JAKARTA, GRESNEWS.COM - Backlog perumahan (kekurangan jumlah rumah dibanding jumlah keluarga) pada 2014 mencapai 13.5 juta. Sementara itu pengembang hanya mampu menyediakan 40 ribu unit rumah per tahun.  Tingginya kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan papan inilah yang mendorong banyak developer berlaku curang.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyatakan banyak kerugian yang dialami konsumen saat membeli rumah yang notabene melalui Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Di Belanda, perjanjian KPR antara konsumen dengan pihak bank selalu didampingi pengacara negara untuk mendapat keadilan. Tapi di Indonesia, bahkan bank pun tidak memberikan edukasi pada konsumen.

"Ini juga peran OJK (Otoritas Jasa Keuangan) di mana? Kan mandat terbentuknya untuk melindungi konsumen, sektor mikro," kata Tulus di Cikini, Kamis (14/4).

Peneliti YLKI Sularsi menambahkan, pada 2013-2015 pengaduan properti dan jasa perbankan di YLKI selalu masuk 3 besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2014 dana perbankan sebesar Rp4.013 triliun disalurkan kredit pada November 2015 sebanyak Rp1.104 triliun dan 30 persennya atau senilai Rp331 triliun digunakan untuk KPR.

Jelas dari data tersebut diketahui banyaknya kebutuhan papan rakyat. Dari transaksi jual-beli rumah itu, mayoritas atau sebesar 72,2 persen masyarakat memanfaatkan KPR.

Dalam pemberian kredit KPR tersebut, diketahui bank umum yang paling banyak menyalurkan KPR pada 2014 adalah BTN sebanyak Rp102.614 miliar. Disusul BCA Rp54.652 miliar dan BNI Rp33.300 miliar. Terkait KPR tersebut, kasus yang banyak dikeluhkan konsumen ke YLKI pada 2015 adalah persoalan pelayanan KPR yang dipersulit, serta tidak diberikannya sertifikat.   

"Sedangkan masalah lainnya adalah penolakan biaya, bunga, denda dll dan jaminan sertifikat ada di bank lain yang mencapai 11,8 persen. Dan sebanyak 8,8 persen terkait pelayanan nasabah," kata Sularsi.

Permasalahan konsumen dengan bank lainnya seperti soal suku bunga yang awalnya dikatakan flat tapi 3 tahun kemudian berubah naik. Kedua, janji developer menyelesaikan dokumen jaminan, dokumen administrasi tak tepat waktu, ketiga, konsumen tak punya hak pilih bank karena bank telah ditentukan developer. Keempat, edukasi konsumen hanya formalitas sehingga informasi bermasalah seperti: penyelesaian sengketa, perbedaan suku bunga, take over kredit, risiko gagal bayar, tidak tersampaikan secara baik.

Selain itu perjanjian kerjasama antarbank dan developer hanya untuk manajemen risiko mereka dan bukan untuk melindungi konsumen. Serta tidak adanya koordinasi dalam pengawasan terkait praktik KPR dan pengembang nakal.

"Beberapa kasus ada developer gagal bangun rumah, praktik penjualan nakal, ketika konsumen sudah lunas tapi ternyata sertifikatnya diagunkan ke pihak ketiga," jelasnya.

Menurut Sularsi, seharusnya pemerintah segera merespons setiap perkembangan bisnis yang terjadi. Selain itu perlu juga melakukan koordinasi antara OJK dengan Kemenpu PR dalam pengawasan dan penyusunan regulasi.

"Tak lupa juga meningkatkan klausul baku produk KPR tak hanya melapor tapi juga melarang digunakan sebelum dapat persetujuan OJK. Kemenpu PR meningkatkan pengawasan developer dari praktik nakal," kata Sularsi.
 

PROGRAM SEJUTA RUMAH - Mengatasi tingginya angka backlog kebutuhan rumah, pemerintah telah meluncurkan program sejuta rumah atau pembangunan satu juta rumah setiap tahun dalam kurun 5 tahun. Program tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rumah 250 juta penduduk Indonesia.  

Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu mengatakan, jumlah penduduk Indonesia 250 juta. Jika setiap rumah dihuni 4 orang, berarti Indonesia membutuhkan 60 juta rumah. "Kalau pertumbuhan penduduk 1,5% tiap tahun, artinya setiap tahun butuh tambahan rumah 1 juta," kata JK dalam acara Rakernas REI (Real Estate Indonesia) di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, akhir 2015.

Menurut JK, program 1 juta rumah setiap tahun sangat penting agar setiap keluarga bisa memiliki rumah. Terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di samping untuk menekan kekurangan pasokan rumah setiap tahunnya.
 
Ia mengungkapkan jika tidak diadakan program satu juta rumah akan terjadi penumpukan dan daftar panjang orang tidak memiliki rumah. Akibatnya mereka tinggal di tempat yang tidak layak.

Untuk mendukung program ini pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp9,2 triliun untuk program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Selain itu, pemerintah di 2016 juga menyediakan dana Bantuan Uang Muka (BUM) Perumahan sebesar Rp1,22 triliun. Dana ini ditujukan kepada masyarakat yang memenuhi persyaratan, dengan besaran bantuan yang diberikan Rp4 juta per rumah.

Tak hanya itu pemerintah, juga tengah menyiapkan pembentukan bank khusus yang bergerak di bidang perumahan. Pembentukan bank khusus ini dimaksudkan agar ada pengelolaan yang baik terkait program perumahan. Terutama untuk menyalurkan bantuan dan subsidi pemerintah di bidang perumahan.   

Selama ini banyak program dan bantuan pemerintah di sektor perumahan melalui Bank Pemerintah maupun swasta tidak tersalurkan dengan tepat. Termasuk fasilitas pembiayaan ini untuk masyarakat dengan penghasilan rendah melalui program FLPP atau Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau KPR subsidi. "Dibutuhkan perbankan yang baik dalam menyalurkan kredit tersebut," kata Wapres.

Padahal sejumlah lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan Asian Development Bank (ADB) juga menyatakan siap membantu pemerintah dalam penyediaan perumahan, namun dengan syarat ada program yang jelas dan tepat sasaran. (Dtc)

BACA JUGA: