JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menjelang pergantian kepemimpinan presiden Indonesia dari Susilo Bambang Yudhoyono kepada presiden terpilih Joko Widodo pada 20 Oktober  mendatang menyisakan satu persoalan ganjil. Yakni hilangnya mekanisme laporan pertanggung-jawaban presiden yang akan mengakhiri masa jabatanya kepada Majelis Premusyawaratan Rakyat (MPR).
 
Menurut Sosiolog Univeritas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Musni Umar perlu mempertimbangkan menghidupkan kembali mekanisme pelaporan pertanggungjawaban presiden lima tahun mendatang. Pada awalnya UU 1945 dalam ketatanegaraan Indonesia menganut  doktrin bahwa  presiden  memegang  jabatannya  selama  lima  tahun  dan   di akhir masa jabatannya berkewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban dihadapan sidang MPR.
 
Namun perkembangan demokrasi dalam UUD 1945 setelah amandemen tidak lagi mengatur tentang pertanggungjawaban presiden dihadapan MPR. Hal ini diakibatkan berubahnya fungsi dan wewenang MPR, yakni hanya melantik presiden dan wakil presiden. Sementara, wewenang memilih presiden dan wakil presiden diserahkan langsung kepada rakyat melalui mekanisme pemilihan umum.
 
Konsekuensinya, MPR tidak lagi berwenang meminta pertanggungjawaban presiden kecuali ada usulan dari DPR. "Suatu hal yang ganjil karena organisasi kecil saja dimintai pertanggungjawaban pemimpinnya," kata Musni Umar yang juga Direktur Eksekutif Institute for Social Empowerment and Democracy (INSED) ini kepada Gresnews.com, Kamis (16/10).
 
Musni berpendapat, kedepan, laporan pertanggungjawaban ini harus dihidupkan kembali meski presiden dan wakil presiden telah dipilih secara langsung oleh rakyat. Pertanggungjawaban itu, lanjutnya berisi mengenai kinerja presiden, tugas-tugas presiden, dan apa saja yang telah diperbuat pada bangsa dan negara ini dari sejak pelantikan sampai dengan akhir masa jabatannya.
 
Forum tempat menyampaikan laporan pertanggung-jawaban adalah MPR yang diatur dalam Bab ll Pasal 2 yang terdiri dari 3 ayat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. "Walaupun tidak diatur lagi, bukan berarti tidak perlu atau tidak wajib seorang presiden menyampaikan laporan pertanggung-jawaban," jelasnya.
 
Sebab, sudah merupakan konvensi atau kelaziman, apakah diatur atau tidak diatur, pada akhir masa kepemimpinan di organisasi manapun, selalu dilakukan laporan pertanggung-jawaban. Akan sangat aneh, tidak lazim dan tidak masuk akal, seorang pemimpin yang dipilih secara demokratis, apalagi Presiden Republik Indonesia, tidak menyampaikan laporan pertanggung-jawabannya selama memimpin Indonesia dihadapan rakyat Indonesia yang telah memilihnya.
 
"Negara Republik Indonesia adalah sebuah organisasi besar yang dipimpin oleh seorang Presiden dan Wakil Presiden. Layaknya sebuah organisasi, seorang pimpinan akan mengakhiri masa baktinya, wajib menyampaikan laporan pertanggung-jawaban selama memimpin," tegasnya.
 
Menurutnya, laporan pertanggungjawaban ini amat penting bagi bangsa Indonesia. Setidaknya terdapat lima alasan yang mendasari pentingnya Presiden SBY menyampaikan laporan pertanggung-jawaban kepada seluruh rakyat Indonesia yang telah memilihnya. Pertama, untuk mengetahui secara jelas apa saja yang sudah dilakukan selama memimpin Indonesia, kelebihan dan kekurangannya. Yang baik dilanjutkan, yang tidak memberi manfaat bagi rakyat, bangsa dan negara dikubur (tidak dilanjutkan) pemimpin baru Indonesia.
 
Kedua, wujud pertanggung-jawaban publik. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka merupakan kewajiban konstitusional untuk melaporkan kepada rakyat yang telah memilihnya, apa saja yang telah dilakukan selama memimpin Indonesia. Ini amat penting supaya seorang presiden dan wakil presiden ada rasa tanggungjawab yang besar dalam memimpin Indonesia, karena akan dimintai pertanggung-jawaban diakhir pemerintahannya.
 
Ketiga, supaya rakyat mengetahui kesuksesan dan kegagalan. Kalau sukses memimpin, dalam bidang apa saja, dan kalau gagal dalam bidang apa pula, sehingga pemimpin baru Indonesia tidak mengulangi kegagalan yang dilakukan pemimpin sebelumnya. Keempat, supaya ada pembatas atas pemimpin sebelumnya dengan pemimpin baru. Jangan kesalahan dan kebobrokan pemimpin sebelumnya ditimpakan untuk dipikul kepada pemimpin baru. Pemimpin Indonesia yang sukses harus diberi reward dan diapresiasi, dan yang pemimpin yang gagal harus pula diberi punishment (hukuman) sosial dan politik, agar pemimpin baru bekerja lebih keras dan lebih baik.
 
Kelima, untuk memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk menilai secara langsung pemimpin yang pernah dipilih, apakah berhasil atau gagal. Selama ini lebih banyak pencitraan, sehingga rakyat banyak tertipu. Melalui forum pertanggung-jawaban, rakyat melalui MPR bisa menyaksikan dan ikut memberi penilaian secara langsung keberhasilan atau kegagalan pemimpin yang telah dipilihnya.

BACA JUGA: