JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sebagai hamba hukum yang harus bekerja demi menegakkan hukum dan keadilan serta menerima gaji dari pajak yang dibayarkan rakyat, aparat kepolisian seharusnya bisa bersikap adil dalam menangani konflik, khususnya jika melibatkan masyarakat adat dengan perusahaan. Sayang kenyataannya di lapangan berbicara lain, aparat sepertinya cenderung berpihak pada yang berkuasa dalam hal ini perusahaan.

Maka demikianlah, cerita klasik tentang rakyat, tentang masyarakat adat, orang-orang kecil yang selalu dikalahkan di muka "hukum" ketika berseberangan dengan kuasa pemilik modal, kembali berulang. Kisah pilu itu kembali terjadi di wilayah Masyarakat adat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan.

Ketika perusahaan dengan sewenang-wenang menuduh masyarakat adat Dayak Meratus melakukan tindak pidana pencurian kayu (ilegal logging) tanpa ba-bi-bu aparat segera bertindak dengan keras. Bentrok pun tak terhindarkan pada Senin malam (21/10) silam. Warga yang tak berdaya melawan kekuasaan aparat bersenjata pun tumbang. Seorang warga meninggal dunia, tiga luka-luka dan enam orang ditahan.

Bentrokan terjadi diduga lantaran masyarakat melakukan perlawanan saat dituduh melakukan kegiatan illegal loging di lahan konsesi PT Kodeko. Ketua Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel Yasir Fatah bercerita, sudah dari tahun 2000 lalu, PT Kodeko dan pemerintah mengakui kawasan hutan adat sebagai hutan negara yang dapat diperjualbelikan untuk kegiatan ekonomi.

"Padahal jelas dalam keputusan MK 35 disebutkan hutan adat bukanlah hutan negara, dan pengelolaan hutan adat dikembalikan ke masyarakat adat," kata Yasir kepada Gresnews.com, Kamis (23/10).

Sayangnya putusan itu memang tidak bisa segera dieksekusi. Fakta di lapangan, kata Yasir, malah hutan milik masyarakat adat dikuasai berbagai perusahaan pertambangan maupun perkebunan. Akibatnya bentrok antara masyarakat adat dan perusahaan pun tak terhindarkan sehingga tragedi tewasnya seorang warga Dayak Meratus pun tak terhindarkan.

Yasir berkisah, kejadian ini berawal dari langkah pihak kepolisian menindaklanjuti pelaporan pihak perusahaan atas adanya penebangan liar di kawasan yang diklaim sebagai milik perusahaan. Aparat polisi pun segera melakukan patroli di kawasan hutan. Mereka sempat melihat aktivitas warga memungut hasil hutan dan menganggap kegiatan itu sebagai aktivitas ilegal logging.

Demi menangkap si pelaku, aparat kepolisian pun mendatangi perkampungan warga. Warga yang merasa hutan itu adalah hutan adat yang mejadi tempat tinggal dan hidup mereka selama ribuan tahun lalu pun menolak tuduhan mencuri kayu. Aparat polisi bersikeras melakukan penangkapan.

Warga pun melawan mencoba mempertahankan hak dan martabat mereka. Mereka meyakini kayu yang ditebang merupakan kawasan hutan milik adat.

Senin (21/10) menjelang Selasa dini hari bentrokan pun tak dapat dihindarkan, sejumlah 35 personel dari Polresta Bumbu melawan beberapa warga adat yang menolak dikriminalisasi. Korban dari pihak masyarakat pun tak bisa dihindarkan.

"Memang kan tidak ada batas yang jelas di lapangan. Ini yang buat rancu, jadi tidak bisa juga disalahkan polisi atau warganya. Polisi hanya melakukan tugas, Yang menjadi persoalan si pemberi izin hanya maping tapi tidak liat adanya pemukiman dan lain-lain," ujar Yasir.

Yasir mengatakan, jumlah pasti dari warga yang berada di tempat kejadian perkara (TKP) yang berada di Kecamatan Manteweh km 52 Kabupaten Danau Bumbu belum dapat dipastikan. Tapi dari jumlah korban diperkirakan sekitar lebih dari sepuluh orang. Korban meninggal merupakan warga Desa Malinau, 3 orang lainnya luka, dan 6 orang ditahan, namun sudah diperbolehkan pulang pada Kemarin malam (22/10).

Info yang didapatkan AMAN, siang tadi telah dilakukan pemakaman dan perdamaian antara korban meninggal dan pihak aparat kepolisian. Perdamaian dimediasi oleh tokoh adat dengan adanya kompensasi dana kepada keluarga korban meninggal maupun luka-luka. "Tapi bagi AMAN, ini bukan hanya masalah perdamaian tapi adanya tindakan penembakan dan pelanggaran hak asasi warga yang dikhawatirkan akan berulang di kemudian hari," kata Yasir.

Untuk itu, AMAN Kalsel akan mengirim surat aduan ke Polda Kalsel, Kapolresta bumbu, Kapolri, dan Komnas HAM untuk dilakukan upaya penegakan hukum. Yasir mengatakan, dilepaskannya keenam warga Dayak Meratus juga hanya merupakan buah ketakutan pihak aparat akan kemungkinan adanya serangan balasan yang dilakukan masyarakat adat.

"Mereka hanya dijadikan saksi karena isu ini sensitif, selain ada yang meninggal, masyarakat Dayak Meratus dan Dayak Kaltim yang berjumlah 500 orang lebih mengancam akan mendatangi Polresta Tanah Bumbu," jelasnya.

Dari catatan AMAN, sepanjang 2013 hingga 2014 terdapat 14 orang warga adat yang dikriminalisai akibat berbagai tuduhan. Salah satunya pidana terhadap 7 orang yang dituduh mencuri sarang burung di Kab. Kota Baru, padahal sarang burung tersebut milik mereka. Ada lagi penebangan kayu di Kecamatan Uren, Dayak Pitab, padahal itu merupakan kawasan hutan adat.

Saat dikonfirmasi soal kasus ini, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Ronny Franky Sompie mengaku belum mendapatkan kabar. Apalagi terkait adanya penembakan terhadap masyarakat Dayak Meratus sehingga jatuh korban tewas.

"Saya akan coba konfirmasikan dulu, jika sudah ada info dari sana akan saya klarifikasi. Sekarang saya belum tahu masalah tersebut," ujarnya saat diklarifikasi Gresnews.com melalui telepon, Kamis (23/10).

BACA JUGA: