawal pesisir Belanda. Pada perkembangannya, banyak bangunan bersejarah dan ruang hijau yang dikorbankan akhirnya membuat masyarakat melakukan protes. Salah satunya protes terhadap pembangunan Eastern Scheldt Dam di Oosterschelde tahun 1970.

Sejak saat itu, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah mengedepankan konsep adaptasi dibanding mitigasi. "Misalnya melalui pembahasan bersama rencana menanggulangi banjir dengan berbagai pihak terkait seperti antar pemerintah, masyarakat, akademisi, pemilik tanah, pengusaha," ujar Halim.

Kecenderungan mengadopsi teknologi dengan pendekatan kaca mata kuda dan merusak keseimbangan alam tentu akan merugikan kota Jakarta itu sendiri. Belanda yang berada di kawasan sub-tropis tentu karakteristik pesisirnya tidak sama dengan Indonesia yang berada di perairan tropis. Nilai ekologis, ekonomis dan sosial ekosistem pesisir sub-tropis tidaklah setinggi nilai ekosistem pesisir tropis.

"Oleh karena itu, pendekatan reklamasi dan pembangunan tembok raksasa di Teluk Jakarta juga menjadi tidak relevan dan lemah secara argumentasi ketika harus mengorbankan ekosistem pesisirnya," kata Halim menegaskan.

Secara logis, bendungan tentu akan memperlambat debit air yang mengakibatkan pendangkalan sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Akibatnya, biaya yang besar  juga diperlukan untuk normalisasi sungai-sungai tersebut. Belum lagi kemunduran garis pantai yang diakibatkan proses sedimentasi yang berkurang seiring rusaknya hutan mangrove sebagai perangkap alami sedimen dari daratan maupun lautan.

Dari masalah tersebut, pendekatan prinsip kehati-hatian (the precautionary principle) mutlak diberlakukan sebagaimana tercantum dalam prinsip ke 15 dalam Deklarasi Rio tahun 1992 yang juga menjadi landasan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam prinsip tersebut dinyatakan bahwa: "Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradation".

Prinsip tersebut muncul jika terdapat ancaman kerugian yang serius atau tidak bisa dipulihkan, pengambil keputusan tidak dapat menggunakan kurangnya kepastian atau bukti ilmiah sebagai alasan untuk menunda dilakukannya upaya pencegahan atas ancaman tersebut. Jika pihak yang berwenang tidak mempunyai cukup bukti yang meyakinkan tentang akibat sebuah kegiatan terhadap lingkungan, maka izin kegiatan tersebut tidak boleh dikeluarkan.

"Intinya, jika pemerintah sebagai pihak yang berwenang tidak memiliki bukti ilmiah bahwa tidak akan ada kerusakan lingkungan yang tak dapat dipulihkan, maka kegiatan tersebut harus kembali pada pertimbangan kepentingan kelestarian lingkungan," kata Halim menandaskan.

Selain soal ekkologis, proyek Giant Sea Wall ini, dinilai Halim, potensial menggusur 16.855 nelayan Jakarta baik yang menetap maupun pendatang. Sementara itu, persoalan banjir dan krisis air yang menjadi ancaman serius bagi keselamatan warga Jakarta tetap tidak terjawab. Dengan ongkos pemeliharaan Rp1 triliun setiap tahun dan diambil dari uang negara, maka sesungguhnya pemerintah telah melakukan tindakan yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi.

Untuk itu, kata dia, pemerintah sudah seharusnya menghentikan rencana pembangunan Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. "Akan lebih tepat pemerintah segera menjalankan pembangunan kota Jakarta secara partisipatif yang dapat meningkatkan daya dukung lingkungan hidup dan menyelamatkan Jakarta dari bencana ekologis berupa banjir, krisis air dan lain-lain," ujar Halim.

Sebelumnya, pasca kunjungan Ahok ke Korea Selatan melihat perbedaan konsep antara rencana pembanguan GSW dengan tanggul di Korea. GSW dibangun untuk waduk atau bendungan sementara tanggul di Korea dibangun sebagai penahan ombak.

Melihat perbedaan konsep tersebut, Ahok pun memutuskan perencanaan pembangunan GSW akan merujuk pada Maasvlakte Sea Wall di Rotterdam, Belanda. Anehnya, Ahok tetap bersikeras akan meminta bantuan dari pemerintah Korea Selatan untuk konsep pembangunan GSW.

"Mereka tetap mau bantu desain. Mereka kan sudah pengalaman. Orang Korea ini dari zaman nenek moyangnya sudah biasa bangun penahan ombak. Di sana ombaknya ganas-ganas," ujar Ahok.

Proyek pembangunan GSW digagas pemerintahan DKI sebelumnya, Fauzi Bowo. Pembangunan ini direncanakan akan mereklamasi 17 pulau dan meninggikan tanggul. Tahap selanjutnya tanggul akan dikonstruksi. Setelah itu barulah dilaksanakan pembangunan GSW. Di balik bendungan raksasa ini nantinya akan dibangun pemukiman mewah.

"Konsepnya seperti Pantai Indah kapuk, Pluit, Muara Karang. Kita buat khusus untuk perumahan mewah. Tujuannya supaya menahan ombak. Istilahnya kita kasih yang paling ujung itu ke orang kaya. Jadi mereka akan bantu membuat benteng untuk menahan dan melindungi rumah mereka," kata Ahok.

BACA JUGA: