JAKARTA, GRESNEWS.COM - Santernya kampanye Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) akhir-akhir ini disinyalir tak hanya bertujuan melegalkan eksistensi kelompok ini, namun, diyakini juga terkait pemetaan informasi strategis di Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya kucuran dana dari PBB melalui United Nations Development Programme (UNDP) kepada negara-negara Asia yang sedang memperjuangkan LGBT.

Pengamat ekonomi-politik Hendrajit menyatakan, aksi LGBT dapat dilihat sebagai alat penaklukan bangsa secara ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan (ipolesosbudhankam). Indikasi kecilnya saja, dari kucuran dana UNDP.

"Ini membuktikan aksi tebar isu LGBT memang bagian dari aksi informasi yang terencana," ujarnya kepada gresnews.com, Sabtu (14/2).

Ia mengibaratkan, UNDP dan LSM itu sebagai pasukan artileri udara, yang ditugasi untuk bombardir isu LGBT. Dimana  akan ada tahapan selanjutnya, yaitu diterjunkannya pasukan kaveleri, untuk menindaklanjuti dan menuntaskan bombardemen pasukan infanteri yang dilakukan LSM atas dana bantuan dari UNDP.

"Siapa pasukan kavelerinya yang diterjunkan di Indonesia? Ya tentunya yang dalam pemetaan, tergolong Pro LGBT di luar LSM tentunya," katanya.

Golongan ini bisa jadi ormas keagamaan, kepemudaan/kemahasiswaan, insan-insan seni budaya baik perorangan maupun komunitas, dan kalangan media massa. Begitu tahapan ini dinilai sukses, munculah pasukan infanteri.

"Nah, yang ini pasti sudah bisa ditebak, yaitu para pakar ekonomi berhaluan neoliberal pro IMF dan Bank Dunia. Merekalah pemegang skema kepentingan korporasi global agar bisa diterapkan di Indonesia," ujarnya.

Untuk itu, menurut Hendrajit, para pemegang skema ekonomi-politik neoliberal ini perlu pengamanan dari segi ideologi dan sosial-budaya.

Jadi, melalui pemetaan pro kontra LGBT ini, mereka akan dapat gambaran siapa saja atau pihak mana saja yang layak direkrut sebagai pasukan kaveleri yang bertugas mengamankan misi pasukan infanteri di gatra ideologi dan sosial-budaya.

"Para ekonom dan bankir neolib kan jelas, mereka pasukan infanteri. Tahapan itu semua yang sering saya sebut tiga tahapan Perang asimetris, tebar isu, rumuskan tema sebagai basis gerakan, lantas hadirkan skema sesungguhnya setelah kedua tahapan awal tadi dinilai berhasil," ujarnya.

"Gerakan ini digunakan untuk memetakan utamanya ekonomi-politik dan keamanan nasional," katanya.

Khususnya dibuat operasi senyap menggoyang kekuasaan, guna memetakan kekuatan-kekuatan apa saja dan siapa saja yang layak digoreng. Sebab dilihat dari kepemimpinan Jokowi, justru Amerika, Inggris, yang sekarang cemas dengan ketidakjelasan haluannya. Sebab tak dipandang sekutu namun  lawan pun juga belum jelas, hanya sikap dan kebijakannnya tidak menguntungkan mereka.

"Maka LGBT itu kan terutama untuk memetakan mata-rantai jaringan orang orang liberal di semua sektor kemasyarakatan, maupun di pemerintahan," ujar Hendrajit.

Bagi Amerika dan Inggris, untuk memetakan Islam, mereka sudah punya data dan rujukan yang valid. Yang masih dibingungkan justru pada kalangan yang tidak berbendera agama, ternyata belum berhaluan liberal.

Menurutnya, mereka sedang coba memilah mana yang murni nasionalis, dan mana yang meski nasionalis di permukaan, tapi sejatinya berhaluan liberal. Musuh utama AS dan Inggris yang kebetulan amat berkepentingan dengan kutub tunggal atau uni polar, adalah kaum nasionalis. Umumnya skema ekonomi yang dianutnya sangat sosialistis sehingga menentang skema neo liberalisme ekonomi-politik
di bawah penguasaan atau monopoli Uni Polar AS-Inggris.

"Maka kecenderungan Jokowi ke Cina, yang mereka tahu bersama Rusia terikat dalam persekutuan strategis Shanghai Cooperation Organization/SCO, dipandang amat mengkhawatirkan," katanya.

Ia menyatakan bersekutu atau cenderung dekat pada Cina dan Rusia berarti mengacaukan skenario kutub tunggal mereka.Terlepas Jokowi sendiri masih belum jelas paham ideologinya dalam memilih sekutu dengan Cina, bagi barat hal ini tetap mengkawatirkan.

PENOLAKAN MASYARAKAT TINGGI - Ketua Komisi VIII Saleh Partaonan Daulay menilai persoalan LGBT di Indonesia masih menuai kontroversi. Penolakan dari masyarakat masih cukup tinggi dengan alasan keberadaan LGBT dinilai bertentangan dengan norma agama, adat istiadat, dan nilai budaya bangsa Indonesia.

Ia menilai pemberian bantuan finansial bagi komunitas LGBT di Indonesia dipastikan akan menimbulkan polemik dan perdebatan baru.

"Selain dinilai ikut mempromosikan LGBT, bantuan UNDP tersebut juga dinilai mencampuri standar nilai, moral, budaya, dan kearifan lokal di Indonesia," katanya dalam pesan singkat kepada gresnews.com, Sabtu (13/2).

Sebab pada faktanya, semua agama dan budaya yang ada di Indonesia tidak ada yang menerima keberadaan LGBT. Saleh menyatakan, jika pun di belahan dunia lain mereka diterima, secara sosiologis di Indonesia masih belum mendapat tempat. "UNDP tidak bisa menyamakan Indonesia dengan negara lain. Indonesia itu khas, agama dan budayanya sangat berbeda. Jangan disamakan dengan negara-negara lain," katanya.

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk mengawasi bantuan UNDP tersebut. Secara yuridis, bantuan asing tidak boleh sembarangan masuk ke Indonesia. Apalagi, bantuan asing itu dikhawatirkan menimbulkan keresahan sosial.

"Setiap bantuan asing yang masuk wajib dilaporkan ke negara agar diketahui untuk apa bantuan asing tersebut," katanya.

Jika dimanfaatkan pada sesuatu yang dinilai dapat membahayakan, bantuan itu harus ditolak. Ia menyatakan hal ini berlaku untuk semua jenis bantuan asing, sebab di dalam UU Ormas, perihal bantuan asing ini sudah menjadi perdebatan. Hingga akhirnya dirumuskan ketentuan tentang bantuan asing sehingga bantuan asing dari UNDP untuk komunitas LGBT juga tidak boleh bertentangan dengan aturan tersebut.

Jika akan mengucurkan bantuan, maka UNDP diminta untuk melakukan kajian lebih baik. Setidaknya, bantuan yang diberikan betul-betul bermanfaat dan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat. Kalau hanya sekedar ingin ikut campur dalam persoalan polemik yang ada, bantuan itu dikhawatirkan akan sia-sia.

"Masih banyak sektor lain yang membutuhkan bantuan. Pendidikan, kesehatan, perlindungan anak, pemberdayaan perempuan, bencana alam adalah contoh-contoh aktivitas yang bisa dibantu UNDP," katanya.


PERLINDUNGAN ANAK - Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI) Asrorun Niam meminta pemerintah memberikan perlindungan terhadap virus penyebaran LGBT.

"Pemerintah harus bersikap tegas lindungi anak- anak Indonesia dari paparan orientasi seks menyimpang," kata Asrorun, di Jakarta, Sabtu (13/2).

Menurut Niam, pemerintah harus memantau secara selektif dana asing yang masuk, apalagi untuk program tertentu.

"Apalagi untuk kegiatan-kegiatan yang mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya kampanye LGBT, " Ujarnya.

Niam mengatakan, bahwa Indonesia memiliki kedaulatan di bidang hukum dan penentuan norma -norma yang berlaku di masyarakat secara independen,  sesuai dengan budaya, agama dan kesusilaan di tengah masyarakat.

"Intervensi asing dan pemaksaan pemberlakuan norma yang bertentangan dengan norma yang hidup di tengah masyarakat Indonesia adalah wujud dari penjajahan, yang harus ditolak. Maka dari itu Menkopolhukam perlu mengambil langkah-langkah untuk menjaga kedaulatan bangsa," ungkapnya.

Kampanye LGBT sangat jelas bertentangan dengan konsep Nawacita yang dikembangkan oleh Presiden Jokowi dan semangat revolusi mental dengan prioritas pembangunan karakter.

"Kampanye LGBT adalah pembunuhan karakter dan pemantau identitas nasional. Masuknya dana asing untuk kampanye LGBT  bisa jadi merupakan aksi proxywar untuk melemahkan ketahanan nasional. Ancaman terbesar dari LGBT adalah anak-anak, sedang presiden sudah meneguhkan komitmen perlindungan anak dengan langkah yang progresif," tegasnya.

BERTENTANGAN DENGAN ADAT - Sedangkan Ketua Lembaga Tinggi Adat Republik Indonesia (LEMTARI) Suhaili Husein Datuk Mudo menilai jika kegiatan LGBTI  disahkan di Indonesia akan menjadi ancaman bagi negeri ini, khususnya untuk anak- anak sebagai generasi penerus bangsa.

Datuk sapaan akrabnya menjelaskan, pemerintah harus menolak LGBT di Indonesia, karena melanggar hukum adat istiadat dan agama di Indonesia.

"Pendapat kami, merusak atau tidak merusaknya, setuju atau tidak setujunya, pemerintah, hal itu tidak di benarkan oleh hukum adat istiadat dan agama di Indonesia," kata Datuk kepada gresnews.com,Sabtu (13/2) malam.

Datuk menilai jika hal yang kurang baik pasti cepat diikuti dan berkembang. Masyarakat juga harus ikut serta menolak kehadiran LGBT di Indonesia .

"Sangat banyak cara yang akan dilakukan untuk penolakan itu, peran masyarakat juga penting, agar budaya kita tidak rusak, akibat adanya kegiatan LGBT tersebut," ujarnya.

Menurutnya pemerintah juga harus menolak keras bantuan dana dari UNDP untuk mendukung LGBT. "Pemerintah berhak menolak keras  kucuran dana dari UNDP untuk mendukung LGBT, demi menyelamatkan generasi muda," pungkasnya.

Untuk diketahui, Indonesia merupakan salah satu dari negara Asia yang mendapatkan kucuran dana dari United Nations Development Programe (UNDP) untuk mendukung keberadaan komunitas lesbian, gay, biseksual, trasngender (LGBT)

Sementara itu, dalam situs badan PBB dijelaskan negara yang dapat kucuran proyek kemitraan regional tersebut diantaranya, China, Filiphina dan Thailand. Jumlah dana yang dikeluarkan sebesar US$ 8 juta atau sekitar Rp 108 miliar

Diketahui bahwa proyek yang ternyata telah dimulai sejak akhir Desember 2014 hingga September 2017 disebut bertujuan untuk memajukan kesejahteraan komunitas LGBT serta mengurangi ketimpangan dan orientasi seksual  serta indentitas gender ( SOGI).

Dalam rinciannya disebutkan dana dari UNDP salah satunya diperuntukan untuk mendukung kaum LGBT untuk mengetahui hak-hak mereka  dan mendapatkan akses ke pengadilan guna melaporkan pelanggaran-pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM)

Hasil-hasil dari proyek ini, salah satunya adalah meningkatkan  kemampuan organisasi LGBT untuk secara efektif memobilisasi menyokong dan berkontribusi, dalam dialog - dialog kebijakan dan aktivitas  pemberdayaan komunitas.

Untuk menjalankan proyek ini,  UNDP bekerjasama dengan masyarakat sipil melalui institusi-institusi nasional dan regional seperti Kedutaan Swedia di Bangkok, Thailand dan USAID. Sasaran lain adalah untuk memajukan hukum dan kebijakan protektif, serta pemberdayaan masyarakat. (Agus Irawan)

BACA JUGA: