JAKARTA, GRESNEWS.COM - Seperti telah diungkapkan dalam bagian pertama dan bagian kedua tulisan ini, warga Suku Anak Dalam dibantu beberapa lembaga swadaya masyarakat seperti Forest Peoples Programme, Sawit Watch, Setara dan HuMA, memprotes penjualan saham PT Asiatic Persada (AP) oleh Wilmar kepada Ganda Group. Penjualan saham itu sendiri memupus harapan Suku Anak Dalam untuk menyelesaikan konflik lahan dengan PT AP yang sudah berlangsung selama 20 tahun. Bagi warga Suku Anak Dalam, meski secara adat mereka selalu hidup berpindah, tidak berarti mereka tidak memiliki wilayah untuk didiami.

Seperti diungkapkan Roni, Kepala Dusun Sungai Beruang, meski hidup berpindah-pindah mereka tetap berada dalam wilayah atau teritori adat mereka yang sudah didiami sejak dulu. "Kami berpindah-pindah untuk berburu, mengambil, mengumpulkan tanaman obat, akar, rotan dan kayu. Kami punya tempat suci yang kami kunjungi dan kami punya tempat kuburan kami. Kami berpindah-pindah dalam hutan karena ini merupakan adat kami dan ini adalah hak adat kami dan karena ini adalah tanah kami untuk kami gunakan dan hutan kami untuk kami dapat hidup darinya," demikian kata Roni seperti dikutip laporan investigasi terkait masalah ini yang dokumenya diterima Gresnews.com.

Berdasarkan sejarahnya, Suku Anak Dalam sendiri sudah eksis sejak berabad silam di kawasan Jambi. Khusus masyarakat Batin Sembilan, dinamakan demikian karena mereka adalah keturunan dari sembilan bersaudara yang menetapkan pemukiman mereka sepanjang sembilan sungai yang kini mereka huni. Para leluhur mereka membuat pemukiman kecil di sisi sungai yang semi-permanen dan hidup dari perladangan berpindah, berburu, menangkap ikan dan dari mengumpulkan hasil hutan baik untuk digunakan sendiri dan untuk diperdagangkan. Keterikatan sejarah dan kebudayaan yang begitu kuat antara masyarakat Batin Sembilan dengan tanah adatnya digabungkan dengan perpindahan yang rutin dan sering dilakukan di sekitar tanah-tanah ini dengan alasan ekonomi dan kebudayaan.

Sayangnya ketika jaman berganti pengkuan terhadap hak tanah milik mereka pudar, dan memasuki era Orde Baru, dengan kebijakan yang serba homogen dan terpusat, hak tersebut kemudian dihilangkan. Semua lahan milik masyarakat adat oleh rejim Orde Baru dijadikan sebagai tanah negara. Negaralah yang kemudian berhak menguasai dan memberi ijin pada siapapun untuk menguasai dan menggarap lahan-lahan yang menjadi milik negara. Ketika kemudian ijin dan hak itu diberikan kepada swasta, maka konflik dengan masyarakat adat pun terjadi. Di era Orde Baru yang otoriter, masyarakat Batin Sembilan tak banyak memiliki kesempatan dan keberanian untuk melakukan perlawanan atas pemerkosaan terhadap hak ulayat mereka.

Namun ketika rejim Orde Baru tumbang tahun 1998, mulailah masyarakat Batin Sembilan berani memperjuangkan hak mereka atas lahan seluas 20.000 hektare yang dikuasakan negara kepada PT AP. Sayang saat upaya mereka memperoleh hak sekaligus mengakhiri konflik nyaris selesai, harapan itu memudar seiring penjualan saham PT AP oleh Wilmar kepada Ganda Group. Pihak warga Batin Sembilan, bersama FPP, Sawit Watch dan Setara pun kemudian berkirim surat kepada pihak Wilmar mempertanyakan alasan penjualan itu. Dalam surat bertanggal 14 Mei 2013 itu, pihak Batin Sembilan yang diwakili oleh Abun Yani, Ketua Adat Suku Anak Dalam Batin Sembilan mempertanyakan penjualan itu.

Warga protes karena penjualan tersebut justru terjadi di tengah proses mediasi yang mulai menunjukkan kemajuan ketika setidaknya dua komunitas Suku Anak Dalam, yaitu dari Dusun 4 Sungai Beruang dan Kelompok Pinang Tinggi, berharap besar pada proses yang difasilitasi oleh CAO. "Mereka berkeinginan agar proses mediasi tersebut bisa dilanjutkan dan ditingkatkan," kata Abun Yani. Yang mengejutkan lagi, masyarakat justru tahu adanya perjanjian penjualan saham di bulan April 2013 itu, dari pihak CAO bukan pihak PT AP sendiri. "Peralihan ini, dan ketidakpastian atas persyaratan dan implikasi pada proses mediasi, memiliki dampak serius pada semangat masyarakat tersebut," ujar Abun Yani lagi. Masyarakat kini malah cemas terhadap nasib kemajuan proses mediasi yang telah dicapai. Kecemasan terjadi karena saat ini PT Asiatic Persada telah dijual ke perusahaan yang bukan bagian dari Wilmar, bukan anggota RSPO dan tidak didanai oleh IFC.

Paska penjualan itu, masyarakat Suku Anak Dalam, sebenarnya telah melakukan pertemuan, dengan pihak CAO-IFC dan juga tim dari Pemrov Jambi pada tanggal 6 Mei 2013. Dalam pertemuan itu mereka mendiskusikan tentang dampak dari penjualan saham PT AP kepada pihak lain terhadap proses mediasi yang sedang berjalan. Ketika itu, para pihak setuju tim CAO-IFC bersama dengan pemerintah Provinsi Jambi yang tergabung dalam Join Team Mediation untuk meneruskan proses mediasi dengan tidak merubah subtansi mediasi dan melanjutkan beberapa kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak dalam proses mediasi.

Dalam pertemuan itu juga disetujui agar Wilmar sebagai pemilik awal dari PT AP tetap terlibat dalam proses mediasi selanjutnya sebagai pengamat penting. "Karena menurut kami meskipun PT Asiatic Persada telah dikuasai oleh pihak lain, tapi Wilmar tetap harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai bisa berjalan dengan semestinya," kata Abun Yani. Masyarakat berharap, sebagai anggota RSPO, Wilmar memiliki itikad baik dan berkomitmen untuk mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Kode ETIK RSPO.

Kode etik itu mengharuskan Wilmar berkomitmen untuk keterlibatan terbuka dan transparan dengan pihak yang berkepentingan, dan aktif mencari penyelesaian konflik. Karena itu, Wilmar berkewajiban memberikan informasi secara resmi dan menyeluruh kepada masyarakat terdampak di PT Asiatic Persada sebelum melakukan kesepakatan penjualan harus dilakukan oleh Wilmar untuk memastikan bahwa kewajiban dalam hubungan yang terbuka dan transparan ini telah dilakukan.

Atas permintaan itu, pihak Wilmar dalam surat jawabannya kepada masyarakat dan LSM bertanggal 2 Juli 2013 menegaskan bahwa penjualan tersebut telah diinformasikan kepada para pemangku kepentingan. Pihak Wilmar yang diwakili Jeremy Goon, Group Head Corporate Social Responsibility, mengatakan, pihak pembeli mengetahui perkembangan dan status mediasi. "Dan kami telah meyakinkan mereka untuk melanjutkan proses negosiasi," kata Jeremy Goon seperti dikutip dari surat balasan tersebut. Ia juga menegaskan bahwa pihak pembeli telah menunjukkan keinginan untuk meneruskan proses tersebut dan pihak Wilmar akan melakukan upaya agar alih tangan proses negosiasi dapat berjalan mulus. "Kami akan membantu mereka dimana kami bisa meyakinkan sebuah transisi yang mulus," kata Jeremy lagi.

Hanya saja masyarakat tak puas akan jawaban itu. Mereka kembali berkirim surat kepada pihak Wilmar dan tetap mempertanyakan beberapa hal diantaranya mengapa pihak masyarakat yang terdampak oleh operasi PT AP tidak diberi tahu secara formal dan mempertanyakan bagaimana nantinya Wilmar menjamin masyarakat yang terdampak, memiliki akses terhadap individu dari manajemen baru PT AP untuk meneruskan mediasi. Sayangnya pihak Wilmar dalam tanggapannya tertanggal 7 Juli 2013, tidak juga menjawab pertanyaan mendasar dari masyarakat Suku Anak Dalam tersebut. dalam surat itu Jeremy Goon beralasan, dalam proses jual-beli antara pihak Wilmar dan pembeli (Ganda Group-red), terikat oleh klausul rahasia yang harus terus dijaga diantara kedua belah pihak. "Karenanya kami tidak bisa memberitahukan penjualan PT AP kepada siapapun, bahkan tidak kepada karyawan kami sendiri," ujar Goon.

Lagipula kata dia, tidak ada kewajiban secara eksplisit di dalam Kode Etik RSPO untuk mengkomunikasikan keputusan komresil seperti penjualan properti kepada pihak lain. Lagipula kata Goon, pihak Wilmar pun telah memberitahukan proses penjualan tersebut kepada tim mediasi dalam pertemuan tanggal 30 Maret 2013. "Kami berharap, tim mediasi dapat menjangkau semua pihak yang terdampak," ujar Goon.

Dengan adanya jawaban itu, kelanjutan proses negosiasi memang masih belum jelas benar. "Karena itu kami mengirim surat kepada IFC untuk mempertanyakan kelanjutan proses mediasi ini," kata Carlo Nainggolan, Environmental and Policy Initiative Department Sawit Watch. Intinya, warga dan LSM mempertanyakan kebijakan IFC atas terjadinya penjualan saham PT AP oleh Wilmar dan apakah pihak Wilmar sudah memberitahukan rencana penjualan itu ke IFC sebelumnya.  "Kini kami masih menunggu jawaban dari IFC," kata Carlo.

Melihat kondisinya, boleh jadi harapan warga Suku Anak Dalam untuk memperoleh kembali pengakuan atas hak terhadap tanah adat mereka tidaklah besar. Ganda Group yang tidak terikat oleh RSPO, boleh jadi menganggap konflik yang terjadi tidak harus segera diselesaikan, lantaran memang tidak ada kewajiban untuk itu. Namun sepertinya semua pihak perlu mendengar pernyataan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan dalam acara peluncuran buku "Menuju Nol" yang mengisahkan 10 tahun perjuangan Greenpeace membela hutan Indonesia, Selasa (8/10) di Ruang Sonokeling Kementerian Kehutanan.

Zulkifli Hasan bilang, Kementerian Kehutanan telah diminta oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi leading sector untuk menyelesaikan undang-undang mengenai hak masyarakat adat di DPR. "Kami mengajak kepada kawan-kawan bagaimana mempercepat (pengakuan-red) hak-hak masyarakat adat itu," kata Menteri Kehutanan. Dengan pernyataan itu, pemerintah telah menegaskan keberpihakannya pada upaya mengakui hak masyarakat adat termasuk hak atas wilayah. Karena itu, jika konflik antara warga Suku Anak Dalam vs PT Asiatic Persada ini dibiarkan, itu sama saja artinya dengan menentang kebijakan pemerintah.

(GN-03)

BACA JUGA: