JAKARTA, GRESNEWS.COM - Hasil rekapitulasi nasional telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun selesainya rekapitulasi nasional tidak menandakan berakhirnya sejumlah permasalahan seperti tidak validnya data, penggelembungan suara, dan persoalan politik uang. Saat ini beban permasalahan itu hanya bergeser ke Mahkamah Konstitusi yang mulai membuka pengajuan perselisihan hasil pemilu itu pada 11 Mei hingga 17 Mei 2014.  

Menanggapi hasil penetapan rekapitulasi nasional yang terkesan terburu-buru, anggota Bawaslu Daniel Zuchron menilai KPU terlihat terdesak waktu untuk menetapkan rekapitulasi sehingga semua daerah pemilihan masuk menjadi suara sah. Padahal ada sejumlah daerah yang masih terdapat persoalan. Ia menyebutkan Nias sebagai salah satu daerah yang memiliki permasalahan di tingkat provinsi, namun rekapitulasi nasional sudah ditetapkan.

Daniel  mengungkapkan KPUD Nias tidak dapat melaksanakan rekomendasi Bawaslu secara sempurna. Bawaslu sebelumnya merekomendasikan pemungutan suara ulang di Nias di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tapi KPUD tidak mampu melaksanakan. Sehingga rekomendasi diubah menjadi rekapitulasi ulang, tapi KPUD juga tidak mampu melaksanakan rekomendasi tersebut. Bawaslu pun menonaktifkan KPUD Nias Selatan. Dampaknya, KPUD Sumatera Utara, menurut Daniel, harus menerima hasil suara Kabupaten Nias Selatan apa adanya.

“Karena KPU pusat harus memutuskan secara utuh maka Nias Selatan masuk (ke dalam rekapitulasi nasional)," ujar Daniel saat diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (10/5).  

Daniel mengatakan kabupaten yang masuk dapil Sumatera Utara II masih banyak catatan dan koreksi. Bawaslu, kata dia,  menilai kasus seperti itu tidak bisa ditolerir, ke depan harus dipidanakan. Di luar Nias Selatan, menurutnya, Bawaslu juga memiliki catatan di beberapa kabupaten Timur Tengah Selatan, Mamuju, dan Halmahera Selatan. "Jadi rekapnya kita anggap sangat bermasalah,” ujar Daniel.

Sependapat dengan Daniel, Yasona Laoly, anggota legislatif Sumatera Utara II dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), mengatakan secara hukum, daerah yang bermasalah memang sah karena sudah ditetapkan. Tapi menurutnya suara yang bermasalah tersebut disahkan karena tujuan kepentingan nasional. Terkait tindak lanjut suara yang bermasalah, tambahnya, perlu ada proses penegakan hukum.

Namun penegakan hukum dengan sanksi pidana pada pemilu 2004 dan 2009 juga seperti tidak memberikan efek jera pada pelaku pelanggaran pemilu. Menanggapi hal tersebut, Daniel berdalih karena hal itu adanya tekanan publik terhadap Bawaslu terkait penegakan hukum pelanggaran pemilu. "Hal itu tidak semudah yang dibayangkan dalam penyelesaian kasus sengketa pelanggaran pemilu," ujar Daniel.

Sulitnya menyelesaikan sengketa pelanggaran pemilu, menurutnya, karena adanya keterbatasan penyidik untuk datang langsung ke tempat sengketa. Permasalahan keterbatasan itu, menurut Daniel, membuat pemidanaan terhadap penyelenggara pemilu lebih mudah dibandingkan pemidanaan terhadap calegnya.

Sementara anggota legislatif Sumatera Utara III dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anshori Siregar menilai banyaknya persoalan di tingkat kabupaten kota menunjukkan masyarakat belum bisa diajak berdemokrasi karena persoalan yang muncul di tingkat bawah tersebut berakibat pada rekapitulasi nasional. Ia mengatakan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi jangan dibiarkan. "Sudah salah di 2004, terulang di 2009, dan terulang lagi di 2014, seakan-akan tidak ada gunanya KPU dan Bawaslu,"  katanya, dalam acara yang sama.

BACA JUGA: