JAKARTA, GRESNEWS.COM-- Seperti dikisahkan dalam bagian pertama tulisan ini, nasib Suku Anak Dalam menjadi kembali terkatung-katung akibat proses negosiasi dengan PT AP kembali mentok karena terjadi penjualan saham PT AP oleh Wilmar sebagai pemilik lama kepada Ganda Group. Penjualan ini menurut  Carlo Nainggolan, dari Sawit Watch, diindikasikan hanya sebuah akal-akalan dari pihak Wilmar untuk menghindari tanggung jawab.

Sebab dari hasil penelusuran Sawit Watch, ternyata sejak tahun 2012 Wilmar berusaha mengajukan sertifikasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) atau sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan yang deadlinenya akan jatuh pada akhir tahun 2013 ini. "Salah satu persyaratan RSPO adalah tidak ada konflik dengan masyarakat di sekitar perkebunan," kata Carlo kepada Gresnews.com. Karena itulah lantaran konflik yang tak selesai-selesai, Wilmar menjual PT AP kepada Ganda Group.

Permasalahannya, kata Carlo, Ganda Group memiliki kedekatan yang erat dengan Wilmar. Dari hasil penelusurannya diketahui, pemilik Ganda Group memiliki hubungan saudara dengan Martua Sitorus, salah satu pemegang saham Wilmar. Ganda sendiri memiliki 12.500 lembar saham di Ganda Group, sementara mayoritas saham dipegang istri Ganda, dengan 235 ribu lembar saham. Penjualan ini meski secara legal menunjukkan PT AP tak lagi dimiliki Wilmar, namun di belakang layar tetap memiliki hubungan dengan Wilmar.

Dan akibat penjualan ini, Wilmar juga bisa berlepas tangan dari tanggung jawab menyelesaikan konflik dengan warga Suku Anak Dalam. Buktinya di tangan pemilik baru, PT AP mementahkan lagi kesepakatan lama. Mereka menawarkan lahan seluas 1000 hektare di bekas lahan MPS/Jamertulen yang merupakan perkebunan ilegal. "Kalau warga berkebun di situ bisa jadi nanti dituduh ilegal dan bermasalah dengan hukum," kata Carlo.

Karena negosiasi mentah lagi masyarakat pun akhirnya sejak dua hari kemarin begerak menduduki kantor Gubernur Jambi meminta agar gubernur turun tangan. “Gubernur harusnya segera memperingatkan PT Asiatic Persada untuk tidak mengabaikan perundingan yang telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan penting, karena mengabaikan perundingan dengan beralih pada model penyelesaian konvensional ditingkat Kabupaten jelas telah mengabaikan peran Jomet yang berkerja atas perintah Surat Tugas yang dikeluarkan oleh Gubernur nomor 2122/SPT/SETDA.EKBANG-4.2/IV/2012, dan sampai sekarang Jomet masih tetap berlaku sepanjang Surat Tugas ini tidak dicabut oleh Gubernur propinsi Jambi," kata Rian Hidayat, Deputy Direktur Yayasan SETARA Jambi.

Rian meminta agar pemerintah propinsi Jambi dalam hal ini Gubernur propinsi Jambi, bertanggung jawab jika akhirnya konflik ini kembali melahirkan kekerasan, karena pemerintah propinsi Jambi menutup mata atas konflik yang telah berlansung hampir 25 tahun. Demontrasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Suku Anak Dalam hingga kini masih tidak digubris. "Malah mereka diberi janji-janji kosong, mediasi dan perundingan yang digagas oleh Jomet pun dibuat seolah tak bernyali oleh pemerintah," kata Rian. Ia melihat, pemerintah seperti tunduk pada PT Asiatic Persada, padahal perusahaan ini jelas bermasalah.

Tak hanya soal konflik dengan suku Anak Dalam, tapi juga HGU yang tidak jelas luasannya berapa, ditambah lagi perusahaan ini sudah berganti kepemilikan sebanyak 4 sepanjang tahun 2001-2013 dan pergantian kepemilikan ini tak sedikitpun meminta persetujuan pemerintah. "Kita sudah dikadalin oleh investor yang menanam investasinya di PT Asiatic Persada, dan pemerintah dalam hal ini gubernur Jambi diam saja,” ujar Feri, Direktur Perkumpulan Hijau.

PT Asiatic Persada adalah perusahaan yang paling sering berganti kepemilikan, ditahun 2001 sampai tahun 2006 perusahaan ini dikuasai oleh perusahaan dari Inggris yaitu CDC-Pacrim, lalu tahun 2006-2007 dikuasai oleh Cargill dari Amerika, dan tahun 2008-2012 giliran Wilmar Group yang berbasis di Singapura menguasai PT Asiatic Persada, dan terakhir awal tahun 2013, PT Asiatic Persada dikuasai oleh PT AMS Ganda Group. Jika membandingkan dengan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit di propinsi Jambi, PT Asiatic Persada pantas ditempelkan pemegang rekor terbanyak pergantian pemilik, dan rekor konflik terlama.

Untuk itu, atas fakta ini, seluruh kelompok Suku Anak Dalam, baik yang ada di wilayah Desa Tanjung Lebar Muaro Jambi, Desa Penyerukan kabupaten Muaro Jambi, Kelompok SAD yang ada di desa Bungku Kabupaten Batanghari, menuntut Gubernur propinsi Jambi, untuk segera mencabut HGU PT Asiatic Persada, karena kehadirannya sama sekali tak memberi manfaat bagi kehidupan SUku Anak Dalam Batin Sembilan.

Pengalihan saham PT Asiatic Persada kepada pihak lain yang dilakukan oleh Wilmar tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik JOMET merupakan pelanggaran pada Kode Etik Anggota RSPO. "Jika RPSO tidak mengambil tindakan dengan memberikan sanksi kepada WILMAR atas ketidakterbukaan dan niat buruk WILMAR dalam kasus ini, maka ini akan membahayakan akuntabilitas dan legitimasi RSPO dalam upaya mendorong produksi sawit yang benar-benar berkelanjutan,” kata Sophie Chao dari LSM berbasis HAM, Forest Peoples Programme.

Sementara itu Carlo Nainggolan juga menyayangkan ketidakberdayaan CAO, sebagai lembaga penyelesaian konflik yang dipercaya oleh IFC (lembaga pemberi pinjaman Bank Dunia pada Sektor Swasta) untuk memediasi konflik yang selama ini terjadi antara masyarakat Suku Anak Dalam dengan Asiatic Persada. Selama hampir 5 tahun proses perundingan ini digulirkan. Bank Dunia harus turut bertanggungjawab atas gagalnya proses perundingan akibat terjadinya penjualan PT Asiatic Persada dari WILMAR sebagai penerima pinjaman Bank Dunia kepada perusahaan lain yang tidak terkait sama sekali dengan Bank Dunia maupun RSPO. "Ini bagian dari upaya CAO bersama WILMAR untuk melarikan dan melepaskan diri dari tanggungjawabnya," kata Carlo tegas.

(GN-03)

BACA JUGA: