JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat, dalam sidang paripurna yang berlangsung pada Selasa (23/2) kemarin. Ketua Pansus RUU Tapera Yoseph Umar Hadi berharap, dengan disahkannya beleid ini, masalah perumahan rakyat dapat diselesesaikan, terutama bagaimana membantu warga negara yang belum memiliki rumah karena faktor penghasilan.

"Inti pokok RUU ini adalah menyediakan payung hukum bagi pemerintah untuk mewajibkan setiap warga negara baik Indonesia maupun warga asing yang bekerja di NKRI untuk menabung sebagian dari penghasilannya di bank kustodian yang akan dikelola oleh Badan Pengelola Tapera untuk dipupuk dan dimanfaatkan bagi penyediaan rumah murah dan layak," kata Yoseph, usai pengesahan UU tersebut.

Sementara itu, anggota Komisi VI DPR-RI Bambang Haryo Soekartono memaparkan, ada empat poin penting keuntungan yang bisa didapatkan rakyat jika Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dijalankan dengan baik oleh pemerintah. Dia juga beranggapan Tapera merupakan perlindungan negara terhadap warganya.

"Tapera ini perlu, karena perumahan rakyat itu dibutuhkan untuk melindungi rakyat," kata Bambang dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Rabu (24/2).

Pertama, dengan adanya UU Tapera diharapkan masyarakat mendapat hunian yang layak, sehingga masyarakat bisa istirahat dengan baik. Dengan begitu mereka dapat bekerja dengan aktivitasnya masing-masing secara produktif.

Kedua, pengadaan rumah untuk rakyat yang berpenghasilan menengah ke bawah berdampak pada anak-anak yang ada di perumahan ini bisa belajar dengan baik, sehingga mampu melahirkan generasi bangsa yang unggul.

Ketiga, rumah bagi rakyat bisa menimbulkan rasa percaya diri masyarakat Indonesia. Dengan adanya rumah rakyat tanggung jawab negara terhadap penduduknya sebagai warga negara tentu memenuhi amanat konstitusi, yakni kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Adapun poin keempat, kata politisi dari Fraksi Partai Gerindra ini adalah, rumah rakyat bisa mewujudkan kesehatan lingkungan. "Rumah rakyat juga akan memberikan kesehatan bagi warganegara, masyarakat akan terlindungi dari berbagai macam penyakit," papar Bambang.

Meski memiliki ekspektasi yang positif terhadap pengesahan UU Tapera ini, namun Bambang juga memberikan catatan. Dia berharap agar implementasi dari UU tersebut, yang berada di bawah kewenangan pemerintah dapat dilaksanakan dengan baik dan jujur, tanpa ada penyelewengan dalam prosesnya.

"Jangan sampai kasus-kasus yang pernah terjadi seperti tabungan haji terulang kembali. Di situ masih ada sesuatu yang tidak transparan. Ada indikasi permainan yang tidak fair di situ," ujar Bambang.

Selain itu Bambang juga mengkhawatirkan ada penyalahgunaan dalam pelaksanaan UU Tapera. Dia memberi contoh pada kasus BPJS, seharusnya masyarakat yang sudah membayar iuran bisa mendapatkan pelayanan yang pantas, namun kenyataanya masih banyak kendala di lapangan. Dia berharap, semoga implementasi UU Tapera tidak demikian, sehingga masyarakat mendapat haknya.

Mengantisipasi hal tersebut Bambang merekomendasikan ada dewan pengawas dalam pelaksanaan UU Tapera ini. Termasuk DPR sebagai lembaga legislatif yang bertugas mengawasi kinerja penanggung jawab program Tapera, sehingga dalam pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik.

HILANGKAN PERAN NEGARA - Berbeda dari pendapat para anggota dewan, Direktur Ekskutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda justru berpendapat UU Tapera malah menghilangkan peran negara dalam menyediakan rumah untuk rakyat.

Karena itu, itu dia berharap, jangan sampai dana besar yang ada di dalam Tapera menjadi dana ´bancakan´ oleh pihak-pihak tertentu. Ali menilai, seharusnya UU Tapera mejadi angin segar dan harapan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk memiliki rumah, namun implementasinya diperkirakan tidak semudah membalik telapak tangan.

Alasannya, beberapa ahli pembiayaan perumahan dan micro finance menemukan beberapa hal yang tidak sinkron dengan visi Tapera. Misalnya, syarat utama kepesertaan Tapera adalah bagi pekerja yang menerima upah di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) dengan iuran sebesar 3 persen dari upah tiap bulan, dimana 2,5 persen dibayar pekerja dan 0,5 persen dibayar oleh pengusaha.

Menurutnya dengan melihat itu tentunya beban pengusaha menjadi bertambah. Di sinilah dipertanyakan kehadiran pemerintah dalam penyediaan rumah bagi rakyat karena yang terjadi adalah penyediaan rumah dari masyarakat ke masyarakat dengan asas gotong royong.

"Asas ini terkesan baik namun sering terperangkap dengan menghilangkan peran dan tanggung jawab negara secara langsung dalam hal penyediaan rumah," kata Ali, Jakarta, Rabu (24/2).

Selain itu, Ali menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi tumpang tindih ketika Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menyatakan bahwa dana Tapera untuk pertama kalinya akan dialirkan dari Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan potensi dana sebesar Rp33 triliun menjadi modal untuk Tapera.

Hal itu, kata Ali, adalah dua hal yang berbeda. FLPP sangat erat kaitannya dengan UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman dan penyalurannya berbeda, sehingga tidak dapat secara langsung menjadi modal Tapera.

Selain itu, dia menambahkan hal yang sangat disayangkan ketika ada peran Manajer Investasi (MI) yang menjadi wajib dalam pengelolaan dana Tapera. Hal ini akan membuat biaya tinggi untuk membayar MI dan keluar dari visi Tapera sebagai lembaga nirlaba.

Menurutnya dana yang dikelola oleh MI sangatlah besar dan berpotensi menjadi dana ´bancakan´ dan memasuki area pengelolaan secara komersial. Hal itu dikarenakan pengawasan yang ada harus benar dan belum ada pasal yang menyebutkan mengenai pengawasan kelolaan dana.

Dia mengatakan, seharusnya perwakilan dari pengusaha dan peserta terlibat untuk mengawasi penyaluran dana tersebut. "Bagaimana bila kemudian investasi yang ada merugi, siapa yang bertanggung jawab karena berdasarkan UU Pasar Modal, MI tidak bisa dituntut atas kerugian yang ada. Uang rakyat dipermainkan untuk kepentingan pihak tertentu," kata Ali.

Dia mengatakan Tapera harus diwaspadai karena memang bukan satu-satunya cara untuk merumahkan rakyat. Dengan dana Tapera yang melimpah, DPR dan pemerintah harusnya lebih paham dan sadar bahwa pasar perumahan bukanlah hitung-hitungan investasi sederhana karena terkait dengan kapasitas pasar, daya beli dan suplai tanah.

"Dana yang cukup saja, tidak menjadikan pemerintah dapat mengurangi backlog (penyediaan rumah untuk rakyat) karena harga tanah terus naik dan tidak ada usaha pemerintah untuk mengendalikan harga tanah bagi MBR," katanya.

KRITISI TAPERA - Dengan berbagai masalah di atas, Ali meminta secara khusus kepada pemerintah untuk menyikapi secara kritis penyelenggaraan Tapera dari sisi pengawasan dan implementasi di lapangan. Dia menegaskan jangan sampai hal-hal yang menyangkut kepentingan rakyat ternyata malah membuat rakyat tertipu.

"Harusnya disikapi oleh pemerintah agar jangan sampai dana besar yang ada di Tapera menjadi dana ´bancakan´ oleh pihak-pihak tertentu," kata Ali.

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Edy Ganefo mengaku keberatan jika besaran iuran Tapera tersebut dibebankan kepada pekerja dan pengusaha. Alasannya, pengusaha dan pekerja sudah kena beban pungutan untuk pembiayaan perumahan di dalam komponen Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

Kemudian, di dalam UU Tapera dinyatakan semua masyarakat wajib memberikan iuran Tapera tetapi tidak semua mendapatkan asas manfaatnya berupa perolehan perumahaan. Menurutnya hal itu sangatlah tidak adil bagi masyarakat, sehingga masyarakat akan menilai tidak penting mengikuti iuran Tapera lantaran nantinya tidak bisa mendapatkan rumah.

Selain itu, dia menambahkan pengelolaan dana Tapera akan dikembangkan melalui mekanisme pasar modal. Menurutnya situasi pasar modal saat ini tidaklah menentu, apabila situasi pasar modal mengalami penurunan tentunya akan berimbas kepada dana Tapera dan mengalami kerugian yang sangat besar bagi masyarakat.

"Masyarakat diwajibkan ikut Tapera tapi juga ada masyarakat yang tidak dapat rumah, kan tidak adil. Jadi ngapain orang ikut Tapera?" kata Edy kepada gresnews.com.

Sebagaimana diketahui, dalam UU Tapera disebutkan bahwa iuran Tapera dikenakan sebesar 3 persen dari total upah yang diterima pekerja. Besaran iuran tersebut ditanggung oleh pengusaha dan sebagiannya ditanggung oleh pekerja.

Berikut ini beberapa syarat untuk bergabung dalam Tapera:

1. Minimal pemohon berumur 20 tahun, atau sudah menikah, dan untuk warga negara asing syaratnya memiliki visa minimal 6 bulan.
2. Memiliki penghasilan di bawah upah minimum provinsi bersangkutan, dan tidak berumur di atas 60 tahun
3. Badan Pengelola (BP) Tapera menjamin peserta untuk memiliki rumah.
4. BP Tapera tidak bisa dibubarkan dan atau dipailitkan.

BACA JUGA: