JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Percepatan penetapan hutan adat ini menjadi bukti ditunaikannya hutang konstitusi oleh negara. Ketua Badan Pengurus Perkumpulan HuMa Chalid Muhammad mengatakan, hal itu penting mengingat masyarakat adat adalah hak konstitusional yang telah lebih dari 47 tahun telah diingkari oleh negara. "Pengingakaran terhadap hak masyarakat adat merupakan kejahatan terberat dalam konteks bernegara," kata Chalid dalam Dialog Nasional Hutan Adat ´Penetapan Hutan Adat Demi Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat´, di Jakarta, Kamis (2/10).

"Percepatan penetapan hutan adat menjadi penting sebagai koreksi atas kesalahan tata kelola hutan yang telah melahirkan konflik, kerusakan lingkungan dan bencana ekologis yang terjadi selama ini," lanjut Chalid.

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia Andiko. Dia menyatakan, dalam Konstitusi Republik Indonesia Pasal 33 dan Pasal 18 jika disandingkan akan berbicara politik hukum ekonomi kerakyatan Indonesia. Ekonomi kerakyatan akan lahir, jika penetapan wilayah adat yang didalamnya terdapat hutan adat dilaksanakan. "Jika pemerintahan Jokowi-JK ingin mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan tersebut, maka mulainya dari pengakuan wilayah adat. Namun demikian, Paska Putusan MK 35, belum ada satu-pun penetapan hutan adat," kata Andiko.

Menurut mantan Hakim Konstitusi Prof. Dr. Ahmad Sodiki, putusan MK 35 adalah satu dari beberapa putusan MK terkait dengan UU Nomor 41 tahun 2014 tentang Kehutanan. Putusan ini telah membedakan hutan adat dan hutan negara. "Seharusnya, jika ada modal untuk penetapan hutan adat, bisa segera dilaksanakan, tentu saja dengan melibatkan dialog  multipihak," paparnya.

Faktanya meski putusan itu sudah diucapkan lebih setahun lalu, namun belum banyak pengakuan yang diberikan khususnya oleh kepala daerah terhadap hutan adat. Seperti diketahui, penetapan hutan adat tergantung pada subyek pemegang haknya, yakni masyarakat hukum adat. Penetapannya dilakukan berdasar Peraturan Daerah dan/atau Surat Keputusan Kepala Daerah.

Hasil penelitian HuMA menunjukkan baru beberapa wilayah saja yang sudah melakukan penetapan hutan adat melalui SK Kepala Derah. Misalnya Perda Kabupaten Morowali No. 13 tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Tau Taa Wana atau SK Bupati Luwu Utara No. 300 tahun 2004 tentang Keberadaan Masyarakat Adat Seko.

Selain itu, Kabupaten Tanah Datar juga telah mengimplementasikan adanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar nomor 4 tahun 2008 tentang Nagari. Nagari didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus ketentuan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah dan atau berdasarkan asal usul dan adat minangkabau yang diakui dan dihormati.

"Dalam perda ini juga dinyatakan bahwa wilayah nagari, meliputi wilayah hukum adat dengan batas-batas tertentu yang sudah berlaku secara turun temurun, diakui sepanjang adat dan atau berdasarkan kesepakatan," terang Ir. H. Shadiq Pasadique, SH. MM, Bupati Tanah Datar, Sumatera Barat.

Masih diperlukannya pengakuan perangkat hukum di tingkat daerah juga diakui para kepala daerah. Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah mengatakan, putusan MK 35 tidak merevisi pengakuan bersyarat mengenai keberadaan masyarakat hukum adat sesuai Pasal 67 UU Kehutanan 1999.

"Putusan MK 35 dipandang sebagai tindakan untuk memulihkan hak warga negara dan menata kembali hubungan masyarakat adat dengan pemerintahan dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan, dan hutan ini merupakan irisan bagian dari wilayah adat," ujarnya.

Dia menambahkan bahwa penetapan hutan adat dan kesejahteraan masyarakat hukum adat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan menjadi isu krusial. Apalagi 46% wilayah Provinsi Bengkulu adalah hutan lindung. 1.517 desa/kelurahan  ada di sekitar atau didalam kawasan hutan. Sementara itu, Yahya Muaz, yang hadir mewakili Wali Nangroe Aceh Darussalam menyebutkan bahwa 49,9% wilayah Aceh adalah hutan lindung.

Dalam kaitan ini, Kementerian Kehutanan sebenarnya juga masih berperan besar dalam menyiapkan bebragai perangkat hukum terkait penguan ini oleh daerah. "Semua dokumen ini menjadi penting dan bisa menjadi modal untuk penetapan hutan adat. Kementrian kehutanana tidak dalam kapasitas untuk mendiskuskan. Tapi bagamaina membuat itu menjadi simple dan sederhana, " tambah San Afri Awang, Kepala Balitbang Kementerian Kehutanan.

BACA JUGA: