JAKARTA, GRESNEWS.COM – Terbitnya Surat Keputusan Kementerian Agraria dan Tata Ruang Nomor 1373/020/III/2016 tentang penyelesaian konflik agraria antara Suku Anak Dalam dan PT Asiatic Persada (PT AP) tidak lantas menyelesaikan masalah. Pasalnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jambi hingga saat ini belum mengimplementasikan SK menteri tersebut.

Sejak SK Kementerian Agraria dan Tata Ruang terbit pada 29 Maret 2016, warga SAD masih melakukan demonstrasi dan aksi pendudukan di Kantor Gubernur Jambi dan di Kantor BPN Provinsi Jambi. SAD menuntut BPN Jambi segera melakukan langkah konkret berupa pengukuran kembali lahan seluas 3.550 hektare milik SAD serta menyerahkan lahan yang digarap PT AP kepada SAD.

Joko Supriyadi Nata dari Serikat Tani Nasional yang juga tim advokasi SAD mempertanyakan sikap BPN Jambi yang belum juga melakukan langkah apa pun terkait SK menteri Agraria. Dia menduga, dengan tidak menjalan SK itu, BPN berarti telah mengangkangi SK Nomor 1373 terkait penanganan konflik SAD dengan PT Asiatic Persada.

"Sampai sekarang belum ada kejelasan dari Kanwil BPN provinsi Jambi untuk melaksanakan Surat Keputusan Kementerian Agraria," kata Joko kepada gresnews.com, Sabtu (15/4).

Joko mempertanyakan sikap BPN Jambi yang terkesan mengingkari kebijakan pemerintah pusat. Padahal jelas, kata Joko, dalam SK tersebut ditegaskan untuk segera diselesaikan sampai bulan September tahun ini. "Kita juga bingung kok BPN mengingkari keputusan itu. Limit-nya kan sampai bulan September 2016," keluh Joko.

Sebelumnya, dalam pertemuan antara SAD dan PT Asiatic Persada pada Kamis (14/4), pihak PT Asiatic Persada, seperti tercantum dalam berita acara pertemuan itu, menolak SK Menteri Agraria untuk melakukan pengukuran ulang terhadap lahan seluas 3.550 hektare yang dimiliki SAD. Pihak PT AP menilai konflik tersebut sudah diselesaikan dengan pola 2000 ha lewat SK Bupati Batanghari Nomor 180 tahun 2014.

Menurut Joko, penolakan dari PT Asiatic Persada terhadap SK Menteri Agraria yang baru tidak boleh menjadi alasan bagi BPN untuk tidak menindaklanjuti SK itu. Karena di dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat dalam Kawasan Tertentu juga diatur didalamnya. "Ini termasuk hak komunal dari SAD. Dalam Permen itu juga menegaskan untuk diserahkan," ujarnya.

Terkait dengan ruwetnya penyelesaian konflik SAD dengan PT Asiatic Persada, Achmad Surambo dari Sawit Watch mengatakan, konflik tersebut sangat kusut, sehingga memang perlu kehati-hatian saat melakukan penyelesaiannya.  "Ini becek sekali. Ada banyak kepentingan yang ada dalam konflik Asiatic Persada ini. Masalahnya sangat complicated," ujar Surambo kepada gresnews.com, Sabtu (16/4).

Setidaknya ada beberapa instansi yang menangani persoalan ini, mulai dari Pemerintah Daerah Batanghari, Pemprov Jambi, BPN Kanwil Jambi, Pemerintah pusat (Kementerian Agraria), pihak perusahaan dan Suku Anak Dalam. Menurut Surambo, ada berbagai kepentingan yang ada dalam penyelesaiannya. Bahkan masyarakat, imbuh Surambo, juga terbagi ke dalam beberapa fragmentasi lagi.

Meskipun demikian, Surambo juga mempertanyakan sikap BPN yang terkesan tidak patuh kepada atasannya. SK yang dikeluarkan itu dari Kementerian Agraria, sementara BPN merupakan perpanjangan tangan pemerintah Pusat di daerah yang seharusnya menindaklanjuti penyelesaian itu mengacu kepada SK menteri. "BPN-nya tidak melakukan ini. Menjadi janggal dan kita bertanya, ada apa ini? Tapi soal ini sangat crowded sekali," kata Deputi Sawit Watch itu.

Surambo menambahkan, terkait dengan SK tersebut sebaiknya juga dikaji dengan teliti. Apakah SK tersebut menganulir HGU PT Asiatic Persada atau masih dalam bentuk hutan adat. "SK menteri juga mesti dilihat, apakah dia menyatakan pengurangan HGU atau bagaimana," tanya Surambo.

Namun secara normatif, Surambo tidak menampik kemungkinan kementerian untuk mengoreksi izin Hak Guna Usaha yang telah diterbitkannya. Menurutnya izin HGU sebenarnya juga dikeluarkan oleh kementerian di tingkat pusat. sehingga jika ada koreksi terhadap HGU yang sudah diterbitkan bisa saja dilakukan oleh kementerian terkait.  "Izin HGU itu diberikan oleh pemerintah pusat. Maka logikanya, bisa saja pemerintah pusat mengoreksinya," ujar Surambo.  

KONFLIK MENAHUN DAN KOMPLEKS - Konflik antara Suku Anak Dalam dan PT Asiatic Persada ini sendiri memang bukan hanya berlangsung menahun tetapi juga kompleks. Pasalnya, dimasukkannya lahan milik SAD menjadi lahan milih PT AP juga terjadi akibat warisan konflik tahun 1970-an. Saat itu, perusahaan yang ketika itu bernama PT BDU, pada tahun 1970-an masuk ke kawasan Batanghari dan Muaro Jambi sebagai pemegang hak pengusahaan hutan di kawasan tersebut.

Pada tahun 1987, PT BDU diberikan izin untuk mengelola lahan seluas 20.000 hektare di dalam area pembalakannya untuk mengembangkan perkebunan kepala sawit. Tetapi baru menjelang tahun 1990-an kelapa sawit mulai ditanam secara besar-besaran. PT BDU kemudian diganti namanya menjadi PT AP pada tahun 1992.

Saat perkebunan-perkebunan mulai melakukan perluasan di tanah Batin Sembilan, sengketa-sengketa muncul. Kemudian, saat situasi politik berubah sehingga masyarakat dapat menyampaikan pandangan mereka, mereka mulai meminta hak-hak atas tanah dan kompensasi untuk tanah yang hilang karena kelapa sawit. Perusahaan juga berganti kepemilikan beberapa kali, pertama-pertama dibeli oleh Commonwealth Development Corporation dan Pacific Rim (2000), setelah itu Cargill (2006) dan akhirnya oleh Wilmar pada tahun yang sama.

Sebagai tanggapan terhadap permintaan masyarakat untuk tanah dan kompensasi, pada tahun 2004-2005, perusahaan menawarkan 650 hektare lahan untuk petani kecil di bagian selatan dan 350 hektare di bagian utara Hak Guna Usaha (HGU) PT AP. Peta-peta dengan sangat jelas menandakan area tersebut dan ada papan-papan yang dipasang. Akan tetapi, setelah Wilmar mengambil alih, perusahaan menarik kembali tawarannya untuk menyediakan tanah untuk petani kecil.

Hasilnya adalah peningkatan konflik, dimana Wilmar, sebagai tanggapan terhadap serangkaian keluhan yang diajukan oleh LSM-LSM ke International Financial Corporation, yang merupakan bagian dari World Bank (Bank Dunia), setuju untuk dimediasi melalui proses Compliance Advisory Ombudsman dari IFC.

Beberapa kelompok masyarakat menolak proses negosiasi ini namun kelompok-kelompok lain akhirnya setuju. Di bagian utara HGU, peta-peta partisipatif dikembangkan yang menunjukkan luasan dari klaim tanah masyarakat adat di dalam konsesi. Akan tetapi, Wilmar menolak untuk mengakui tanah mereka di dalam HGU atau memberikan kebun petani kecil tetapi menawarkan tanah seluas 1.000 hektare yang merupakan usaha gabungan di atas lahan pemerintah, di bagian barat HGU mereka.

Walaupun mediasi akhirnya mogok, satu kelompok di utara menolak tapi kelompok lain menerima. Akan tetapi, pemimpin kelompok itu akhir-akhir ini menyangkal kesepakatan tersebut, yang disebut-disebut menawarkan hasil atau keuntungan yang lebih baik untuk pihak perusahaan daripada masyarakat, dan pemimpin kelompok sekali lagi meminta pengembalian tanah adat yang ada di dalam konsesi. Sementara itu di bagian selatan HGU juga masih belum ada kemajuan apapun dalam penyelesaian masalah ini.

Ketika negosiasi macet, rakyat Batin Sembilan pindah kembali ke kawasan HGU dan menata kembali permukiman mereka. Pada awalnya, PT AP menawarkan pekerjaan sementara mengumpulkan buah-buah jatuh. Tetapi PT AP kemudian mulai gerah gara-gara adanya ulah seorang wiraswastawan lokal yang tinggal di salah satu permukiman dalam HGU yang mencuri dan menjual buah sawit milik PT AP dalam jumlah yang signifikan.

Ulah sang wiraswastawan itu ternyata memicu konflik terbuka antara pihak perusahaan dengan warga Suku Anak Dalam Batin Sembilan, yang kadung curiga kepada masyarakat. Pertemuan dengan masyarakat tidak menyelesaikan permasalahan lahan atau konflik tentang buah.

Pada bulan Juli 2011, perusahaan mengontrak pihak keamanan untuk mengamankan pengendalian atas perkebunan mereka. Pada bulan Agustus, persengketaan tentang buah curian dengan si wiraswastawan berujung dengan ditahannya truknya milik si wiraswastawan. Akibatnya, muncul pertengkaran antara warga dengan polisi dan terjadi peristiwa pencurian senjata polisi yang diduga dilakukan oleh warga.

Rentetan peristiwa itu membuat pihak kepolisian melakukan operasi besar-besaran untuk mengembalikan persenjataan tersebut, akibatnya bentrokan pun tak terhindarkan antara warga Suku Anak Dalam dengan anggota kepolisian. Seorang anggota polisi terluka parah dan pasukan dari Brimob yang diturunkan untuk mengendalikan situasi melepaskan tembakan yang menyebabkan penduduk desa berlarian ke hutan dan satu orang terluka di punggung akibat terkena peluru.

Kasus ini juga semakin rumit ketika PT AP kemudian dibeli oleh Ganda Group yang sebenarnya masih punya kaitan dengan Wilmar. Ganda diketahui memasok minyak sawit bagi Wilmar Internasional.

Greenpeace mencatat, pemilik konsesi saat ini, Ganda, memiliki rekam jejak masalah lingkungan dan sosial di dalam konsesi perkebunan sawit mereka. "Greenpeace mengutuk kekerasan ini dan menyampaikan belasungkawa yang dalam kepada keluarga korban dan masyarakat," kata Annisa Rahmawati, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Annisa mengatakan Greepeace Indonesia menilai konflik yang terjadi antara AP dengan warga SAD merupakan kulminasi hubungan antara banyaknya tindakan yang merusak dari sisi lingkungan dan sosial dengan grup Ganda. "Operasi perusahaan seperti inilah yang memberikan reputasi negatif terhadap kelapa sawit Indonesia seperti citra yang terbentuk saat ini," kata Annisa.

BACA JUGA: