"In this country, you gotta make the money first. Then when you get the money, you get the power." Ucapan Tony Montana (Al Pacino) dalam film Scarface (1983) besutan sutradara Brian De Palma, itu seakan menyimpulkan hubungan erat antara uang dan kekuasaan. Kekuasaan dan uang. Lantas, apa hubungannya dengan keluarga Tanoesoedibjo di Indonesia?

Jelang final Piala Dunia 2010, Spanyol kontra Belanda. Minggu tengah malam, 11 Juli 2010, hiruk-pikuk manusia di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, rumah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lima layar ukuran lima meter, proyektor menyorot layar, pada setiap sisi tenda yang terpasang di halaman rumah itu. Empat televisi layar datar juga ada. Presiden, personil kabinet, para undangan bersiap nonton bareng. Kudapannya: soto, siomay, dan banyak lagi.

Para pejabat dan pengusaha berkerumun. Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng dan pemilik PT. Media Nusantara Citra (MNC) Hary Tanoesoedibjo datang duluan. Hary tampak sumringah. Andi dan Hary saling tegur. Di beranda yang sama, ada Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Jaksa Agung (saat itu) Hendarman Supandji, dan Kepala Polri (saat itu) Jenderal Bambang Hendarso Danuri.

Hary kelihatan senang ada dalam kerumunan pejabat. Stasiun televisi milik dia, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), menayangkan langsung Final Piala Dunia 2010. Pertanyaannya, apa kepentingan Hary ada dalam "Ring I" negeri ini?

Para wartawan saksama mengamati polah para pejabat di situ. Salah satu yang membetot mata, apa yang terjadi antara Hary dan Hendarman. Saat itu, media massa ramai memberitakan kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang tengah diusut oleh Kejagung. Kakak Hary, Hartono Tanoesoedibjo, belum genap sebulan (ketika itu) dicap sebagai tersangka, dalam posisinya sebagai Komisaris Utama PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD), operator Sisminbakum. Bareng dengan penetapan tersangka Hartono, mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra, juga dibalut stempel tersangka kasus itu.

Tepat empat hari setelah acara nonton bareng, 15 Juli 2010, adalah jadwal penyidik Kejagung memeriksa Hartono Tanoesoedibjo, dalam kasus korupsi Sisminbakum yang diduga merugikan negara Rp420 miliar itu. Bisa ditebak, Hartono ´diistimewakan´ dibandingkan dengan Romli Atmasasmita dan Syamsudin Manan Sinaga. Romli dan Syamsudin masuk bui, Hartono lenggang kangkung, jauh dari jeruji besi. Wow, ada apa ini? Sihir Piala Dunia-kah penyebabnya?

Lunturnya prinsip persamaan perlakuan di muka hukum menjadi poin yang disorot dalam kasus yang melibatkan konglomerasi keluarga Tanoesoedibjo. Pada Juni 2010, Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) menyuarakan hal itu dalam catatan hukum atas perkara yang melibatkan Yohanes Waworuntu, mantan direktur PT SRD.

Ketika itu YLBHI bersikap, "menekankan pada proses hukum yang adil terhadap semua pihak yang diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi tersebut dan mempertanyakan tentang mengapa dalam penyidikan dan persidangan, jaksa tidak menelusuri aliran dana Sisminbakum tersebut. Hingga saat ini YLBHI melihat belum ada tindak lanjut pemeriksaan dari Kejaksaan Agung, terhadap orang-orang yang disebut-sebut dalam dakwaan dan tuntutan JPU, yaitu perihal permufakatan jahat melakukan tindak pidana korupsi di kasus Sisminbakum."

Hipotesis publik pun mengemuka. Hal yang disorot adalah, sejauhmana penegak hukum berani bertindak adil dan tegas dalam kasus-kasus yang melibatkan pihak yang kuat secara ekonomi dan politik. Ya, keluarga Tanoesoedibjo memegang imperium bisnis yang merentang dari bisnis investasi, media massa, dan sebagainya. Khusus untuk kasus Sisminbakum, sejarahnya, PT SRD yang dipegang oleh Hartono, menguasai operasional sistem pendaftaran badan hukum secara online di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Perkembangan terakhir kasus Sisminbakum, "hasil kajian tim penyidik Sisminbakum sudah selesai dan sudah diplenokan di tingkat direktur dan Jaksa Agung Muda (JAM)," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Noor Rachman, di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis (10/3).

Sementara kasus Sisminbakum masih berlanjut penyidikannya, sejumlah kasus hukum juga menyelimuti imperium Tanoesoedibjo, baik di Pengadilan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sampai kasus pidana penyiaran.

Beranikah penegak hukum negara ini untuk adil dan tegas terhadap mereka yang kuat ekonomi dan politik? Direktur Eksekutif Indonesia Court Monitoring (ICM), Tri Wahyu KH, Kamis (10/3), kepada primaironline.com, mendesak penegak hukum untuk berani adil dan transparan dalam mengungkap kasus yang menjerat para pengusaha. "Jangan saling melindungi, saling memberi keuntungan," kata Tri Wahyu.

(aka)

BACA JUGA: