JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan meminta agar perubahan Pasal 285 KUHP perlu dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya mencabut "frasa wanita yang bukan istrinya". Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan, Pasal 285 KUHP tentang perkosaan harus dikaji lebih dalam .

Hal itu disampaikan Azriana dalam sidang pengujian atas Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi, Selasa (30/8). Uji materi itu diajukan oleh Guru Besar IPB Bogor Prof. Dr. Euis Sunarti, dkk.

"Perubahan Pasal 285 KUHP tersebut kalau mau diubah secara menyeluruh, jangan hanya sebagian saja," kata Azriana di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta.

Dalam permohonan tersebut, khususnya untuk Pasal 284 (tentang zina) dan Pasal 292 (larangan perbuatan cabul sesama jenis dengan anak), pemohon meminta agar MK memutus pasal-pasal tersebut tidak berlaku sepanjang tidak dimaknai perluasan zina untuk Pasal 284, yakni tidak perlu ada unsur salah satu orang yang berbuat zina sedang dalam ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan. Serta untuk Pasal 292, Pemohon meminta dihapuskannya frasa "anak" sehingga semua jenis perbuatan cabul "sesama jenis" dapat dipidana.

Sementara, bunyi pasal 285 KUHP adalah: "barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama selama 12 tahun".

Terkait pasal ini, Azriana berharap agar Mahkamah Konstitusi (MK) mengkaji lebih dalam soal perluasan pemaknaan frasa perkosaan, sehingga kaum perempuan mendapatkan perlindungan. "Maka MK perlu mengkaji perluasan Pasal 285 KUHP agar kaum perempuan tidak dirugikan," jelasnya.

Dalam persidangan itu, Azriana juga mengkritisi permintaan pemohon memperluas cakupan perzinaan dari yang menikah kepada siapa pun. Hal ini, kata dia, berpotensi mengkriminalisasi pasangan yang pernikahannya belum diakui oleh negara. Salah satunya pasangan penghayat kepercayaan. "Kami akan hadirkan mereka pada sidang mendatang," kata Azriana.

Selain itu, perluasan makna perzinaan juga berdampak kepada para permaja. "Akibat dalil pelaku yang mengatakan itu suka sama suka, remaja kita, kalau kita perluas, apakah kita akan mengantarkan mereka semua ke penjara?" cetus Azriana.

Menurut Azriana, permasalahan perzinaan harus dilihat dalam kacamata yang lebih besar. Tidak hanya masalah hukum dan pidana semata, tetapi masalah gagalnya pendidikan. "Perluasan zina, akan mengancam normatif anak karena potensi diskriminasi anak yang terpapar aktivitas zina. Ini kegagalan pendidikan, tidak boleh dibebani pada anak," kata Azriana.

Selain itu, Azriana berargumen, hubungan seks sesama orang dewasa yang salah satu atau dua-duanya tidak terikat ikatan perkawinan, adalah urusan moral. Oleh sebab itu, terapi menghilangkan kumpul kebo tidaklah dengan hukum. "Perzinaan ini yang dilihat nilai moral. Pendekatan-pendekatan moral yang dilanggar. Pendekatannya nggak bisa hukum. Kita harus kasih obat bagi penyakit yang tepat. Negara nggak bisa masuk terlalu dalam," papar Azriana.

Karena urusan moral, maka yang menghukum adalah urusan individu dengan keyakinannya. Bagi Azriana, hukum melindungi semua agama. "Sebagai umat beragama, kita semua punya mekanisme penebusan dosa. Jangan suruh negara mengurus relasi personal dengan tuhan. Negara sudah mengatur dalam KUHP. Jadi suka sama suka, akan dibatasi jika dia akan mengancam keutuhan satu lembaga perkawinan. Itu dari kacamata negara. Kalau dari agama ya itu masing-masing," ujar Azriana.

Namun seks suka sama suka itu hanya berlaku bagi hubungan seks suka sama suka antara orang dewasa. Namun apabila salah satunya atau dua-duanya masih anak-anak, maka bisa dikenakan UU Perlindungan Anak dan dipenjara minimal 3 tahun. Atau salah satunya atau dua duanya terikat perkawinan, bisa dikenakan Pasal Zina dan dipenjara.

"Ini orang kan selalu melihat zina itu sebagai satu hal yang sama dengan perkosaan. Padahal zina itu kan berbeda. Ketika konsep zina ini, karena agama-agama mengenal ini, akhirnya dia tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang dia tidak bisa mewakili pandangan agama, karena dia masuk aturan pidana. Makanya tadi saya sebutkan, diperbaiki atau tidak sekali pun rumusannya, dia tidak akan berkontribusi mengurangi kekerasan seksual. Karena kekerasan seksual itu bukan zina. Tapi saya senang dengan proses itu, karena kita punya ruang untuk menunjukkan pada hakim bagaimana tafsiranannya zina dan hubungan seksual," tegas Azriana.

Dia juga menanggapi kapasitas Prof Dr Euis dkk, dalam mengajukan uji materi ini. Menurut Azriana, Komnas Perempuan menilai para pemohon tidak memiliki legal standing karena tidak bisa membuktikan kerugian konstitusionalnya secara spesifik.

Selain itu, MK juga dinilai tidak mempunyai kewenangan layaknya legislatif yaitu membuat UU. "Pandangan kami, MK tidak memiliki kewenangan, pemohon harusnya menyampaikan pada legislatif, DPR," pungkas Azriana.

OVER KRIMINALISASI - Kritik sedana juga disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono. Supriyadi mengatakan, memperluas pemaknaan atas tindak pidana kesusilaan akan berpotensi mengakibatkan terjadinya over kriminalisasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

"Indonesia akan berpotensi menghadapi krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of over criminalization), yaitu banyaknya atau melimpahnya perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana," katanya kepada gresnews.com.

Selain alasan over kriminalisasi, dalam Permohonan ini, ICJR yang memposisikan diri menolak permohonan, memiliki beberapa alasan mendasar. Pertama, ICJR menilai, pemohon tidak memahami dasar Pasal 284 KUHP. Pasal 284 KUHP memiliki klausal adanya ikatan perkawinan dan merupakan delik aduan didasarkan pada dua hal utama. Kesatu, pasal ini digunakan untuk melindungi lembaga perkawinan yang dilegalkan negara. Kedua, untuk menghormati lembaga tersebut, negara bisa mempidana mereka yang telah melanggar ikatan perkawinan.

Bahkan, kata dia dalam risalah pembahasan KUHP, adanya delik aduan dikarenakan harus orang yang merasakan dampak dari zina tersebut yang bisa melapor, yaitu pasangannya. Alasannya, tidak ditemukan rasio logis apabila negara masuk mencampuri urusan keluarga warga negara. "Dikhawatirkan bahwa ikut campurnya neara justru mendambah dampak buruk dari korban yang menderita akibat zina," jelasnya.

Kedua, ICJR menilai pemohon tidak memahami dasar Pasal 292 KUHP. Pasal 292 dibuat khusus untuk melindungi anak dari perbuatan cabul sesama jenis. Bahwa yang menjadi titik tekannya adalah perbuatan "cabul pada anak" dalam konteks sesama jenis, sebab anak dianggap tidak dapat memberikan "persetujuan".

"Pemohon terlihat tidak cermat, ketika mendasari permohonan dengan alasan bahwa orang dewasa juga harus dilindungi dari pebuatan cabul sesama jenis," tegas Supriyadi.

Untuk persoalan itu, kata dia, sudah ada Pasal 289 KUHP yang berbunyi: "barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."

Pasal 289 KUHP, kata Supriyadi telah melindungi pebuatan cabul yang dilakukan pada orang dewasa baik sesama jenis atau berlainan jenis. Adanya klausal "anak" dalam Pasal 292 karena anak harus dilindungi dalam semua keadaan, sehingga tidak membutuhkan unsur kekerasan atau ancaman kekerasan sebagaimana dalam Pasal 289 KUHP.

Ketiga, kriminalisasi suatu perbuatan menjadi tindak pidana harus pula dilakukan dalam suatu undang-undang karena akan memuat sanksi yang jelas melakukan pembatasan pada hak asasi manusia. Pembatasan tersebut, terlebih dalam bentuk tindak pidana, harus dilakukan dalam pembahasan yang mendalam dan melibatkan pemerintah dan masyarakat (dalam hal ini diwakili oleh DPR).

Saat ini, proses legislasi untuk revisi KUHP juga sedang membahas norma tersebut, sehingga pengujian substansi norma tersebut tidaklah tepat dilakukan saat ini. "Oleh karena itu sudah tepat apabila DPR yang melakukan perumusan pidana sebagaimana diinginkan oleh para permohon (open legal policy)," kata Supriyadi.

Keempat, permohonan yang diajukan pemohon akan berakibat pada tingginya angka penghukuman dan memperbesar jumlah pelaku tindak pidana. Ini akan berimbas langsung kepada kewajiban negara terkait kebijakan penal, memperbanyak fasilitas dalam proses pengadilan, penegakan hukum dan lembaga pemasyarakatan.

"Kondisi ini juga akan mengakibatkan berubahnya prioritas kebijakan kriminal Indonesia. Prioritas pemerintah akan terpecah dalam memerangi kejahatan yang menjadi prioritas misalnya korupsi, gembong narkotika, terorisme dan kejahatan terorganisir lainnya," imbuhnya.

Kelima, kebijakan pidana yang ingin memperluas tindak pidana kesusilaan maka negara akan masuk terlalu jauh dalam mengontrol hak yang sangat privasi warga negara. Negara akan sangat mudah untuk mencampuradukkan persoalan yang bersifat privat dan personal dengan urusan yang bersifat publik.

Hal ini, kata Supriyadi, justru mengingkari kedudukan hukum pidana sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan masalah hukum (ultimum remedium). Dengan kata lain, tidak akan ada lagi penghormatan akan hak atas privasi warga negara, sebab atas nama hukum pidana, negara akan sangat bebas untuk mencampuri urusan privat warga negaranya.

"Maka bisa dibayangkan, polisi akan semakin represif dan memiliki kewenangan begitu besar untuk masuk ke ranah privat warga negara," terangnya.

Keenam, asumsi bahwa negara memiliki kapasitas untuk menjamin rasa aman, menjaga tingkat kepatuhan hukum, dan mampu mengendalikan tingkat kriminalitas akan berbenturan dengan kemampuan terbatas yang dimiliki negara, hasilnya masyarakat justru akan menilai negara tidak mempu menjalankan fungsi dan tugasnya.

"Hal yang paling buruk, maka akan ada main hakim sendiri dari warga negara akibat ketidakpercayaan publik yang tinggi, dikarenakan terbatasnya kemampuan negara dalam menangani banyaknya kasus pidana," paparnya.

Ketujuh, pemohon selalu mengaitkan permohonannya pada isu moral dan agama. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 19/PUU-VI/2008 mengenai Pengujian UU Peradilan Agama telah memberi pandangan atas paham kenegaraan Indonesia mengenai hubungan antara negara dan agama.

Menurut Mahkamah dalam putusan itu, telah tegas dinyatakan bahwa Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.

Untuk itu, kata Supriyadi, harus diperhatikan dampak-dampak dari penggunaan isu moral dan agama dalam menjerat warga negara menggunakan peradilan pidana. "Sebab dampak yang dihasilkan tidak semudah menyatakan suatu hal benar atau salah menurut moral dan agama," terangnya.

Atas dasar itu, maka ICJR sebagai pihak terkait tidak langsung dalam perkara tersebut meminta agar permohonan terhadap revisi pasal-pasal kesusilan tersebut tidak dikabulkan oleh MK. (dtc)

BACA JUGA: