JAKARTA, GRESNEWS.COM - Setelah lama tak terdengar kabarnya, konflik ternyata kembali pecah antara warga Suku Anak Dalam (SAD) dengan PT Asiatic Persada, bagian dari Ganda Group yang memasok pedagang minyak sawit yang berbasis di Singapura, Wilmar Internasional. Akibat konflik yang terjadi pada hari Kamis (6/3) itu, satu orang warga SAD tewas dan lima warga lainnya luka-luka akibat diserang oleh kelompok sekuriti PT AP yang dibantu oknum militer.

Masyarakat Suku Anak Dalam telah lama berjuang untuk mendapatkan pengakuan hak atas lahan mereka selama lebih dari dua dekade. Pemilik konsesi saat ini, Ganda memiliki rekam jejak masalah lingkungan dan sosial di dalam konsesi perkebunan sawit mereka."Greenpeace mengutuk kekerasan ini dan menyampaikan belasungkawa yang dalam kepada keluarga korban dan masyarakat," kata Annisa Rahmawati, Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, dalam pernyataan tertulis yang diterima Gresnews.com, Sabtu (8/3).

Annisa mengatakan Greepeace Indonesia khawatir kematian tragis ini merupakan kulminasi hubungan antara banyaknya tindakan yang merusak dari sisi lingkungan dan sosial dengan grup Ganda. "Operasi perusahaan seperti inilah yang memberikan reputasi negatif terhadap kelapa sawit Indonesia seperti citra yang terbentuk saat ini," kata Annisa menambahkan.

Ganda memiliki hubungan perdagangan yang dekat dengan Wilmar, begitu juga hubungan pribadi dengan pemiliknya Martua Sitorus. Wilmar memiliki PT Asiatic Persada hingga Maret 2013 ketika konsesi ini dijual ke Ganda Group. Karena itu Greenpeace meminta Ganda Group dan Wilmar untuk segera menanggapi dengan cepat atas peristiwa tragis ini dan memastikan proses yang memadai untuk penyelesaian konflik yang disepakati.

"Kami mendesak Wilmar berhenti membeli dari konsesi apa pun di bawah Ganda Group sampai batas waktu tertentu, dan juga mendesak pemerintah menginvesitagasinya secara tuntas. Kelapa sawit yang berasal dari perusahaan yang terkait dalam praktik seperti ini seharusnya tidak diperbolehkan masuk ke pasar," ujar Annisa.

Konflik antara PT AP dengan warga SAD pada Kamis lalu bermula dari ketegangan antara Titus (26) seorang warga Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari dengan aparat dari PT AP. Tak jelas apa yang mendasari masalah itu hingga akhirnya pada sekitar pukul 15.30 Titus dijemput paksa dan diseret dari rumahnya oleh beberapa anggota aparat keamanan yang memakai mobil patroli bertuliskan Sat Binmas Polres Batanghari. Selain itu ada juga empat orang anggota berseragam TNI yang mengendarai motor.

Saksi mata mengatakan oknum aparat itu sempat menembakkan peluru ke udara yang membuat warga panik. Titus pun akhirnya dibawa ke kantor PT AP yang berjarak 12 kilometer dari rumah Titus. Di perjalanan kata beberapa warga Titus sempat diturunkan dan digebuki tak jauh dari rumahnya.

Mendengar kabar penculikan Titus, warga pun berkumpul dan mencoba membebaskan Titus namun dihadang puluhan aparat berseragam TNI dan sekuriti perusahaan. Aparat TNI lengkap menggunakan senjata laras panjang, sementara sekuriti menenteng samurai dan senjata tajam lain. Pada pukul 16.30 saat mendekati kantor perusahaan di Desa Bungku beberapa petani Mentilingan dan warga Suku Anak Dalam dipukuli. Akibatnya lima orang warga mengalami luka-luka serius.

Warga langsung lari tunggang-langgang ketika aparat mulai memberondong dengan peluru. Pujiono yang saat itu ada di barisan dikeroyok oleh aparat keamanan dan kemudian dibawa menggunakan mobil ambulance milik PT AP ke arah Jambi. Sayang nyawa Pujiono tak tertolong. Saat ini sekitar 700 jiwa warga SAD dan petani Mentilingan masih bertahan di lokasi Transmigrasi Sosial 1, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari dengan mendirikan terpal-terpal seadanya sebagai tempat tinggal sementara. "Kami masih menunggu proses mediasi dan penyelesaian konflik dari pihak perusahaan," kata Agus Pranata dari Serikat Tani Nasional.

Agus Pranata mengatakan tindakan represif yang dilakukan PT AP yang menimbulkan korban jiwa adalah bentuk kesewenang-wenangan aparat sehingga rakyat menjadi korban. "Ini juga merupakan bentuk pengabaian pemerintah padahal kasus ini dalam proses mediasi," ujarnya.

Konflik berkepanjangan ini memang sarat dengan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hasil investigasi Komnas HAM menemukan banyak pelanggaran HAM di kawasan HGU PT Asiatic Persada yang berada di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Kawasan itu secara turun temurun memang merupakan kawasan hutan milik warga suku SAD. Sejak ada konsesi perkebunan sawit di wilayah itu sejak tahun 1990-an, nasib warga SAD menjadi terkatung-katung karena selalu mengalami penggusuran dan kekerasan.

Berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik selalu gagal. Terakhir mediasi gagal karena Wilmar menjual PT AP kepada Ganda Group sehingga proses mediasi menjadi mentah kembali. Warga protes karena penjualan tersebut justru terjadi di tengah proses mediasi yang mulai menunjukkan kemajuan ketika setidaknya dua komunitas Suku Anak Dalam, yaitu dari Dusun 4 Sungai Beruang dan Kelompok Pinang Tinggi yang mau berunding. "Mereka berkeinginan agar proses mediasi tersebut bisa dilanjutkan dan ditingkatkan," kata Abun Yani saah seorang warga SAD.

Pasca penjualan itu, warga SAD, sebenarnya telah melakukan pertemuan, dengan pihak CAO-IFC yang memfasilitasi pertemuan dan juga tim dari Pemrov Jambi pada tanggal 6 Mei 2013. Dalam pertemuan itu mereka mendiskusikan tentang dampak dari penjualan saham PT AP kepada pihak lain terhadap proses mediasi yang sedang berjalan.

Ketika itu, para pihak setuju tim CAO-IFC bersama dengan pemerintah Provinsi Jambi yang tergabung dalam Join Team Mediation untuk meneruskan proses mediasi dengan tidak merubah subtansi mediasi dan melanjutkan beberapa kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak dalam proses mediasi.


Dalam pertemuan itu juga disetujui agar Wilmar sebagai pemilik awal dari PT AP tetap terlibat dalam proses mediasi selanjutnya sebagai pengamat penting. "Karena menurut kami meskipun PT Asiatic Persada telah dikuasai oleh pihak lain, tapi Wilmar tetap harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai bisa berjalan dengan semestinya," kata Abun Yani. Masyarakat berharap, sebagai anggota RSPO, Wilmar memiliki itikad baik dan berkomitmen untuk mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Kode ETIK RSPO.

Kode etik itu mengharuskan Wilmar berkomitmen untuk keterlibatan terbuka dan transparan dengan pihak yang berkepentingan, dan aktif mencari penyelesaian konflik. Karena itu, Wilmar berkewajiban memberikan informasi secara resmi dan menyeluruh kepada masyarakat terdampak di PT Asiatic Persada sebelum melakukan kesepakatan penjualan harus dilakukan oleh Wilmar untuk memastikan bahwa kewajiban dalam hubungan yang terbuka dan transparan ini telah dilakukan.

Atas permintaan itu, pihak Wilmar dalam surat jawabannya kepada masyarakat dan LSM bertanggal 2 Juli 2013 menegaskan bahwa penjualan tersebut telah diinformasikan kepada para pemangku kepentingan. Pihak Wilmar yang diwakili Jeremy Goon, Group Head Corporate Social Responsibility, mengatakan, pihak pembeli mengetahui perkembangan dan status mediasi. "Dan kami telah meyakinkan mereka untuk melanjutkan proses negosiasi," kata Jeremy Goon seperti dikutip dari surat balasan tersebut.

Ia juga menegaskan bahwa pihak pembeli telah menunjukkan keinginan untuk meneruskan proses tersebut dan pihak Wilmar akan melakukan upaya agar alih tangan proses negosiasi dapat berjalan mulus. "Kami akan membantu mereka dimana kami bisa meyakinkan sebuah transisi yang mulus," kata Jeremy lagi.

Hanya saja masyarakat tak puas akan jawaban itu. Mereka kembali berkirim surat kepada pihak Wilmar dan tetap mempertanyakan beberapa hal diantaranya mengapa pihak masyarakat yang terdampak oleh operasi PT AP tidak diberi tahu secara formal dan mempertanyakan bagaimana nantinya Wilmar menjamin masyarakat yang terdampak, memiliki akses terhadap individu dari manajemen baru PT AP untuk meneruskan mediasi.

Sayangnya pihak Wilmar dalam tanggapannya tertanggal 7 Juli 2013, tidak juga menjawab pertanyaan mendasar dari masyarakat Suku Anak Dalam tersebut. dalam surat itu Jeremy Goon beralasan, dalam proses jual-beli antara pihak Wilmar dan pembeli (Ganda Group-red), terikat oleh klausul rahasia yang harus terus dijaga diantara kedua belah pihak. "Karenanya kami tidak bisa memberitahukan penjualan PT AP kepada siapapun, bahkan tidak kepada karyawan kami sendiri," ujar Goon.

Lagipula kata dia, tidak ada kewajiban secara eksplisit di dalam Kode Etik RSPO untuk mengkomunikasikan keputusan komresil seperti penjualan properti kepada pihak lain. Lagipula kata Goon, pihak Wilmar pun telah memberitahukan proses penjualan tersebut kepada tim mediasi dalam pertemuan tanggal 30 Maret 2013. "Kami berharap, tim mediasi dapat menjangkau semua pihak yang terdampak," ujar Goon.

Dengan adanya jawaban itu, kelanjutan proses negosiasi memang masih belum jelas benar. "Karena itu kami mengirim surat kepada IFC untuk mempertanyakan kelanjutan proses mediasi ini," kata Carlo Nainggolan, Environmental and Policy Initiative Department Sawit Watch. Intinya, warga dan LSM mempertanyakan kebijakan IFC atas terjadinya penjualan saham PT AP oleh Wilmar dan apakah pihak Wilmar sudah memberitahukan rencana penjualan itu ke IFC sebelumnya. "Kini kami masih menunggu jawaban dari IFC," kata Carlo.


Melihat kondisinya, boleh jadi harapan warga Suku Anak Dalam untuk memperoleh kembali pengakuan atas hak terhadap tanah adat mereka tidaklah besar. Ganda Group yang tidak terikat oleh RSPO, boleh jadi menganggap konflik yang terjadi tidak harus segera diselesaikan, lantaran memang tidak ada kewajiban untuk itu.

Namun sepertinya semua pihak perlu mendengar pernyataan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan dalam acara peluncuran buku "Menuju Nol" yang mengisahkan 10 tahun perjuangan Greenpeace membela hutan Indonesia, Selasa 8 Oktober 2013 lalu di Ruang Sonokeling Kementerian Kehutanan.

Zulkifli Hasan bilang, Kementerian Kehutanan telah diminta oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi leading sector untuk menyelesaikan undang-undang mengenai hak masyarakat adat di DPR. "Kami mengajak kepada kawan-kawan bagaimana mempercepat (pengakuan-red) hak-hak masyarakat adat itu," kata Menteri Kehutanan. Dengan pernyataan itu, pemerintah telah menegaskan keberpihakannya pada upaya mengakui hak masyarakat adat termasuk hak atas wilayah.

Karena itu, jika konflik antara warga Suku Anak Dalam vs PT Asiatic Persada ini dibiarkan, itu sama saja artinya dengan menentang kebijakan pemerintah. Nyatanya konflik masih berlangsung hingga kini. Sejak setahun terakhir PT AP dinilai banyak mengingkari kesepakatan-kesepakatan mediasi yang dilakukan Komnas HAM dan pemerintah. Terutama soal pengukuran tanah ulayat Suku Anak Dalam (SAD) seluas 3.550 hektare yang tak pernah diindahkan oleh pihak perusahaan.  

Data Serikat Petani Nasional (STN) menyebutkan akibat penggusuran yang dilakukan sejak 7 Desember hingga 14 Desember 2013 di empat dusun yaitu Pinang Tinggi, Bukit Terawang, Padang Salak, dan Tanah Menang membuat sekitar 2.000-an jiwa warga SAD kehilangan tempat tinggal.

Penggusuran itu jelas terindikasi disengaja untuk memindahkan warga dari lahan HGU ke lokasi lain. Banyak hak-hak masyarakat yang dilanggar seperti hak hidup, hak untuk bekerja, hak anak, dan lain-lain yang dilanggar. Akibat penggusuran dan penjarahan dari 7 hingga 14 Desember 2013 masyarakat SAD mengungsi. Sebagian terpencar-pencar, sebagian menginap di rumah keluarga.

Sejak 10 Desember 2013 sekitar ratusan warga mondok di kantor Komnas HAM. Di Jambi, setelah sebulan mondok dan bikin tenda di depan Kantor Gubernur Jambi mereka dipaksa hengkang pada 8 Januari 2014. Tak lama kemudian, sebagian dari mereka sekitar 200 lebih warga SAD sudah lebih dari sepekan menginap di Kantor Lembaga Adat Melayu Jambi.

BACA JUGA: