JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pelaksanaan megaproyek Giant Sea Wall di Utara Jakarta bakal dilanjutkan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Pembangunan tanggul laut raksasa ini telah dimasukkan dalam proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Ground Breaking proyek ini sendiri sudah dimulai sejak 9 Oktober 2014 lalu.

Giant Sea Wall digarap pemerintah dengan alasan tanggul model ini merupakan solusi penanganan banjir di Jakarta. Persoalan banjir pun diprediksi masih menjadi ancaman serius dikarenakan saat ini 40% permukaan tanah di wilayah Jakarta rata-rata di bawah permukaan laut.

Namun demikian, terjadi perbedaan pendapat soal pembangunan proyek tersebut. Walaupun Pemprov DKI Jakarta sepakat menyetujui pelaksanaan pembangunan tanggul raksasa ini, namun tidak bagi pihak legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta.

Giant Sea Wall kembali disinggung pada saat rapat DPRD DKI mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah terkait reklamasi 17 pulau di Jakarta, pada Rabu (3/2) lalu. Dalam pembahasan, disebutkan bahwa DPRD Jakarta sendiri belum yakin pelaksanaan megaproyek yang rencananya dibangun di Utara Jakarta itu akan segera dikerjakan dalam waktu dekat.

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohammad Taufik mengatakan, megaproyek Giant Sea Wall harus dikaji ulang dan membutuhkan proses waktu cukup panjang sekitar puluhan tahun untuk memastikan segala model kajian, studi kelayakan dan perencanaannya terjamin.

"Proyek reklamasi saja masih bermasalah apalagi mau memikirkan Giant Sea Wall. Belum ada pikiran ke situ dan belum bisa dilakukan pembangunannya sekarang. Butuh waktu puluhan tahun," kata Taufik kepada gresnews.com, Rabu (3/2).

Alasan pertimbangan dan kehati-hatian itu, kata dia, dapat belajar dari pengalaman berbagai persoalan yang terjadi saat ini seperti pembangunan reklamasi 17 pulau di Utara Jakarta yang menuai masalah tarik ulur penolakan dari masyarakat nelayan.

Menurut Taufik, perlu waktu yang panjang dalam mengkaji segala dampak pembangunannya. "Jangan sampai merugikan masyarakat nelayan di Jakarta Utara yang selama puluhan tahun telah menggantungkan hidupnya dari hasil laut," ujarnya.

Pembangunan tanggul raksasa juga dinilai banyak pihak bakal membawa dampak dan pengaruh yang sangat besar baik secara ekologis maupun sosial masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kedalaman dan lebar tanggul yang jauh lebih besar yaitu terbentang dari Jakarta Utara hingga Karawang.

TOLAK GIANT SEA WALL - Pemprov DKI Jakarta sendiri diminta tidak melanjutkan pembangunan tanggul Giant Sea Wall karena dampaknya malah akan memperparah lingkungan di Teluk Jakarta. Proyek ini diyakini justru mempercepat pendangkalan sungai, mengancam sektor perikanan lokal, dan menyebabkan permasalahan sosial.

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Jakarta Muhammad Taher menyebut, pernyataan DPRD DKI belum mendukung pembangunan tanggul raksasa di Jakarta Utara benar atau tidak perlu pembuktian. Menurutnya, mungkin saja hanya sekadar meredam pergerakan nelayan untuk tidak melawan.

Namun yang pasti, kata dia, kondisi nelayan di Teluk Jakarta saat ini benar-benar semakin sulit di tengah adanya pengerjaan proyek reklamasi 17 pulau. Apalagi jika seandainya Giant Sea Wall jadi dibangun, maka dia menilai, akan membawa masalah baru yang akan mengancam kehidupan nelayan.

Walaupun begitu, langkah perlawanan nelayan Teluk Jakarta untuk menolak pembangunan tak pernah surut. Taher menyebut, para nelayan pun sepakat tetap menolak ganti rugi atau relokasi apabila nanti ditawarkan pemerintah untuk pembangunan proyek.

"Pada intinya reklamasi dan Giant Sea Wall kami menolak dan mengutuk keras," kata Taher saat dihubungi gresnews.com, Jumat (5/2).

Mengenai tawaran ganti rugi dari pemerintah, kata Taher, tidak bisa mengubah nasib nelayan karena harapan untuk masa depan tidak hanya diukur dengan uang yang hanya bersifat sesaat.

Namun paling penting, tuturnya, adalah bagaimana mengembalikan ruang laut untuk penangkapan dan memulihkan lingkungan yang sudah rusak akibat reklamasi serta pembuangan limbah industri.

Dampak proyek pembangunan di laut, ucap Taher, sudah sangat jelas memiskinkan masyarakat nelayan karena menurunkan kualitas perairan dan hasil tangkapan.

Pembiaran dan pengabaian terhadap kerusakan lingkungan oleh pengembang (perusahaan) terlihat dari pembuangan limbah yang mengakibatkan terjadi pencemaran di Teluk Jakarta.

"Proyek Giant Sea Wall itu sama saja menghilangkan pekerjaan nelayan dan poros maritim hanya slogan semata," tuturnya.

BACA JUGA: